Part 12

404 25 0
                                    

Kamu tak perlu banyak teman, kamu hanya perlu satu sahabat, karena satu sahabat yang setia lebih baik dari pada sepuluh teman yang hanya datang saat kamu banyak uang.

- Langit Aditya D.

__________________

Hari ini Langit tidak masuk sekolah, dia memilih berdiam diri dengan Choco di rumah, lagi pula Langit sedang sakit.

Lelaki itu terdiam di depan televisi, televisinya memang menyala, tetapi lelaki itu tidak menonton dia sibuk dengan pikirannya sendiri.

Raganya memang berada di apartemen, tetapi pikirannya berkelana kemana-mana bahkan sampai ke masalalu. Langit terdiam dengan pandangan menerawang dia teringat kembali dengan kejadian di mana awal mula hidupnya mulai berbeda.

Rumah yang tadinya rapih kini sudah berantakan bak kapal pecah, terdapat mainan hampir di semua tempat, lego bertebaran di mana-mana, mainan kereta api masih berputar dengan sendirinya juga robot-robotan yang masih menyala.

Namun, orang yang memberantakan serta pemilik dari mainan itu malah sedang asyik melukis. Bajunya sudah dipenuhi dengan cat, begitu juga dengan wajah serta tangannya.

"Diam!" suara bariton itu membuat Langit menghentikan aktivitasnya, dia terdiam seraya menatap kamar ayah dan bundanya.

"Jangan asal percaya! Dia hanya teman lamaku, tidak lebih," sahut Dirgantara dengan nada yang masih meninggi.

Akhir-akhir ini ayah dan bundanya sering berantem, membuat Langit sedih juga ketakutan. Perlahan Langit berdiri dan mulai berjalan mendekati pintu kamar orang tuanya.

"Tidak lebih katamu? Aku punya banyak bukti untuk membuktikan bahwa dia selingkuhanmu!" tegas Mentari dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Kau lebih mempercayai dia daripada suamimu sendiri hah?!"

"Apalagi yang bisa aku percaya darimu Mas? Kau sudah menghancurkan kepercayaanku!"

Dirgantara masih mencoba menjelaskan, sedangkan Mentari terus menolak segala penjelasan Dirgantara, sampai Dirgantara berteriak terserah lalu mengakhiri pertengkaran tanpa resolusi yang jelas.

Langit masih setia berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Dia berharap salah satu dari mereka keluar agar Langit bisa tahu apa yang tengah terjadi, apalagi setelah mendengar tangisan sang bunda.

Langit masih bertanya-tanya tentang mengapa bunda menangis? Apa ayah menyakiti bunda? Lalu pintu kamar terbuka, menampakan sosok sang ayah, Langit mundur beberapa langkah.

"Pergilah," kata sang ayah kemudian berlalu begitu saja.

Langit menatap kepergian sang ayah, lalu dia menatap bundanya yang sedang terduduk di atas kasur seraya menangis.

"Bunda," panggil Langit seraya berlari kecil menghampiri sang bunda. Melihat kedatangan Langit, Mentari langsung mengusap air matanya, meski begitu dia terlihat jelas sudah menangis atau bahkan sedang menangis.

"Ya, sayang," jawab sang Bunda memaksa tersenyum seraya menatap Langit.

"Bunda mengapa menangis?" tanya Langit.

"Bunda menangis karena kamu nakal, selalu saja membuat rumah kotor."

"Kalau Langit gak nakal, bunda gak bakalan menangis lagi?" tanya Langit dengan wajah polosnya.

"Tentu, sayang," jawab sang Bunda.

"Kalau begitu, Langit janji tidak akan nakal lagi, Bunda juga janji sama Langit jangan menangis, Langit tidak suka melihat Bunda menangis."

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang