"Terkadang rusaknya sebuah hubungan tidak sepenuhnya karena orang ketiga, tetapi juga karena semesta sudah tak lagi merestui untuk tetap bersama."
-Langit Aditnya D
____________________
Sudah dua hari Langit berada di rumah sakit, hari ini Langit sudah di bolehkan pulang oleh dokter. Maria maupun Dirgantara sama-sama belum tahu bahwa Langit sudah diizinkan pulang, karena keduanya sama-sama sibuk.
Langit sudah mengganti pakaian rumah sakit dengan pakaiannya sendiri, rencananya dia akan membayar biaya administrasi, tetapi saat membuka pintu Dirgantara datang bersama Maria.
"Kamu mau ke mana?" tanya Maria dengan raut wajah keheranan.
"Langit mau bayar biaya rumah sakit," jawab Langit.
"Kamu udah dibolehin pulang?" tanya Maria, Langit hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Mas, kamu aja ya yang bayar biaya rumah sakit, masa Langit yang bayar?"
Dirgantara mengangguk, lalu dia pergi tanpa bicara untuk membayar semua biaya rumah sakit. Sedangkan Maria membawa Langit duduk di sofa yang ada di ruangan Langit.
Seperti yang dulu Maria bilang, setelah Langit sembuh dia akan membawanya pulang, maka dari itu kini Langit berada di mobil Dirgantara.
"Langit, kenapa kamu gak bilang sama kita kalau kamu udah dibolehin pulang?" tanya Maria.
"Karena kalian gak nanya," jawab Langit sekenanya. Maria mengganggukan kepalanya dengan wajah bersalah, ada sedikit rasa sakit yang menghujam hatinya.
Sedangkan Dirgantara langsung menatap Langit tajam lewat kaca yang terdapat di atas kepalanya, tetapi yang ditatap malah mengidikan bahu dengan wajah tanpa dosa, tidak ada yang salah bukan dengan jawaban Langit?
Satu jam kemudian, Langit sampai di rumahnya, tanpa bicara lagi Langit langsung menaiki tangga menuju kamar. Langit bingung jika sudah seperti ini, kalau dia tinggal bersama papahnya lalu bagaimana dengan pekerjaan Langit? Langit juga tidak akan bebas pergi ke rumah sakit, karena itu akan membuat Maria maupun Dirgantara curiga.
Mungkin Langit bisa saja bolos sekolah untuk cuci darah, tetapi dari mana dia akan membayar biaya itu semua jika dirinya saja tidak bekerja? Langit memang masih memiliki uang di atm, tetapi seperti yang sudah kita ketahui, atmnya selalu dipantau oleh sang ayah.
Memikirkan itu semua, malah membuat Langit pusing. Dia merebahkan dirinya di atas kasur, mencoba untuk tidur, tetapi sepertinya otak Langit memaksa dia untuk terus berpikir.
"Lang," panggil Maria pelan seraya mengetuk pintu kamar Langit.
"Hmm? Masuk," gumam Langit lalu dia bangun dari tidurnya.
"Ibu ganggu kamu gak?" tanya Maria.
"Oh, enggak kok, Bu."
Maria duduk di tepian kasur Langit, dia memandang ke depan, lalu menunduk.
"Lang, Ibu tahu ibu bukanlah sosok ibu yang kamu harapkan ... maaf, ya Ibu belum bisa menjadi Ibu yang baik buat kamu," ujar Maria dengan nada sendu, rupanya ucapan Langit saat di mobil tadi masih membekas di benak Maria.
Mendengar itu, Langit jadi merasa bersalah sudah berbicara demikian, padahal tadi Langit hanya refleks, karena ya yang Langit katakan itu memang benar, Langit sama sekali tudak berniat seperti itu, bagi Langit Maria adalah ibu yang baik.
"Bu, Langit gak pernah mikir gitu kok. Ibu adalah Ibu yang baik, Ibu jangan mikir gitu," jawab Langit. Maria menghela napas.
"Kamu pasti benci sama Ibu, ya? Sekarang kamu udah besar, kamu udah cukup dewasa untuk mengerti. Bagaimapun juga, kamu pasti menganggap Ibu adalah penghancur keluarga kamu," lirih Maria.
Dia menunduk, sejak lama Maria sudah menyesal, dia menyesal masuk ke dalam rumah tangga Dirgantara dan membuat semuanya menjadi kacau. Maria akui, dia memang salah, dulu dia hanya memikirkan apa yang dia inginkan tanpa memikirkan perasaan orang, pantas saja Tuhan menghukumnya dengan perasaan menyesal dan rasa bersalah.
Dulu, Maria pikir jika dia dapat memiliki Dirgantara maka dia akan hidup bahagia. Namun, ternyata salah, dia malah hidup dengan rasa penyesalan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Seandainya waktu bisa diputar, mungkin Maria akan lebih memilih mengikhlaskan Dirgantara bahagia dengan perempuan lain daripada menghancurkan keluarganya.
Namun sayangnya, semua sudah terlambat, waktu terus berjalan dan tak akan bisa diulang, setidaknya sampai detik ini, karena siapa tahu di masa depan ada orang yang bisa menciptakan mesin waktu. Entahlah.
"Langit gak pernah benci sama ibu, Langit juga gak menganggap ibu penghancur keluarga Langit ... karena Langit percaya, ini semua adalah takdir Tuhan. Dengan menyalahkan atau membenci Ibu, itu gak akan membuat semuanya kembali seperti dulu. Udahlah, Bu, nasi sudah menjadi bubur, kita nikmatin aja," jawab Langit panjang lebar seraya memegang tangan Maria, lalu dia tersenyum tipis di akhir kata.
Langit bersikap cuek bukan berarti Langit tidak menyayangi Maria, dia juga menyayangi Ibu sambungnya seperti Langit menyayangi ibu kandungnya. Ya, ini semua salah Langit karena dirinya sudah berbicara tanpa memikirkan perasaan Maria.
"Lagian, ini juga gak sepenuhnya salah Ibu, kalau cinta Bunda sama Papah kuat, mereka gak bakalan pisah, mungkin mereka emang bukan jodoh. Nah, jadi Ibu jangan mikir aneh-aneh, Langit sayang kok sama Ibu," jawab Langit seraya memeluk Maria dari samping.
Maria tersenyum hangat, ini pertama kalinya Langit bilang bahwa dia menyayangi Maria, wanita paruh baya itu sampai menitikan air mata saking bahagianya, lalu dia mengusap kepala Langit.
Tanpa mereka ketahui, di balik pintu kamar Langit, ada seseorang yang mengintip, lelaki paruh baya itu tersenyum tipis melihat pemandangan yang sangat jarang dia lihat, bahkan bukan jarang lagi, melainkan tidak pernah.
***
Pagi ini, untuk pertama kalinya Langit makan bersama keluarga tanpa ada perdebatan antara dirinya dan sang ayah, meskipun sikap Dirgantara tidak berubah, masih cuek-cuek menyebalkan. Sebenarnya Dirgantara bahagia bisa makan bersama anggota keluarganya dengan lengkap, hanya saja dia tidak bisa mengekpresikan kebahagiaan itu.
Bukan hanya Dirgantara saja, Langit juga bahagia, sejak lama dia menginginkan hal ini, hanya saja Langit terlalu yakin bahwa sendiri lebih baik. Maria serta Bumi juga turut bahagia, apalagi Bumi yang sudah sejak lama menginginkan kehadiran Langit.
Hari ini Langit akan kembali masuk sekolah, sudah empat hari langit meninggalkan sekolah. Namun, Langit tidak diizinkan menggunakan motornya, bahkan kunci motornya saja disita oleh sang ayah, mau tak mau Langit harus mau berangkat ke sekolah diantar oleh sang ayah.
Setelah Bumi turun dari mobil, tinggalah Langit dan Dirgantara yang tersisa, suasana mobil tampak hening, bahkan Langit terlihat canggung, padahal yang kini bersama Langit adalah ayahnya sendiri. Hal itu terjadi mungkin karena kurangnya komunikasi antara anak dan ayah.
Mobil Dirgantara berhenti tepat di gerbang sekolah Langit, saat Langit hendak membuka pintu mobil, sang ayah berbicara.
"Meskipun saya tidak pernah mendidikmu seperti yang kamu bilang, tetapi saya ini masih orang tuamu, setidaknya kamu memiliki rasa hormat terhadap saya."
Langit menghela napas, dia mengurungkan niatnya untuk keluar mobil, dia mengulurkan tangannya pada sang ayah, lalu mencium punggung tangan sang ayah untuk pertama kalinya lagi setelah lima tahun tak pernah melakukannya. Terakhir kali Langit melakulan hal itu adalah saat dia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
"Pah, Langit pamit sekolah dulu," ujar Langit. Setelah mengatakan itu, Langit langsung keluar dari mobil sang ayah.
Dirgantara bergeming seraya menatap punggung tangan yang baru saja dicium oleh Langit, dia tersenyum, dadanya terasa hangat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit [COMPLETED ✔]
Teen Fiction[Follow akun aku kalau mau] Langit Aditya Dirgantara, lelaki misterius yang irit bicara, masalalu yang kurang menyenangkan membuatnya menarik diri dari semua orang. Di tengah gelapnya hidup Langit, Tuhan memberikan malaikat tak bersayap untuk menyin...