~》¿♧¿☆¿♧¿《~
V
O
T
E
☆☆☆☆☆
💬💬💬💬💬
❤❤❤❤❤
_________________________________________
VOTE☆ sebelum baca😊👐
.
.
.
.
.
"Kamu kenapa bohong sama Abang?"
'Anjirt! Anjirt! . Nanya itu lagi. Bodo banget si gue pakek bo'ong segala waktu itu. Kan jadi berabe!'- gerutu Acha dalam hati.
"Mm, itu Bang. Eh___," 'apa ya?'- Acha terus saja berpikir keras untuk mendapat jawaban yang tepat, "itu. Kemarin penerbangannya ada kendala. Jadi, Acha mutusin untuk sementara waktu di sini aja dulu," lanjut Acha lalu tersenyum lega. Semua hanya mangut-mangut menanggapi ucapan Acha. Percaya bangat sih.
"Terus kenapa nggak langsung pulang ke rumah?" Kini giliran Dila yang bertanya. Ia juga penasaran tentang hal itu.
"Gimana ya? Hm, gini deh. Selama kurang lebih 11 tahun Acha di Yogyakarta, kalian nggak penah ada niat untuk jenguk aku ke sana. Kalian nanyain kabar aku aja cuma lewat Oma atau Opa dan itu ketika Bang Arka yang desak nanya kan? Kalian nggak pernah nanya secara langsung ke aku. Ya emang, waktu itu aku belum punya HP, tapi kan ada telpon rumah? Bisa kan?
Nah, sampai saat ini. Nggak ada sekalipun kalian negokin Acha, bahkan aku juga tahu. Kalian sering ke Yogya untuk pengobatan Eca, tapi sepertinya memang tidak ada niat sedikit pun dari kalian untuk mampir nengok aku.
Sekarang, aku balik ke Jakarta bukan atas permintaan kalian. Kalian belum dan aku nggak tahu, apa kalian ada niat atau bahkan kalian masih ingat sama aku? Aku juga tahu, dia udah baikan. Tapi memang nggak ada niat kan atau lupa?" Acha tetap tersenyum bahkan Ia tertawa miris di akhir kalimatnya.
"Aku balik ke Jakarta atas keinginan aku sendiri. Jadi, untuk apa aku datang ke rumah kalian? Kalau kalian saja belum niat untuk nerima aku kembali? Kalian belum mau menerima kehadiran aku kembali. Belum mau menerima aku dalam kehidupan kalian lagi. Belum atau ... aku juga nggak tahu apa kalian masih akan nerima aku lagi? Jadi, untuk apa? Untuk apa?"
Semua tertegun tak terkecuali Eca. Meski belum mengerti sepenuhnya tapi ia bisa melihat kesedihan di sana. Sekali lagi mereka akui, mereka salah. Sangat salah. Benar, selama ini, selama mengurus Eca mereka tidak pernah memikirkan Acha. Ya, mereka akui itu. Mereka akan menanyakan kabar Acha ketika Arka menanyakannya. Tapi, bahkan Arka juga sudah jarang menanyakannya. Jarang?
Namun, sayangnya semua itu diketahui Acha. Dengan bantuan Opanya Ia bisa melihat jelas semua kegiatan mereka di Jakarta. Sangat disayangkan. Miris sekali!
"Ma-"
"Ngak perlu minta maaf. Maaf nggak akan bisa untuk ubah itu. Maaf kalian nggak akan gunanya kalau kalian nggak berubah." Lagi-lagi tidak ada raut sedih di sana. Senyum manis itu selalu terukir indah.
Bukannya lega, justru mereka tambah merasa bersalah. Eca pun mulai menyadari kata-kata Acha tadi. Berobat? Ke Yogyakarta? Dan ... sudalah ia pusing memikirkan itu.
"Ma-"
"Sudah ku bilang, tidak perlu minta maaf. Aku nggak butuh itu, yang aku mau dan aku butuh cuma perubahan kalian," sekarang ekspresi Acha berubah datar.
"Ta-"
"Sudahlah, nggak usah bahas itu lagi," Acha sudah capek dengan drama ini- lanjutnya dalam hati.
Seketika hening meliputi mereka. Semua tertunduk bersalah mendengar itu.
"Kamu mau kan tinggal di rumah lagi?"
"Bukannya aku nggak mau, Bun. Tapi aku belum siap untuk kembali. Kembalinya aku pasti akan bawa masalah yang lebih besar lagi. Ditambah kalian juga belum menginginkan Acha untuk kembali."
"Tapi Cia-"
"Acha!" koreksi Acha.
"Iya-iya. Tapi Acha, Bunda kangen, Bunda pengen kamu tinggal bareng kami lagi."
"Maaf, Bun. Acha belum bisa."
"Tapi Cha ...," kini Dila sudah mulai menitikan air matanya kembali.
"Kalau kalian cuma pengen maksa aku untuk lalukan apa yang nggak aku mau. Aku pamit."
"Acha Bunda mohon. Cha maafin Bunda, Cha. Hiks hiks hiks."
Acha bangkit dari duduknya, ketika ia akan membuka pintu kaca itu sebuah suara kembali menghentikannya,
"Acha Bunda mohon. Kalau kamu nghak mau berarti kamu udah nggak anggap Bunda lagi sebagai Bunda kamu?" Dila terus menangis, bahkan kini Ia sudah menangis sesengukan.
Acha berbalik. "Bukan Acha tapi mungkin Bunda yang nggak akan anggap Acha lagi," ucapnya tersenyum miris.
"ACHA?!"
"Kenapa, Yah?"
"Jaga ucapan kamu. Apa susahnya sih nurut?!"
"Apa susahnya? Susah Yah, susah banget. Apalagi dipaksa untuk ngelakuin apa yang nggak kita mau. Susah Yah." lirih Acha, "cuma ini kan? Acha pamit," lanjutnya.
Acha benar-benar pergi dari situ meninggalkan semua orang yang kini meratapi perbuatan mereka. Terutama Arlan dan juga Dila. Ternyata mereka salah mengambil keputusan. Sangat salah! Sedangkan Acha langsung melajukan mobilnya meninggalkan cafe itu dengan kecepatan tinggi. Mobil itu berhenti disebuah area apartemen. Ia segera turun dari mobilnya dan melangkahkan kakinya memasuki lobi apartement itu.
Ia memasuki lift, sebelum lift tersebut tertutup seseorang masuk. Ketika seseorang tersebut mendongak menatapnya raut terkejut terpampang dikedua wajah mereka.
"Acha?!"
"Cakra?!"
Keduanya tersenyum canggung dan mengalihkan pandangannya. Selanjutnya hanya ada keheningan di antara keduanya. Sampai pintu lift terbuka tepat di lantai dua.
Mereka berdua berasamaan melangkah keluar dari lift tersebut. Mereka kembali berhenti secara bersamaan lalu saling menatap. Keduanya kembali tersenyum canggung. Mereka kembali melangkah secara bersamaan dan beriringan sampai Acha beehenti di apartnya yang bernomor 153 dan Cakra berhenti di samping apart Acha yang bernomor 154. Mereka mengeluarkan sebuah kartu dari kantong masing-masing. Menempelkannya dan...
Clek
Keduanya menoleh secara bersamaan dan kembali tersenyum canggung. Dan secara bersamaan lagi mereka berdua kembali menoleh dan memasuki apartemen masing-masing.
Acha memasuki apartementnya dengan perasaan campur aduk. Acha memilih membersihkan diri di kamar mandi. Setelah selesai ia keluar dengan pakaian santai yang melekat pada tubuhnya. Acha berjalan menuju balkon aparnya dengan sebuah gitar di tangannya. Ia duduk di salah satu kursi di sana dan mulai memetik gitar itu, sehingga menghasilkan melodi yang indah. Ia menyanyikan sebuah lagu yang berjudul 'Broken Home'.
Ingatan akan kejadian di cafe tadi kembali terputar di otaknya. Jujur, ia tidak mau menyudutkan mereka. Ia tidak mau membangkang. Ia tidak mau melihat air mata itu jatuh dan sialnya itu karena dia!
Tapi, mau gimana lagi? Ini satu-satunya cara yang ia tahu untuk menyadarkan keluarganya. Meski ia juga tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak? Semoga saja berhasil. Ya, semoga!
Acha terus bernyanyi dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Ia tidak bisa mengontrol emosinya saat ini. Suaranya mulai terdengar serak karena menangis sesengukan.
Setelah menyelesaikan lagu itu, ia memandang langit malam. Ia tersenyum sendu menatap bulan di sana yang di kelilingi oleh hamparan bintang langit.
'Aku ngak mau jadi bulan. Meski dia penguasa malam tapi tetap saja dia selalu sendiri. Aku ingin jadi bintang. Meski kecil tapi Ia mempunyai banyak teman'
Dinginnya malam membuat Acha beranjak memasuki apartemennya kembali. Lalu Ia menutup pintu itu. Meninggalkan seseorang di seberang sana yang menatapnya bingung.
'Apa masalahnya sangat besar?'
_________________________________________
VOTE☆ AND COMENT💬❤:)!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ACHA || Good Bye!! [Terbit✅]
Narrativa generaleVersi Cetak ACHA sudah bisa kalian pesan di toko buku online yang sudah bekerja sama dengan pihak penerbit. Kalian juga bisa menekan link di bio untuk memesan♡ PRE ORDER [25-11-2021]-[08-12-2021] 》Terbit di @Cloudbookspublishing REVISI!! SANGAT BAN...
![ACHA || Good Bye!! [Terbit✅]](https://img.wattpad.com/cover/244181886-64-k248532.jpg)