Buket mawar

206 16 0
                                    

“Pernah diusahin? Jawabannya iya. Pernah nolak? Jawabannya iya terus kalo kali ini di usahin, nolak atau tidak nie?”

-Reta-

Tidak pernah ada yang tahu gimana nasib kita kedepannya. Melangkah tanpa nengok belakang hal yang salah juga karena tak semua masa lalu adalah kesalahan bisa saja kita belajar dari kesalahan. Namun berbeda dengan ku  yang tidak mengkopromi apapun yang mengenai masa lalu. Apalagi masalah lalu yang sudah membuatku luka hingga lukanya tak hilang walaupun sudah berlalu cukup lama.

Keramaian kantor pada jam siang membuat ku melengo karena tak biasanya. Ketukan pintu dan masuk lah cleaning service yang kuketahui bernama Andi, membawa sebuah paper bage yang isinya makanan serta bucket bunga mawar yang besar. “Maaf, Bu ada titipan” ucapnya saat berada di depan mejaku

“Dari siapa Di?” tanyaku yang keherangan “Saya kurang tahu Bu, mungkin didalam bucket ada kartu namanya” jelasnya.

“Makasih, Di” jawabku sambil tersenyum.

“Kalo gitu saya pamit dulu Bu” pamitnya dan aku mengangguk.

Sebelum sempat aku mencari kartu ucapan, ponselku berbunyi yang bertanda sebuah pesan masuk. Tanganku mengambil ponsel yang tak jauh dari ku dan sebuah pesan dari babang gojek yang antar tadi pagi alias dari Mas Dika.

Andika Ranjaya
Selamat makan
Calon nyonya Dika 

“Nyonya Dika?” gumaku dan tentunya dengan senyum dibibir yang terbit.

Bukan pertama kali aku mendapat berbagai kiriman mulai dari A sampai Z yang ku temui meeting sampai babang gojek pangkalan juga pernah mencoba menarik dan mencari kunci hatiku agar bisa dibuka, tapi tak ada satupun yang menemukan kunci itu. Sampai akhirnya kebanyakan dari mereka menyerah dengan sendirinya  dan tentunya hidup ku berjalan sesuai planing ku kembali.

Pria itu tak ada yang benar-benar bisa memilih untuk singah di hati satu wanita dan komitmen itu hanya simbol yang nantinya dilanggar. See simple

Membuka paper bag berwarna merah muda yang ternyata sebuah makanan dari restaurant  japan ternama yang ada di kota ini.

“Bagi donk” Rasyid yang punya kebiasaan masuk tanpa ketok atau ucap salam, masuk begitu saja sambil mencoba meminta “Yaelah kebiasang lu yah, masuk tanpa ketok. Luh pikir ini ruangan istri lo” dengan garang aku meleparkan polpen yang ada disamping tanganku.

Polpen yang kulemparkan bukannya kena dia malah jatuh pas di bahwa kakinya “Iya, iya lah siapa sih yang ngga tahu kita suami istri yang terakreditasi” dengan tertawa seakan apa yang diucapkan adalah lelucoan

“Ngaco lo”

“Ta, bagi donk. Kayanya enak tu” mintanya kedua kalinya

“Mau?” tanyaku dan dia mengangguk antusias “Yah beli donk” jawabku sambil mengejeknya.

“Gila lo yah teman macam apa sih lo biar bagi ajah ---“ sebelum dia mengoceh lebih panjang aku sumpat mulutnya dengan sushi “Ta, ini ke-ba-nyak-an la-h”  rasyid berbicara dengan mulut full.
 
Aku hanya tertawa melihat dia kesusahan untuk bisa menguyah lebih cepat supaya mulutnya ngga full. Setelah dia selesai mengunyah lantas mengambil botol air mineralku dan meminumnya seakan dia berada di padang tandus tanpa ada air. Aku hanya mngelek-gelekan kepala melihat tingkahnya setelah minum dia mengambil kota bekal yang ada di depanku lantas memakannya lagi. “Lumayan lah Ta, uang ku ngga keluar” tempat sushi tersebut sudah ludes tanpa tersisa

“Tahu ngga Ta, kantor heboh lantaran kamu“ ini lah rasyid walaupun dia cowo tapi mulutnyan kaya cewe “Oh ya” jawabku dengan muka-muka biasa ajah

“Gara-gara ini nie, Ta” rasyid mengangkat tempat sisa sushi “Biar lah” lagi-lagi jawabku acuh tak acuh

“Salah satu kata mereka pesona lo kuat banget. Mulai babang pangkalan sampai CEO perusahaaan sudah pernah dekat dengan kamu, tapi ko lo ngga ada yang nyakut yah”

“Kamu pikir layangan. Yang nyangkut” ketusku.
 
Rasyid sudah selenjoran di sofa “Ta, benar kamu tidak mau nikah” aku tak menjawabnya.

Masih terdiam dengan hiruk piku pikiranku sendiri tentang adanya keraguan mengenai pernikahan. “Kalo nikah dengan ku mau tidak?” tanya dengan suara lebih rendah.

Hingga pertanyaan rasyid membuatku tertawa cekikilan “Bercanda lho garing nyet” tak ada suara lagi dari rasyid dan dia berdiri “Aku balik deh kekerunganku” rasyid yang tadinya cerah seperti matahari jam dua siang berubah mendung seakan hujan.

“Sana lho nyet kealammu” usirku dengan tanganku seolah mengusir.

Tanganya yang hampir menutup pintu kembali menegoh dan berbicara dengan suara yang jauh lebih rendah dari terakhir dia bicara “Kalo aku serius, gimana ta?” setelah kalimat itu dia keluar dengan begitu saja.

Aku yang tak mendengar begitu jelas tapi paham dengan gerakan bibirnya. Seolah terpatung dan bermonolog sendiri.

“Kamu selalu buat mood orang berantakan nyet” ucapku

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang