42.

35 6 0
                                    

Jakarta di hari kepergian Amanda justru terlihat cerah, seperti ingin mengucapkan sebuah bentuk perpisahan paling indah untuk bisa diingat di dalam kepala. Seperti induk yang melepas kepergian salah satu anaknya. Sepanjang perjalanan, pikiran Amanda terbang liar, setiap sudut kota Jakarta adalah cerita.

Tentang dia seorang teman laki-laki yang dia temukan di samping rumah, cowok dengan senyuman sederhana yang bernama Nichol Januar. Senyuman yang selalu membuat hati Amanda menjadi tenang. Tentang dia yang pernah dilanda kesedihan dan diajak berkeliling dengan sebuah motor ninja merah agar perasaan berat dalam dadanya bisa menguap berbaur dengan udara.

Mobil masuk ke parkiran Bandara Soekarno-Hatta yang terlihat ramai oleh kerumunan manusia. Amanda menurunkan kopernya, dibantu oleh Caitlin yang naik di mobilnya, bersama dengan Marsha dan juga Susan. Sementara Maudy, Megan, dan Febby tidak ikut karena ada kuliah pagi.

Mereka berjalan menuju ke gate penerbangan. Ternyata tanpa Amanda duga, sudah ada anggota Komunitas Bumi Manusia di sana. Dimas memimpin barisan paling depan. Pandangan Amanda berkaca-kaca hingga penglihatannya buram serupa titik embun menutupi jendela.

"Hai." Amanda menyapa mereka semua."Kalian nggak repot-repot kayak gini. Ini bukan kali akhir kita ketemu kok. Aku bakalan datang dan bertemu lagi dengan kalian semua." Rasanya saat itu ingin sekali menangis.

"Hati-hati ya di sana, jaga kesehatan. Semoga kamu nyaman di sana. Jangan lupain Komunitas ini, Mand." Salah satu perempuan dalam anggota Komunitas Bumi Manusia bersuara. Satu per satu dari mereka bergantian memeluk Amanda, sambil berbisik menitipkan pesan penuh cinta.

Hati Amanda rasanya mengembang seperti kue dimasukkan dalam oven. Hingga orang paling akhir yang di ajak berbicara adalah Caitlin. Cewek itu memeluknya, untuk kesekian kalinya dan membuat napas Amanda seolah berhenti sesaat dengan tindakannya yang seolah tidak ingin sahabatnya jauh dari dekapannya.

"Gue nggak bisa kasih apa-apa, cuma mau bilang, kalau lo sedih atau butuh temen cerita, gue siap dengerin itu semua." Ucapan itu membuat Amanda menggigit bibir, menahan tangisnya.

"Gue bakalan selalu ada buat lo." Usai mengucapkan kalimat terkahir, pelukan terlepas.

Marsha dan Susan mendekat. Seulas senyum tertarik di bibir Amanda, dia merasa seperti mendapatkan harapan. Matanya berkeliling ke belakang dan tidak menemukan apa-apa."Nichol nggak bisa datang, Mand, tapi dia titip salam buat lo." Kata Marsha seolah bisa membaca pikiran Amanda dan arti dalam tatapannya.

Harapan Amanda secepat itu hancur, ekspetasinya terlalu tinggi. Padahal dia ingin bertemu Nichol, ingin kembali mengisi kotak kasih sayang yang kini isinya tinggal setengah lagi. Supaya bisa di ambil satu-satu selagi di Bandung.

"Bilang makasih ke dia, ya." Bisiknya dengan suara bergetar.

"Lo tenang aja. Nichol pasti akan selalu ada di hati lo. Dia sangat-sangat sayang sama lo, Mand." Marsha memeluknya, merasakan bahwa Amanda kali ini benar-benar tidak kuat lagi menahan air matanya."Titip salam juga buat Jessica. Kalau gue sampai sekarang masih mau nunggu, apa dia masih anggap gue sebagai sahabatnya atau nggak? Bilang, gue akan selalu nunggu itu."

"Pasti." Ucap Marsha lagi sambil menangis.

Pelukan terlepas."Gue pamit, ya?" Amanda menarik kopernya, entah untuk keberapa kalinya tangisnya pecah.

Melambaikan tangan pada mereka semua. Dia berjanji, setelah dia lulus kuliah di Bandung, dia pasti akan kembali. Bertemu dengan Jakarta dan seluruh kenangan di dalamnya. Suara operator yang meraung memberi panggilan akhirnya memaksa Amanda untuk bergegas, gadis itu segera melangkah menuju ke dalam.

Tak jauh dari posisi Amanda, tepat di seberang. Seseorang berdiri, dengan kepala terbungkus topi dan mata ditutup kacamata. Nichol, Amanda yakin itu dia. Dia yang pasti mengantarkan Marsha dan juga Susan untuk menemui Amanda, tapi mereka tidak boleh memberi tahu kalau ada Nichol menunggu disana.

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang