Part 37

389 27 0
                                    

Dirgantara membawa mereka semua ke rumah sakit, meskipun pada awalnya Harry dan teman-temannya menolak, tetapi pada akhirnya mereka ikut ke sana untuk mendapatkan pengobatan.

Lelaki paruh baya itu juga sempat memberikan sejumlah uang untuk mereka sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongnya, tetapi Harry menolak pemberian itu dengan alasan dia membantunya dengan ikhlas.

Setelah mendapatkan pengobatan, Harry dan yang lain segera pergi dari rumah sakit, tetapi tidak dengan Langit, karena lelaki itu harus mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Oleh karena itu, Langit dirawat inap setidaknya untuk satu atau dua hari.

Saat dokter memeriksa Langit, lelaki itu mengancam dokternya agar tidak memberitahukan apapun pada Dirgantara apalagi yang bersangkutan dengan ginjalnya, karena Langit tahu dokter itu pasti mengetahui kalau dia menderita gagal ginjal. Untung saja dokter itu nurut pada Langit dan Dirgantara juga tidak banyak bertanya.

"Pah, anak-anak buah Papah kemana? Kok gak ada pas Papah butuh pertolongan? Bukannya Papah nyewa mereka untuk ngelindungi Papah?" tanya Langit.

"Papah nyuruh mereka buat nyari kamu," jawab Dirgantara. Langit terdiam, itu artinya tanpa sengaja dia sudah membahayakan Dirgantara, karena jika anak buah Dirgantara tidak disuruh mencari Langit kejadian tadi tidak akan berlangsung se-dramatis itu.

Hal ini juga menunjukan bahwa Dirgantara lebih memilih menemukan Langit daripada melindungi nyawanya, lelaki paruh baya itu pasti tahu dia dalam bahaya jika tidak ada anak buahnya.

"Maaf. Gara-gara Langit nyawa papah terancam."

Dirgantara tertegun. "Jangan lupakan, kamu baru saja menyelamatkan nyawa papah tanpa memikirkan nyawa kamu. Lagian ini bukan salah kamu, ini salah papah, harusnya papah yang minta maaf sama kamu," ujar Dirgantara.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi, mereka sama-sama terdiam dalam kecanggungan. Di tengah keheningan, Maria datang dengan raut wajah panik.

"Langit, kamu kenapa? Kok bisa gini? Kamu dipukulin orang? Ini luka-luka kamu gimana? Ada luka yang serius?" tanya Maria panik saat memasuki ruangan Langit.

Langit terkekeh kecil, dia sampai bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. "Langit udah gapapa kok, Bu, cuman luka kecil aja," jawab Langit seraya tersenyum menenangkan. Maria menghela napas lega, "syukurlah, ibu tadi khawatir banget sama kamu."

"Mas, apa yang terjadi sama kalian? Kamu juga luka-luka gitu?" tanya Maria menatap Langit dan Dirgantara bergantian.

Dirgantara memberikan kode pada Maria agar mengikutinya, lalu dia berjalan ke luar tanpa sepatah kata pun.

"Lang, Ibu ...,"

"Iya, Bu," sahut Langit seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh Maria. Maria tersenyum lembut lalu dia keluar dari ruangan menyusul Dirgantara.

Setelah Maria keluar, Langit mengernyitkan dahi, kenapa mereka harus bicara diluar? Apa jangan-jangan ada yang disembunyikan? Oh astaga, yang benar saja, rasanya terlalu banyak rahasia dalam keluarga Langit.

Langit memilih mengirim pesan pada Cahaya saja daripada memikirkan apa yang mereka bicarakan diluar sana, yang ada Langit bisa mati penasaran.

"Mas," panggil Maria. Dirgantara berbalik dengan wajah harap-harap cemas. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Maria tak kalah cemas.

"Apa yang kita takutkan terjadi," jawab Dirgantara. "Maksud kamu? Mereka–"

"Iya. Mereka tahu kenyataan itu, mereka nyerang Mas, kalau gak ada Langit mungkin Mas gak akan ada di sini sekarang," jawab Dirgantara. Maria membelelakan mata, menutup mulutnya tak percaya, jantungnya berdebar kencang dan lututnya terasa lemas.

***

Maria pulang ke rumah, tetapi tidak dengan Dirgantara, dia memilih tetap di rumah sakit untuk menemani Langit.

Lelaki paruh baya itu tidur dengan posisi duduk, Langit yang terbangun tersenyum kecil melihatnya, ada rasa bahagia dalam hatinya, tetapi dia juga tak tega melihat papahnya tidur dengan posisi seperti itu.

Langit menatap Dirgantara lamat-lamat, ingatan-ingatan lama kembali bermunculan dari saat ayahnya masih menjadi Dirgantara yang penyayang sampai berubah  menjadi Dirgantara yang pemarah.

Tiba-tiba Langit teringat dengan pembicaraannya bersama El alias Angel tadi. Seharusnya besok dia dan Dirgantara bertemu dengan El dan Mentari, tetapi kondisinya tak memungkinkan, akhirnya dia mengambil ponsel lalu memberi kabar pada Angel bahwa dia sedang berada di rumah sakit dan memintanya untuk datang besok bersama Mentari.

Bukan hanya itu saja yang Langit ingat, dia juga teringat kembali dengan ucapan Harry, Langit perlu tahu yang sebenarnya, lebih baik dia tanyakan saja besok pagi pada ayahnya.

Tadi, saat Langit menolong Dirgantara dia sama sekali tak ingat dengan semua kelakuan papahnya bahkan rasa benci dan kecewa dalam diri Langit lenyap begitu saja, tetapi kini rasa itu kembali datang.

Lelaki itu menghela napas, lalu dia memilih tidur daripada memikirkan hal-hal yang membuatnya terluka.

***

Pagi telah tiba.

"Pah, ada yang ingin Langit tanyakan sama Papah," ujar Langit membuat Dirgantara memandangnya dengan alis berkerut.

"Apa papah tahu El masih hidup?" tanya Langit seraya menatap Dirgantara. Dirgantara menghela napas. "Papah tahu ini sulit buat kamu, tapi kamu harus bisa menerima kenyataan bahwa El udah gak ada," jawab Dirgantara, kesedihan terlihat jelas di matanya.

"El masih hidup, Pah!" tegas Langit. Dia yakin Gaia Angelya adalah Gaea Angelya Dirgantara.

"Enggak, Langit. Mentari sendiri yang bilang sama Papah kalau El udah gak ada, Papah percaya sama Mentari karena dia gak mungkin bohong."

Langit menghela napas, Papahnya itu memang keras kepala. "Oke, kalau Papah gak percaya gapapa. Sekarang, jawab pertanyaan Langit yang ke dua, Papah harus jujur," peringat Langit sebelum mengucapkan pertanyaannya. Dirgantara hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

"Apa bener Papah mengakui Langit sebagai anak angkat Papah bukan anak kandung Papah?" tanya Langit enteng dengan pandangan lurus menatap mata Dirgantara.

Dirgantara mematung. Bagaimana Langit tahu? Itu adalah berita lama, lagi pula Dirgantara sudah meminta agar berita itu dihapus.

"Pah, jawab pertanyaan Langit!" tegas Langit. "Lang, Papah bisa jelasin itu," jawab Dirgantara.

Langit memejamkan mata, cairan bening keluar dari kelopak matanya, kenapa rasanya sakit? Kenapa Dirgantara sejahat itu pada Lngit? Segitu buruknya Langit sampai-sampai ayah kandungnya sendiri tak ingin mengakui dirinya sebagai anak kandung.

"Jelasin, Pah," lirih Langit.

"Papah menyembunyikan kamu dari mereka Langit!"

"Mereka siapa, Pah?! Papah nyembunyiin Langit dari siapa? Dari Bunda, hah?!"

"Papah gak cuman nyembunyiin kamu dari Mentari! Kamu ingat orang-orang yang berusaha menculik kamu saat SD? Mereka bukan musuh Papah dalam hal bisnis, mereka menginginkan kamu Langit, alasan kenapa Papah membuat berita palsu agar kamu aman, Papah berusaha melindungi kamu, Papah gak mau kehilangan kamu Langit!" jelas Dirgantara panjang lebar, matanya terlihat berkaca-kaca.

Langit tertegun. Ya, dia ingat, dia memang sempat akan diculik saat pulang sekolah, untung saja ayahnya datang, dan setelah kejadian itu, ayahnya berubah, tidak lagi mengizinkan Langit keluar rumah, bahkan Langit homescooling selama empat tahun.

"Maafin Papah Langit, Papah tahu ini akan menyakiti kamu, tapi ini demi kebaikan kamu, maafin Papah Langit," lirih Dirgantara dengan air mata yang keluar dari kelopak matanya.

"Lalu, kenapa Papah menyembunyikan Langit dari Bunda juga? Kenapa Papah membohongi Bunda? Bunda berhak tahu kalau Langit masih hidup."

"Karena ... orang yang menginginkan kamu itu ada kaitannya dengan Mentari, kamu tahu orang-orang yang menyerang Papah tadi? Mereka adalah anak buah mantan ayah angkatnya bunda kamu. Mereka tahu kamu belum mati, makanya mereka nyerang Papah," jawab Dirgantara.

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang