Part 26

416 26 0
                                    

Menangislah jika engkau ingin menangis, biarkan air matamu yang bercerita tentang semuanya.

- Author.
__________________

Langit berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, mereka kembali bertengkar. Entahlah, hampir setiap hari orang tuanya bertengkar dan hal itu membuat Langit takut.

"Oke, aku akan mentadangani surat perceraian ini, tapi Langit ikut bersamaku!" tegas Dirgantara seraya menenteng surat perceraian yang diberikan oleh Mentari.

Dirgantara tahu betul bahwa Langit adalah anak yang paling dekat dengan Mentari, jadi dia pikir hal itu dapat mengubah keputusan Mentari.

Mentari terdiam, namun sedetik kemudian ia kembali memasukan baju-bajunya ke dalam koper, keputusannya sudah bulat, Mentari sudah tak tahan lagi dengan sikap Dirgantara.

"Kamu serius dengan keputusanmu? Kita masih bisa membicarakan ini!" tegas Dirgantara seraya berusaha menghalangi Mentari yang tengah memasukan baju ke dalam koper.

"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Mas! Semuanya sudah jelas di mataku, kamu berselingkuh dengannya, mau ngelak apalagi, hah?!" jawab Mentari tak kalah tegas.

"Dengar, jangan hanya memikirkan egomu, pikirkan juga anak-anak, terutama Langit!"

"Bukannya kamu yang akan membawa Langit? Jika kamu meresa kasihan padanya, nikahi saja wanita itu dan jadikan dia ibu Langit!" tegas mentari dengan mata tajamnya.

"Wanita siapa?!"

"Siapa lagi kalau bukan Maria?!" tanya Mentari dengan napas yang menggebu-gebu.

"Mentari dengar, kau salah paham, aku dan Maria hanya-hanya–"

"Hanya berselingkuh di belakangku! Sudalah, Mas, aku sudah tahu semuanya, tanda tangani surat itu dan kita selesai!"

"Baiklah! Baiklah jika itu yang kamu mau!" jawab Dirgantara. "Silahkan pergi, pergi sesuka hatimu!" Mentari menatap Dirgantara sebentar sebelum berjalan keluar dari kamar, saat membuka pintu di sana sudah ada Langit yang menatapnya penuh ketakutan.

"Bunda, Bunda mau kemana?" tanya Langit seraya memegangi tangan sang Bunda.

Mentari mensejajarkan tubuhnya dengan Langit, lalu ia mengusap kepala Langit penuh sayang.

"Bunda harus pergi jauh, kamu tidak boleh ikut. Baik-baik di sini ya sama Papah, Bunda sayang kamu," lirih Mentari seraya menitikan air matanya, sebenarnya ia tak tega meninggalkan Langit seperti ini.

Setelah mengucapkan itu, Mentari mengusap air mata seraya tersenyum lembut, ia mengecup puncak kepala Langit dengan penuh cinta lalu ia berjalan cepat meninggalkan Langit.

"Bunda, jangan tinggalin Langit, Langit janji tidak akan nakal lagi, tapi Bunda jangan pergi!" teriak Langit seraya mengejar sang Bunda yang sama sekali tak menghiarukan teriakannya.

"Bunda, Bunda, Langit ikut, Bunda, jangan tinggalin Langit!" teriak Langit seraya terus mengejar sang Bunda, Mentari sudah memasuki mobilnya, Langit tetap merengek seraya mengetuk-ngetuk kaca mobil sang Bunda.

"Bunda jangan pergi!" teriak Langit, namun nahas Mentari sudah melajukan mobilnya, kaki mungil Langit terus berlari mengejar mobil Mentari, namun sayangnya kakinya tak cukup kuat untuk mengejar mobil itu.

"Bunda ...," tangis Langit seraya menatap mobil sang Bunda yang semakin menjauh. Ia terduduk di atas rumput hijau taman yang tak jauh dari rumahnya seraya memandangi jalan, Langit berharap sang Bunda datang lalu membawanya pergi.

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang