EXTRA CHAPTER 1

250 27 1
                                    

Mengikhlaskan dia yang telah pergi tidak semudah kelihatannya. Menjalani hari tanpa kehadiran sosok yang sangat berharga membuat hidup tidak lagi berwarna.

❍⊷⊷❍

Ini sudah satu minggu semenjak kejadian mengerikan itu hadir dalam hidup Vea. Tak ada lagi senyum lebar yang menghiasi wajahnya, ia sangat tertekan.

"Vea, mau masuk sekolah sekarang?" tanya seseorang dari balik pintu kamar Vea. Suasana hening, tak ada jawaban dari Vea.

"Mama boleh masuk?" tanya sang Mama lagi. Namun, masih sama seperti sebelumnya, sama sekali tidak ada jawaban.

Sang Mama berusaha membuka kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Setelah pintu terbuka, sang Mama hanya bisa menghela napas berat.

Putrinya itu hanya melamun di ranjang sambil memeluk guling. Wajahnya sangat pucat dan kusut. Tisu berserakan dimana-mana.

Putrinya menatap lurus ke bufet yang penuh dengan foto. Foto siapa lagi jika bukan di kebersamaan Vea dengan abang juga sahabat-sahabatnya. Sungguh, ibu macam apa yang tega melihat buah hatinya seperti itu?

Sang Mama berjalan mendekat dan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. "Vea, mau sampai kapan kamu seperti ini, Nak?" gumam sang Mama sambil menarik Vea ke dalam pelukannya.

"Mama ... bang Virga pasti bakalan kembali 'kan, Ma? Reza sama Fara juga bakalan kembali 'kan, Ma?" tanya Vea sambil menatap lurus ke tembok.

"Nak," lirih sang Mama merasa iba. Sang Mama mengelus lembut surai putrinya. Air mata Vea perlahan kembali mengalir.

"Kamu harus bisa mengikhlaskan mereka, sayang. Abangmu juga sahabatmu pasti akan sangat sedih melihat kamu seperti ini," ujar sang Mama sambil mengelap air mata yang turun di pipi Vea.

Sang Mama menghela napas pelan. Aku memang belum mengikhlaskan Virga sepenuhnya. Namun, jika aku terus-terusan menginginkan Virga kembali, bukan hanya Virga yang tidak akan tenang. Itu akan menyakiti Vea dan tentunya suamiku yang terus menyalahkan Vea.

"Harusnya Vea gak datang ke sana. Harusnya Vea ikhlas jika memang ajal Vea akan datang karena kalung itu. Kalau Vea ikhlas semua akan berakhir dengan mudah, gak akan ada kepergian Fara, Reza, juga bang Virga," ucap Vea datar.

Matanya berkaca-kaca tapi ntah mengapa air mata itu tak bisa mengalir deras. Mungkin air matanya sudah habis karena terus menangis.

Sang Mama mengelus punggung putrinya lembut. "Kalau Vea meninggal karena kalung itu, maka kemaksiatan akan terus ada di dunia ini dan kalung itu akan semakin memakan banyak korban. Udah, ya. Vea harus belajar ikhlas," balas sang Mama berusaha menenangkan Vea.

Kalau Reza, Fara, dan bang Virga pergi karena nolongin gue, harusnya mereka ngajak gue juga, batin Vea.

Sekelebat bayangan tentang kedatangan Arsyad di hidupnya tiba-tiba muncul. Ia ingat sekali bagaimana Arsyad terus memperhatikannya, mengganggunya, menyuruhnya ikut ke alamnya--eh?

Lo dari dulu pengen banget ngajak gue ke alam lo 'kan, Syad? Kenapa lo gak bawa gue bareng lo? Kenapa yang harus pergi sama lo cuma Fara, Reza, dan bang Virga?

Vea bergerak kecil mencari posisi nyaman dalam pelukan sang Mama yang terus mengelus surainya untuk memberi ketenangan.

Entahlah, Vea terus menyalahkan dirinya atas semua kejadian tidak menyenangkan ini. Berbagai nama hewan dan kata umpatan muncul di otak Vea karena ia sangat ingin menyusul keempat orang berharga dalam hidupnya.

"Kenapa bang Virga harus jadiin dirinya tameng buat Vea?" tanya Vea lirih.

Sebuah tarikan kasar membuat Vea terkejut sekaligus meringis sakit.

Plak!

"Pa!"

Tamparan keras itu membuat hati Vea semakin teriris. Ia hanya bisa tersenyum miris. Ia sama sekali tak berniat mengelus pipinya yang terasa nyeri.

"Harusnya saya yang tanya itu sama kamu! Kamu apakan anak saya sampai dia pergi tanpa pamit sama saya?!" bentak laki-laki paruh baya itu dengan wajah memerah penuh amarah.

Vea hanya bisa terus menunduk sembari menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi. Matanya sudah sangat perih karena terus menangis.

"Pa! Ini bukan salah Vea! Ini salah kita yang selalu sibuk bekerja dan gak pernah memperhatikan mer---"

"Diam kamu!" potong laki-laki itu dengan tatapan tajamnya.

"Seandainya kamu tidak membawa anak saya ke hutan itu, anak saya pasti akan baik-baik saja dan menjadi penerus bisnis saya!"

Berbagai umpatan keluar di otak Vea. Bahkan disaat seperti ini, sang Papa hanya memikirkan bisnis, bisnis, dan bisnis.

Air matanya mengalir deras. Sebuah lengkungan kecil di wajah Vea itu kian melebar. Menangis sambil tersenyum itu rasanya sangat menyakitkan.

Sang Mama menarik Vea dan menghapus air mata Vea. "Jangan dengarkan Papamu. Ini bukan salahmu, paham?" ucap sang Mama sambil tersenyum dan mengelus lembut pipi putrinya yang memerah karena tamparan.

Laki-laki paruh baya yang melihat semua itu hanya berdecih. Melihat jam yang sudah semakin siang, laki-laki itu langsung pergi begitu saja untuk menuju ke kantornya.

Sang Mama hanya bisa menghela napas dengan tingkah laku suaminya.

"Ma, Vea mau masuk sekolah," ucapnya pelan. Mata sang Mama membulat.

"Dengan kondisi seperti ini? Jangan dipaksa, dulu, Nak. Kamu bisa istirahat dulu sampai merasa ten---"

Vea menggeleng pelan. "Gak, Ma. Vea akan masuk sekolah hari ini," potong Vea sambil tersenyum tipis.

Vea berjalan lemah menuju kamar mandi meninggalkan sang Mama yang hanya bisa menghela napas.

Di dalam kamar mandi, Vea menatap ke arah cermin. Melihat wajahnya yang begitu menyedihkan. Kedua matanya menggembung karena terlalu banyak menangis.

"Gue gak siap ke sekolah dengan wajah kayak gini. Pasti orang-orang yang denger berita tentang kejadian itu bakal ngejek gue mati-matian," lirih Vea.

"Tapi kalau gue gak ke sekolah, gue akan terus dihantui rasa bersalah. Gue gak akan bisa dapat hiburan dan mungkin gak akan bisa ikhlas tentang kepergian mereka. Dan ... gue pasti akan selalu dapat bekas merah di pipi gue dan tangan gue," sambungnya. Vea menghela napas pelan.

Tamparan papanya tadi sangat keras dan itu menyakitkan. Bahkan bekas merah itu terlihat dengan jelas.

Di sisi lain otaknya menangkap bahwa yang papanya katakan memang ada benarnya, ini adalah salahnya. Namun, di sisi lain otaknya membenarkan jika tidak diakhiri maka kalung itu akan terus memakan banyak korban.

Andai jika ia bisa memutar waktu, ia akan berusaha mencari jalan keluar tanpa mengajak sahabatnya juga abangnya lagi.

Andai ... andai ... andai ... mengapa kata itu sangat mudah sekali dikatakan ketika semuanya sudah terjadi?

Penyesalan ini, tidak akan bisa dengan mudah hilang dari diri Vea. Bahkan sekedar memaafkan dirinya sendiri saja, Vea tidak bisa.

Ia merasa menjadi seorang pembunuh yang telah membuat ketiga orang paling berharga di hidupnya meninggalkan dirinya untuk selamanya.

❍⊷⊷❍

HIYA HIYA

Vote & Komennya boleh lah

kolaborasi w//LinaFitriSyafa883
Pembimbing Mutia_aya

Misteri Kalung 6.16 [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang