Bulan berlalu

322 13 0
                                    

“Cukup bilang iya dan aku tak akan pernah melepas gengaman ini”

-Dika-

“Ta” panggilku

“Iya” jawabnya sambil membereskan beberapa barang bawaannya dari apartementnya untuk pindah kerumah kita yang sudah ku sediakan dan rumah ini yang tak pernah ku tempati karena aku juga memilih tinggal di apartement yang aku punya.

Voucher yang dikasih kak linda mau dipakai belum?” tanyaku yang mengingat sebuah amplop putih yang berisi voucher hotel.

“Emang kenapa mas?”

“Yah siapa tahu kamu sudah siap” jawabku yang menerka-nerka hubungan ini dan dia hanya diam membuatku melanjutkan omonganku “Kalo belum siap juga tidak apa-apa sih kita ke hotel ajah nikmati fasilitasnya kan mubazir kalo ngga dipakai”

Lagi-lagi dia hanya diam seolah dia tak mendengar apa yang aku omongin. Pakaian yang dia bereskan perlahan demi perlahan sudah selesai dan dia keluar dari kamar ini tanpa menangapi apa yang aku omongin.

Terlintas begitu saja pertama kali bertemu dia yang sibuk berbelanja tanpa melihat anak kecil yang bernama April terjatuh. Kenapa dia pisah dengan anaknya? Mungkin neneknya urus atau tidak kakaknya jawabku dengan pertanyaan yang ada diotakku sendiri. Terus mantan suaminya yang menorekan luka itu, sehingga dia susah untuk menerima orang kembali atau siapa yang membuat lubah besar itu. Aku masih tak tahu teka teki hidupnya.

Alasan yang belum aku temukan dari Ibu dan Ayah juga mengenai pernikahan ku yang harus denganya. Kenapa harus denganngya bukan kah diluar sana banyak wanita yang jauh lebih baik darinnya...

Aku membaringkan diriku di tempat tidur karena pikiran itu membuat ku lelah sendiri. Aku hanya perlu waktu lebih lama lagi, mungkin dengan begitu dia akan lebih leluasa untuk menceritakan beban apa yang ada dalam hidupnya.

Lambat laung aku tertidur dengan pulas hingga matahari berganti bulan. Baru aku sadar saat guncangan kecil sambil memanggilku dengan lembut “Mas” mataku yang masih susah untuk terbuka membuatku berbalik dan mengacukan panggilan serta guncangan itu. Dia tak menyerah melainkan mencoba satu persatu cara agar aku bisa bangun.

Percikan air pada muka ku membuat ku bangun dengan kaget. Melihat cengiran itu membuatku sadar bawah dia pelakunya “Mas tidur atau apaan sih susah banget dibangunin. Ini tuh udah malam” ocehannya dan aku hanya duduk diam menatapnya “Sana mandi aku tunggu diluar. Aku lapar” setelah berbicara dia keluar.

Aku pun bergegas masuk kekamar mandi. Setelah semua selesai aku memutuskan untuk keluar keruang makan namun tidak ada nampak kehadirannya dan kuputuskan untuk ke ruang tamu dan kulihat lah dia asik menonton dengan dua piring spageti yang ada di meja.

“Sudah?”tanyanya

“Iya, makan yuk” aku yang duduk dilantai dan siap memakan. makan yang ada di hadapanku.

Makan dengan diam itu kebiasanya dan tentunya tertular dengan ku. “Gimana tadi kantornya?” tanyaku mencoba memulai percakapan.

“Yah seperti biasa” jawabnya acuh dan fokus pada tayang yang ditampilkan televisi.

“Oh nggak kepikiran untuk berhenti bekerja?” tanyaku lagi dan dia menatapku “Maksud mas?”

“Kan statusnya sekarang beda siapa tahu kepikiran untuk stay dirumah ajah gitu”

“Makasih tapi, aku akan tetap bekerja” putusnya dengan langsung berdiri namun, aku menarik tangannya hingga duduk kembali. “Aku hanya bertanya, ngga usah marah”

“Siapa yang marah?” sahutnya dengan cepat.

“Kamu” jawabku sambil mengodannya menarik turunkan alisku “Kamu tuh yah mas aku bilang aku tak marah---“ tiba-tiba aku terasa tertarik untuk mengecup bibir merah yang lagi mengoceh itu.

Awalnya hanya untuk membungkam dia yang mengoceh namun dengan dia menutup matanya bukannya bertanda dia menginjinkan ku.

Awalnya hanya untuk membungkam dia yang mengoceh namun dengan dia menutup matanya bukannya bertanda dia menginjinkan ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ciuman itu berubah jadi lembut dan tentunya menuntut lebih jauh. Kini ciuman berapa detik membuat kita saling terus terikat hingga akhirnya kita melepas karena pasokan udara yang kiang menipis. Mata ini saling bertemu dan keterdiaman pun di antara kita terjadi.

Dia langsung berdiri dan melangkah pergi meninggalkan ku yang masih duduk menatap punggungnya yang lama kelamaan menghilang dari balik tembok.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang