Part 39

373 20 0
                                    

"Ekh, enggak kok Mar," sahut Mentari tersenyum lembut seraya berdiri.

Maria semakin tak enak hati melihat seorang wanita yang suaminya dia rebut, tetapi masih bisa tersenyum ikhlas seperti itu, masih bisa bersikap baik padanya. Padahal kalau dipikir-pikir, pengkhiantan yang dia lakukan begitu kejam, meskipun pada akhirnya dia menyesal.

"Itu siapa?" tanya Angel setengah berbisik pada Langit, tetapi ternyata Dirgantara mendengar pertanyaan Angel.

"Oh, eum, kenalin ini istri baru Papah namanya Maria yang mana berarti ibu kamu juga," ujar Dirgantara memperkenalkan Maria pada Angel.

"Mas, ini–?"

"Iya. Ini El," jawab Dirgantara.

"Hai, Tante," sapa Angel kaku lalu dia mencium punggung tangan Maria. "Ekh? Aku manggilnya apa, ya?" tanya Angel kikuk entah pada siapa.

"Kamu bebas kok mau manggil apa, senyaman kamu aja," jawab Maria seraya tersenyum tipis, Angel hanya mengangguk-angguk saja.

"Eum, kalau begitu, saya pulang dulu," sahut Mentari.

"Bunda ...," rengek Langit memegang lengan sang Bunda seolah meminta Mentari agar tetap di sini, bersamanya.

"Sayang, bunda harus pulang dulu, nanti Bunda ke sini lagi. Bunda janji," ujar Mentari seraya tersenyun menenangkan.

"Tolong, kali ini jangan ingkari janji Bunda," sahut Langit.

Mentari terdiam, ternyata Langit masih mengingat janji yang pernah dia ucapkan dulu, lalu sedetik kemudian Mentari tersenyum seraya mengangguk. "Kamu, jaga diri baik-baik, cepet sembuh, kita ketemu lagi nanti ya Sayang? Bunda sayang sama kamu," ujar Mentari lalu memeluk tubuh Langit. Langit menganggik kecil dalam pelukan sang Bunda, dia memejamkan matanya menikmati pelukan hangat dari sang Bunda.

Setelah berpamitan dengan Dirgantara serta Maria, Mentari keluar dari ruangan Langit, tetapi tidak dengan Angel, dia tetap di sana untuk menemani Langit.

Maria menanyakan kabar Langit, lalu pandangan Maria beralih pada Angel, anak tirinya yang lain. Dia tersenyum lalu menghampiri gadis itu yang tengah duduk di sofa. Maria mengajaknya berbicara, lalu tak lama setelah itu mereka langsung terlihat akrab.

Langit memperhatikan Maria dan Angel yang tengah mengobrol tentang fashion. Angel, gadis kecil dengan kepribadian pendiam dan tak suka diganggu, justru malah berubah menjadi gadis yang lebih aktif dan ceria, sikapnya yang sekarang dan yang dulu sangat jauh berbeda. Pantas saja Langit tak mengenalinya.

Seperti halnya Langit, dia juga sama. Angel juga terluka dengan perpisahan orang tua mereka. Bahkan perubahan yang terjadi dalam diri Angel juga karena hal itu.

Ketika Langit menjadi pendiam karena keadaan, Angel juga sama, dia menjadi ceria juga karena keadaan. Dia harus terlihat ceria demi menghibur sang Bunda.

Kalian tahu? Setelah perpisahan yang sebenarnya tak pernah diinginkan itu Mentari mengalami kesedihan yang mendalam, apalagi setelah mereka mengalami kecelakaan, oleh karena itu, Angel berusaha menghibur beliau.

Setelah beberapa saat, Maria pulang bersama Dirgantara, kini di ruangan berdinding putih itu hanya tersisa Langit dan Angel.

"Hmm, sampai detik ini gue masih gak nyangka kita sodara," ujar Angel memecah keheningan dengan wajah memelas seolah keberatan dengan takdir yang Tuhan berikan.

"Apa perlu tes DNA?" tanya Langit dengan wajah datarnya.

"Ya gak gitu juga. Gue gak nyangka aja ... orang yang gue suka, orang yang gue cintai setengah mati, ternyata saudara kembar gue sendiri," jawab Angel seraya tersenyum getir. Pupus sudah harapan Angel untuk menjadi istri dari seorang Langit Aditya Dirgantara.

Langit hanya tersenyum saja, dia cukup senang dengan kenyataan kini, karena itu artinya tidak ada lagi yang akan megganggu hubungan dia dan Cahaya.

"Dan satu lagi, gue juga gak nyangka, Langit kecil yang kata Bunda hyper aktif dan selalu ceria ternyata besarnya malah jadi cowok misterius yang irit bicara."

"El, lo sadar gak sih? Sikap kita itu kayak ketuker, lo yang pendiem jadi aktif, gue yang aktif jadi pendiem."

"Lah iya, kok gue gak ngeh," sahut Angel. Ponsel Angel berbunyi, sebuah pesan masuk dan ternyata itu pesan dari Dinda yang memberitahukan bahwa dia sudah sampai di parkiran rumah sakit.

"Ekh, Lang, gue pulang dulu ya udah sore, kakak ipar gue juga udah jemput," ujar Angel.

Langit mengangguk-angguk. "Oh, iya, hati-hati lo di jalan."

"Siip. Bye-bye gebetan, ekh kembaran maksudnya," sahut Angel melambaikan tangannya seraya terkekeh geli.

***

Di lain tempat, Cahaya tengah terbaring di tempat tidur dengan penampilan acak-acakan, juga terdengar alunan lagu galau yang sengaja Cahaya putar sedikit keras. Dia memang selalu memutar lagu-lagu galau saat perasaannya tak karuan.

Lestari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan purinya, meski begitu, tetapi Lestari memaklumi hal itu, karena dia juga pernah muda dan dia juga pernah galau seperti itu.

Sejak kemarin lusa, tepatnya sejak pulang main dengan Bian dan Andin, Cahaya jadi seperti itu. Karena khawatir dia berantem dengan mereka, Lestari mencoba menghubungi Bian dan Andin.

Meskipun raga Cahaya terdiam, tetapi pikirannya jalan-jalan. Gadis itu tengah memikirkan sesuatu, sesuatu yang dia lihat kemarin lusa.

Kenapa Langit bisa bersama Angel? Apakah sekarang Langit sudah membuka hatinya untuk Angel? Lalu bagaimana dengan dirinya?

Saat sadar pikirannya sudah keluar jalur, Cahaya segera bangun dari tidurnya, dia mengacak rabutnya yang berantakan menjadi tambah berantakan.

"Ish! Cahaya! Apa sih yang kamu pikirin? Mau Langit pacaran sama Angel pun itu bukan urusan kamu Cahaya, kenapa kamu malah sedih gini? Lagian 'kan bagus kalau Langit udah gak ngejar kamu lagi, harusnya kamu seneng tau gak?!" ujar Cahaya pada dirinya sendiri.

Kemarin lusa dia melihat Angel dan Langit tengah mengobrol di sebuah restoran. Restoran yang sama saat Langit mengajak Cahaya dinner waktu itu, yang tak lain dan tak bukan adalah restoran favorit Langit.

Kejadian itulah yang membuat Cahaya galau seperti ini, padahal kejadiannya sudah berlalu. Di tambah lagi Langit tidak ada kabar dari semalam, lelaki itu hanya mengirimkan pesan singkat berisi ucapan selamat malam, tidak seperti biasanya, karena biasanya Langit selalu mengirim pesan pada Cahaya, bahkan pagi ini Langit tidak mengucapkan selamat pagi.

Entahlah, ada sedikit rasa kesal dan sedih saat melihat Langit bersama Angel, dia juga merasa ada yang hilang saat Langit tidak mengirimkan pesan, padahal seharusnya Cahaya tidak perlu merasakan hal itu, toh Cahaya juga bukan siapa-siapanya. Dan perlu Cahaya ingat, dia selalu menginginkan Langit pergi dari hidupnya, jadi seharusnya dia senang dengan hal ini, bukan malah sebaliknya.

Cahaya memegang liontin kalung pemberian dari Langit, dia menghela napas seraya menatap liontiin kalung itu. "Langit, kenapa kamu bikin aku kayak gini?" tanya Cahaya.

"Cieee yang lagi galau," sahut Andin yang tiba-tiba datang bersama dengan Bian.

"Hahaha, digoshtingin lo sama si Langit?" tanya Bian.

"Apa sih Andin, Bian, aku gak galau kok aku cuman ... eum cuman ...."

"Cuman apa hayo? Lo gak bisa jawab 'kan? Ngaku aja udah, galau kan lo," goda Andin seraya terus terkekeh.

"Kalian ngapain sih ke sini?" tanya Cahaya mengalihkan pembicaraan.

"Nyokap lo nelepon gue, katanya dari kemaren lusa lo gak keluar kamar, gak makan, apa sih yang lo pikirin, Ya?"

Cahaya menggelengkan kepalanya, bukan tidak ingin bercerita, tetapi dia malu untuk bercerita. Dia juga takut mereka menganggap Cahaya jatuh cinta sama Langit, padahal 'kan nyatanya mungkin sih.

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang