Part 34

338 24 0
                                    

"Jangan lari dari masalah, karena sejauh apapun kamu lari masalah akan tetap mengikuti."

- Adi
______________________

Ternyata seseorang yang mengagetkan Langit adalah Harry. Lelaki itu bertanya mengapa Langit menepi di jalanan, katanya Harry takut Langit mengalami kecelakaan atau terjadi apa-apa. Langit tersenyum seraya mengatakan semuanya baik-baik saja, setelah berbicara sedikit mereka kembali melajukan mobil meninggalkan jalanan itu.

Malam ini, Langit tidak pulang ke apartemen atau pun ke rumah Basakara, dia akan menginap di rumah Rifa, tantenya. Sudah lama juga dia tidak mampir ke sana dan bertemu dengan sepupunya yang masih duduk di bangku kelas satu SMP.

Di lain tempat, Dirgantara terlibat percekcokan dengan Maria, wanita itu menyalahkan tindakan Dirgantara yang memang tidak bisa dibenarkan. Sedangkan Dirgantara tidak ingin disalahkan juga tak ingin ada percekcokan.

Dia pernah berumah tangga, dia juga pernah gagal, dan semua berawal dari percekcokan, Dirgantara tak ingin kejadian di masalalu kembali terulang di masa kini.

Dirgantara sudah merasakan penyesalan, itu lah mengapa dia tak ingin kembali terulang. Mungkin perceraian adalah jalan terbaik pada saat itu, tetapi sebenarnya perceraian bukanlah jalan terbaik bagi seorang anak. Karena anak selalu menjadi korban atas perceraian orang tua.

"Aku nyesel, Mas, aku nyesel udah ngelakuin itu semua, aku memang ingin mendapatkan kamu, tetapi mendapatanmu dengan cara yang begitu membuatku terus dihantui rasa bersalah, aku yang mengakibatkan ini semua terjadi," ujar Maria jujur dengan rasa bersalah dan penyesalan yang tampak jelas di matanya.

"Sudahlah, percuma kita menyesal, itu semua tidak akan mengembalikan apapun, rumah tanggaku dengan Mentari sudah gagal, aku tak mau rumah tangga kita juga gagal, kamu juga pasti tahu 'kan? Anak-anak yang terkena dampaknya, aku tak mau itu terjadi lagi, cukup Langit dan El yang merasakan itu, aku tak mau Bumi merasakan hal yang sama!" ujar Dirgantara tegas.

"Mas, aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan rasa bersalah. Mungkin kita emang gak bisa mengembalikan keadaan, tapi kita bisa memperbaiki keadaan, aku mohon Mas temui Langit dan jelaskan semuanya."

"Percuma, Langit sudah pergi. Langit sudah membenciku, aku sudah terlalu dalam dan terlalu sering mengukir luka di hatinya."

"Mas, aku yakin Langit akan mengerti jika kamu menjelaskannya, aku tidak ingin dihantui rasa bersalah, dengan melihat kamu dan Langit kembali bersatu, melihat Langit bahagia, itu bisa mengurangi rasa bersalahku, Mas."

Dirgantara tak menyahut, pandangannya lurus ke depan dengan raut wajah kusut.

"Mas, kerjar Langit. Kalau kamu tak mengejarnya, Langit akan merasa dibuang dan itu akan semakin menambah luka di hatinya, setidaknya jika kamu mengejar Langit, dia akan merasa disayangi."

Dirgantara terdiam, berusaha memahami apa yang diucapkan oleh Maria, dia juga memikirkan cara terbaik menyelesaikan masalah ini. Lelaki paruh baya itu menghela napas, "baiklah, aku akan mencari Langit," ujar Dirgantara, Maria tersenyum hangat mendengar jawaban suaminya.

Lelaki paruh baya itu meminta Maria untuk tidur, tetapi dirinya sendiri malah pergi keluar. Dia pergi menyusul Langit ke apartmennya. Namun, saat sampai di sana seseorang yang dia cari tak ada, dengan sigap dia langsung menelepon Baskara.

Di lain tempat, Baskara mondar-mandir tak jelas mengkhawatirkan Langit. Setelah mendapat telepon dari Dirgantara, dia tidak bisa tidur lagi, biasanya jika Langit tidak ada di apartemen dia akan pergi ke rumahnya, tetapi kali ini Langit tidak ada, kemana perginya remaja labil itu?

Setelah menelepon Basakara dan hasilnya nihil, Dirgantara langsung menelepon adik bungsunya, Rifa. Ternyata hasilnya sama, Langit tidak ada di sana, lalu Langit sebenarnya pergi ke mana? Jantung Dirgantara bergemuruh hebat, bagaimana jika Langit melakukan hal yang tidak-tidak? Lelaki paruh baya itu langsung menelepon anak buahnya untuk mencari keberadaan Langit.

Rifa juga sama khawatirnya seperti Baskara dan Dirgantara, di tengah kekhawatiran itu, seseorang datang mengetuk pintu rumah, saat dibuka ternyata itu Langit.

"Langit!" pekik Rifa kaget, wanita paruh baya itu langsung memeluk tubuh Langit. 

"Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Rifa khawatir seraya memutar tubuh Langit dan meraba-raba wajahnya. Biasanya selalu ada bekas tamparan di wajah Langit, tetapi kali ini tak ada, karena tamparan itu tak mendarat di pipinya melainlan di hatinya.

"Gapapa, kok, Tan," jawab Langit seraya tersenyum kecil.

"Ya sudah, yuk masuk dulu," ujar Rifa seraya membawa langit masuk ke dalam. "Kamu tuh ya selalu aja bikin Tante khawatir, tadi Papah kamu nelepon, dia nanyain kamu. Sekarang Tante mau ngabarin Papah kamu dulu kalau kamu ada di sini biar dia gak khawatir."

"Jangan, Tan," cegah Langit cepat, Rifa menatapnya penuh tanya. "Kalau Papah tahu Langit ada di sini, dia pasti jemput Langit, Langit mau nenangin diri dulu, Tan, boleh, 'kan?" tanya Langit.

"Boleh-boleh aja kalau mau nenangin diri, tapi jangan lari," sahut seorang lelaki paruh baya dengan kacamata bertengger di pangkal hidungnya seraya berjalan menghampiri Langit dan Rifa di ruang tamu.

"Ekh, Om," sapa Langit menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Tante bikin minum dulu, kamu ngobrol aja sama Om."

"Udah lama kamu gak ke sini, sekalinya ke sini lagi ada masalah, kenapa lagi hm?" tanya Adi.

"Biasalah, Om, masalah Langit sama Papah yang gak ada ujungnya."

Adi tersenyum seraya memangut-mangut, Langit memang tidak pernah memberi tahu secara spesifik bagaimana bentuk pernasalahannya. Maka dari itu, dia tak pernah tahu masalahnya apa dan masalah mereka tak pernah selesai, karena tak ada pihak lain yang membantu untuk menyelesaikan.

"Mungkin Om gak bisa ngasih kamu solusi, tapi satu pesan dari Om. Jangan lari dari masalah, karena sejauh apapun kamu lari masalah akan tetap mengikuti, hadapi agar semuanya cepat usai."

Langit terdiam. Apa yang dikatakan oleh Adi memang benar. Jadi, apakah selama ini Langit benar-benar menepi atau hanya sedang bersembunyi? Langit tersenyum. "Makasih, Om. Om, Langit bolehkan numpang di sini sehari? Sehari aja kok, Om, setelah itu Langit bakalan pergi."

"Siapa yang ngelarang? Rumah Om selalu terbuka buat kamu, tapi menurut Om lebih baik kamu tinggal di sini aja daripada kamu lari-larian gak jelas di luar sana."

"Makasih, Om. Maaf Langit selalu ngerepotin," ujar Langit seraya menunduk. "Lebih merepotoan lagi kalau kamu kabur-kaburan gak jelas, karena itu biar kamu gak semakin ngerepotin mending kamu tinggal di sini aja," sahut Rifa seraya berjalan dari dapur.

Langit tersenyun kecil. "Maaf, hehe."

"Nih, diminun dulu," ujar Rifa seraya membawakan nampan berisi dua cangkir teh hangat dan satu cangkir kopi hitam.

"Tante tahu kamu gak sekuat itu untuk menghadapi masalah ini sendirian, tapi tante juga tahu kamu gak lemah, kalau kamu gak kuat kamu bisa membagi beban kamu sama Tante, sama Om juga."

Lagi-lagi Langit tersenyum kecil. "Hm, makasih tawarannya Tan, tapi Langit masih bisa kok ngadepin ini semua, lagian masa beban Langit dibagi-bagi," ujar Langit diakhiri dengan kekehan kecil, Adi dan Rifa juga ikut terkekeh meskipun mereka tak begitu paham lucunya di sebelah mana.

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang