Part 23

329 26 0
                                    

Pada hakikatnya, manusia memanglah makhluk sosial yang selelu membutuhkan orang lain.

- Langit Aditya D.

____________________

Sejak pulang ke apartemen, Langit duduk sendirian menatap jalanan di bawah sana. Ada sebuah rasa sesak yang tidak bisa Langit jelaskan, ada sebuah rasa kesal yang tak bisa Langit artikan.

Bolehkah jika Langit merasa Tuhan tak adil? Ayah serta keluarga barunya bahagia, bunda juga begitu, tetapi mengapa Tuhan tidak memberikan Langit kebahagiaan itu. Dosa apa yang sudah Langit lakukan hingga Tuhan menghukumnya seperti ini?

Langit sudah berubah, dia bukan lagi anak nakal yang selalu memberantakan rumah, tetapi mengapa Tuhan masih saja memberi Langit ujian, rasanya Langit tak bisa menghadapi ini semua.

Ayah tidak menganggapnya ada, begitupun dengan ibu, bahkan beliau menyangka Langit sudah tiada. Lalu kepada siapa lagi Langit harus mengadu? Kepada siapa lagi Langit meminta perlindungan? Kepada siapa lagi Langit bersandar?

Orang tua yang menjadi rumah bagi Langit, tetapi ternyata mereka tidak membiarkan Langit masuk. Langit seperti tuan rumah yang terkunci di luar, dia bagaikan orang asing di tengah-tengah keluarganya sendiri.

Langit merasa tidak ada lagi orang yang peduli padanya, semua orang meninggalkan Langit sendiri. Untuk apa dia hidup jika sudah seperti ini? Lelaki itu berdiri lalu menatap jalanan di bawah sana. Langit berteriak kencang, meluapkan amarah, kecewa serta sakit hati yang dia rasa.

Langit kembali berteriak. "Coba katakan sama gue siapa keluarga gue sekarang?!" tanya Langit berteriak bak orang gila, lalu dia tertawa sumbang. "Gak ada, ya? Haha keluarga lo udah ancur, Lang! Lo gak punya keluarga," lanjut Langit lirih.

Bahkan, Langi pikir jika dia loncat dari gedung ini pun tak akan ada yang peduli. Jika dia menjatuhkan diri dari gedung setinggi ini apa lalu mati. Apa ayahnya akan sedih? Atau malah senang karena sudah tak ada lagi yang membuat namanya malu?

"Meow." Choco mengeong seraya menggigit celana yang dipakai oleh Langit dan itu berhasil menyadarkan dia. Eongan kucing itu membuat Langit mengalihkan perhatiannya. Dia sadar dengan apa yang barusan dia pikirkan.

Apa yang baru saja dia pikirkan? Menjadi pengecut? Bunuh diri sama saja dengan lari dari masalah, dan Langit tidak mungkin lari dari masalah, dia bukan pengecut! Sekalipun Langit pada akhirnya akan mati, tetapi dia tidak ingin mati konyol.

Menyalahkan Tuhan? Apa barusan Langit menyalahkan Tuhan? Sepertinya Langit lupa, guru agamanya pernah berkata bahwa tidak boleh menyalahkan Tuhan, karena Tuhan pasti memiliki tujuan mengapa dia memberi hambanya sebuah ujian. Langit juga melupakan bahwa Tuhan tidak akan menciptakan masalah diluar kemampuan hambanya.

Meskipun tidak ada sosok orang tua untuk mengadu, tidak ada bahu pacar untuk bersandar, Langit lupa bahwa dia masih memiliki Tuhan. Tuhan yang tidak akan pernah membiarkan hambanya sendirian. Meskipun tidak ada manusia yang peduli, tetapi Tuhan selalu ada untuk hambanya, dan bodohnya Langit melupakan hal itu.

Tuhan maha mendengar, Dia juga maha memberi, Tuhan selalu mengabulkan apa yang hambanya minta. Langit pernah meminta kepada Tuhan agar dia mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan sang bunda, dan kini Tuhan mengabulkan permintaanya. Meskipun itu diluar ekspetasi Langit. Ini bukan salah Tuhan, tetapi salah Langit, mungkin dia salah ucap ketika meminta kepada-Nya.

Tak sepantasnya kita sebagai hamba menyalahkan Tuhan, padahal Dia yang sudah memberikan kehidupan.

Terkadang jika kita tengah berada dalam masalah, kita hanya perlu mengingat Tuhan agar hati menjadi tenang. Tuhan selalu punya jawaban atas semua pertanyaan, Tuhan selalu punya jalan keluar dari setiap cobaan, tak ada lagi tempat memohon dan meminta pertolongan selain kepada-Nya.

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang