Prolog

463 20 1
                                    

Selamat membaca^^

Siapa yang menyangka Isla bisa masuk ke SMA Erlangga?

Sekolah Menengah Atas yang telah terkenal di seluruh penjuru negeri. Mulai dari prestasi akademik sampai non-akademik, semua bidang dikuasai oleh siswa-siswi yang ada di dalamnya. Kedisiplinan, kerajinan, solidaritas, kepemimpinan dan loyalitas tidak perlu diragukan lagi.

Tak sembarang orang bisa masuk, karenanya tahapan masuknya sangat sulit. Tes masuk terdiri dari tiga macam tes. Tes tulis, untuk membuktikan nilai akademik. Tes wawancara, untuk menilai kemampuan bicara. Terkahir, tes praktek, untuk menghasilkan siswa/i yang kuat. Tes masuk itu dilakukan dalam satu hari. Karenanya, kemampuan manajemen waktu sangat dibutuhkan, kecepatan dan ketangkasan juga tak kalah penting.

Intinya, SMA Erlangga tak pernah menghasilkan sampah negara. Semua yang masuk ke sekolah tersebut sudah pasti bibit unggul yang akan menjadi emas untuk negara.

Isla berdiri di depan gerbang sekolah dengan bangga. Ia datang pagi-pagi sekali, sengaja, agar ia bisa berkeliling sekolah seluas tanpa mendapatkan tatapan aneh karena Isla selalu bereaksi heboh atas sesuatu yang sepele menurut orang kebanyakan.

Minggu pengenalan untuk siswa-siswi baru sudah berlalu. Hari ini adalah hari pertama Isla masuk sekolah dan akan belajar efektif. Pembagian kelas sudah diumumkan kemarin dan Isla sudah tahu di mana letak kelasnya.

Namun, Isla tak akan langsung pergi ke kelasnya. Ia akan berkeliling dulu di sekolah yang maha luas ini.

Mulai dari gapura mewah dengan tepian emas dengan ukiran oleh profesional menghiasai setiap celah. Sekali lihat, orang-orang akan mengira ini bukan hanya sekedar sekolah, tapi kerajaan. Mungkin agak terkesan melebih-lebihkan, tapi kenyataannya memang begitu.

Isla berhenti saat matanya menangkap kolam ikan besar di tengah-tengah parkiran, lengkap dengan air mancur di tengahnya. Dalam kolam itu bukan hanya ikan koi yang berenang-renang, tapi juga dua kura-kura yang tak malu-malu menunjukkan dirinya. Jika melihat ikan-ikan itu, lalu air mancurnya, seluruh masalah Isla seperti hilang begitu saja.

Beralih dari kolam, Isla melanjutkan langkahnya, masuk ke area sekolah. Pada tiga langkah yang ambil setelah melewati pintu masuk, Isla dihadapkan oleh lapangan luas yang tak pernah gagal membuatnya berdecak kagum mau seberapa sering ia melihatnya. Deretan kelas-kelas yang terbagi atas tiga gedung dengan tiga lantai pada masing-masing gedung mengelilingi lapangan berlapis rumput hijau yang tipis itu.

Isla perlu mendongak untuk melihat lantai teratas, yang kabarnya hanya ditempati oleh orang-orang tertentu. Kalian pasti mengerti. Tempat teratas itu pasti ditempati oleh orang-orang dengan kekuasaan, kekuatan dan kekayaan tertinggi.

Ada satu tempat yang membuat Isla terpaku saat melihatnya.

Di bagian paling atas gedung, ada rooftop yang pastinya akan membuat pemandangan ibu kota menjadi indah.

Isla ingin ke sana, tapi ia sadar dirinya belum cukup pantas untuk menginjakkan kakinya di sana. Belum lagi ia berstatus murid baru di sini. Pasti akan jadi masalah jika ia pergi ke kawasan kaum teratas.

Untuk sekarang dan satu tahun ke depan, Isla bersikap sesuai levelnya saja. Ia hanya murid biasa yang beruntung bisa masuk ke sekolah elit dan tak boleh mencari masalah sampai kelulusan tiba.

***

Isla melewatkan tahun pertama sekolahnya dengan lancar. Ia tak punya masalah dengan kakak kelas atau guru.

Sebaliknya, ia mendapatkan kepercayaan untuk menjadi ketua sekaligus perintis dari Harian Pelangi, sebuah klub jurnalistik yang kegiatannya tentang merangkum dan mengabaikan apa-apa yang terjadi di sekolah dalam bentuk gambar dan tulisan.

Klub itu dibentuk sekitar enam bulan yang lalu, masih belum punya banyak anggota atau punya catatan prestasi. Anggotanya hanya berjumlah sepuluh, tapi seluruhnya bekerja keras untuk menghasilkan berita terbaru dengan baik dalam Harian Pelangi yang kerap dibagikan ke setiap kelas dalam bentuk majalah.

Bahan majalah yang digunakan masih berupa kertas HVS karena klub Harian Pelangi tidak mendapatkan dana bulanan besar seperti klub akademik seperti klub matematika, kimia dan sebagainya atau klub non akademik seperti klub basket, futsal, catur dan yang lainnya.

Bahkan, kadang ada saja orang yang menebar kebencian atas keberadaan Harian Pelangi.

"Klub sampah, buang-buang uang sekolah aja. Kerjaannya cuma nulis berita yang jelas-jelas udah diketahui orang-orang lewat Instagram sekolah."

"Tau nih, nggak capek apa bagiin majalah yang ujungnya jadi injekkan kaki?"

"Bubar aja udah, ruangannya bisa dipake buat basecamp klub berguna yang lainnya."

"Iya, nih. Klub piano udah kesempitan ruangannya."

"Cuma sepuluh orang, apalagi isinya cuma anak-anak cupu, mending pulang aja dah, jangan sok-sokan jadi produktif."

"Nggak gue banget Harian Pelangi. Namanya aja copas. Nggak kreatif banget."

Awalnya, memang sulit untuk mendengar kata-kata menyayat hati itu, tapi sekarang udah satu semester berlalu. Isla tak akan maju jika terus memikirkan mereka yang tidak menyukainya.

Diantara 1200 lebih murid di sekolah ini, pasti ada yang menyukai majalah Harian Pelangi. Isla yakin itu dan membuatnya bertahan sampai sekarang.

Sekolah ini punya sebuah aturan tak kasat mata. Yang mana pergaulan harus sesuai kasta, kesetiaan seseorang dilihat dari seberapa tebal dompetnya, gengsi yang tinggi dan harga tinggi selangit.

Isla yang terlahir dari keluarga yang terbilang berekonomi rendah, jelas tak punya teman setara Kania, anak dari direktur rumah sakit terbesar negeri serta rombongannya di kalangan yang sama.

Isla mungkin tidak punya teman jika Raya tidak masuk ke sekolah ini. Sebenarnya Raya bukan seseorang dari kalangan rendahan seperti Isla, tapi perempuan itu memang rendah hati dan ramah. Bisa bergaul dengan siapa saja.

"La, pinjem catatan Bahasa Inggris lo, dong," kata Raya seraya menengadahkan tangannya pada Isla dengan tatapan memohon.

Isla mendengus kecil pada teman sebangkunya dari kelas sepuluh, sekaligus satu-satunya orang yang bersedia bergaul dengannya. Bukan hal yang aneh kalau Raya meminta catatannya di pagi hari seperti ini.

"Kemarin kenapa lagi? Padahal gampang banget, lho," heran Isla seraya mengeluarkan buku catatan Bahasa Inggris dari tasnya.

"Gue maratahon dua musim kemarin, gila sih, gregetan banget gue, La," jawab Raya seraya cengengesan tanpa dosa. Isla hanya membuang napas kecil karena ia sudah paham bahwa Raya adalah movie holic garis keras. "Jadi ceritanya tuh tentang cewek yang awalnya nggak punya apa-apa, tapi bisa dapat semuanya."

Kening Isla mengerut saat mendengar itu. "Kok bisa gitu?"

"Karena dia morotin seseorang yang punya rahasia yang bakal gawat banget kalau orang-orang pada tau. Nah, Si Cewek ini tau rahasia orang itu," tukas Raya berapi-api. Bahkan rasa film itu belum hilang sampai sekarang. "Si Cewek pinter banget pokoknya, tapi kasian juga cowoknya. Pokoknya banget banget deh filmnya."

Isla mulai tertarik. "Terus endingnya gimana?"

"Kalau gue kasih tau sekarang, nggak seru, dong," kata Raya dengan nada menggoda. Hal itu berhasil membuat Isla penasaran akut. "Lo bisa liat film itu sendiri kalau mau tau endingnya."

"Emang judulnya apa?" tanya Isla dengan senyuman penuh semangat dan mata berbinar-binar.

"The Secrets of Prince," jawab Raya dengan senyuman penuh arti.

***

Terimakasih telah membaca^^

0412020

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang