Part 32

437 24 0
                                    

Seapik apapun kamu menyembunyikan kebohongan, pada akhirnya akan terbongkar juga.

- Author.
______________________________

Akhirnya Cahaya dan Langit berpisah, mereka memasuki mobil untuk pulang ke rumah masing-masing. Senyuman hangat tetap terukir di wajah Langit, momen yang sangat langka, bahkan Langit tak pernah mengira ini akan terjadi. Lelaki itu masih mengingat dengan jelas kejadian tadi bersama Cahaya.

"Yang lagi kasmaran mah beda," sahut Baskara yang tengah mengemudi, lagi-lagi Langit hanya tersenyum saja seraya melihat keluar dari jendela.

"Kamu gak sakit, 'kan?" tanya Baskara seraya menempelkan punggung tangannya pada dahi Langit.

"Kalau lagi nyetir, nyetir aja," jawab Langit seraya menghempas tangan Baskara yang ada di dahinya.

"Kamu itu kalau senyum paling bentaran, tapi sekrang Om perhatiin dari tadi masih bertahan, Om 'kan jadi curiga."

Langit menghembuskan napasnya kasar, kemudian dia menatap baskara dengan tatapan malas. "Emang Langit gak boleh senyum lama, ya?" tanya Langit.

"Bukannya gak boleh, tapi aneh aja kalau liat kamu senyam-senyum gitu. Emang Cahaya seberarti itu buat kamu, Lang?"

Langit menatap Baskara dengan seulas senyum kelembutan, senyum yang sangat jarang dia tunjukan. "Ya, begitulah, kalau Cahaya gak berarti buat Langit, Langit gak bakalan ngasih ginjal Langit buat Cahaya."

Baskara mengangguk-angguk. "Iya juga, ya? Mana gratis lagi."

"Kalau dibayar, itu namanya Langit bukan ngasih, tapi ngejual," jawab Langit dengan nada kesalnya. Baskara hanya tertawa seraya mengusap kepala Langit.

"Kenapa saat itu kamu mendonorkan ginjal untuk Cahaya, kenapa gak nyari pendonor lain?" tanya Basakara.

Dulu, Basakara tahu Langit mendonorkan ginjalnya satu hari setelah kejadian itu, dan setiap dia bertanya Langit tidak pernah menjawabnya, dengan alasan dia tidak ingin membahasnya karena hal itu membuat Langit teringat dengan Cahaya. Siapa tahu kali ini dia mau menjawab pertanyaan besar yang selalu menghantui Baskara.

"Karena waktu itu keadaannya darurat, Langit takut nyawa Cahaya gak selamat, saat itu yang ada dipikiran Langit hanya keselamatan Cahaya, jangankan ginjal, nyawapun akan Langit beri jika Cahaya membutuhkannya."

"Azeek, kayak yang punya nyawa banyak aja. Om gak ngerti kenapa kamu serela itu berkorban banyak buat Cahaya?"

Langit mendengus, jika sudah satu pertanyaan dijawab, pasti banyak pertanyaan dibelakangnya. "Udah akh, lagian Om gak bakalan ngerti, yang ada nanti pertanyaanya beranak," jawab Langit, lalu dia kembaki fokus memandangi jalanan dari jendela mobil.

"Ck, kamu ini, gak mau gitu cerita-cerita sama Om?" tanya Baskara.

"Gak, Om terlalu banyak tau tentang Langit, nanti kesan misteriusnya ilang." Baskara hanya berdecak seraya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Langit.

Langit meminta Baskara untuk mengantarkannya ke apartemen dengan alasan ingin ganti baju serta mengambil mobilnya. Baskara melihat Langit sudah lebih tenang daripada semalam membutnya mengizinkan lelaki itu pulang ke apartemen.

Sesampainya di apartemen, Langit langsung tiduran di atas kasur, tetapi tidak lama karena dia harus segara membereskan apartemennya yang berantakan, makanan dan minuman bekas pak supir masih belum dia bereskan.

Setelah apartemennya kembali bersih, Langit menuju kamar mandi, tanpa dia ketahui seseorang datang ke apartemennya.

"Lang, Langit!" panggil orang itu. Langit yang masih berada di kamar mandi menegang mendengar suara papahnya. Dia mematikan shower, memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, dia segera keluar dari kamar mandi lalu bersembunyi di dalam lemari.

Suara pintu kamar Langit terbuka, Dirgantara berjalan seraya memanggil nama Langit, hal itu semakin membiat jantung Langit berpacu dengan cepat, lalu Dirgantara membuka pintu kamar mandi, mendapati lantainya yang masih basah membuat Dirgantara tambah yakin bahwa Langit baru saja dari sini, atau memang ada di sini?

Namun, lelaki paruh baya itu tidak menemukan Langit di manapun, saat langkah kaki Dirgantara mendekat ke arah lemari, Langit menutup matanya karena takut ketahuan, tetapi ternyata Dirgantara tidak membuka lemari dia malah mengambil foto yang terdapat di atas meja belajar, tempatnya memang tidak jauh dari lemari pakaian.

Lelaki paruh baya itu duduk di kursi meja belajar Langit, dia tersenyum menatap foto keluarganya dulu, lalu setetes air mata turun dari wajah garangnya. "Langit, maafkan Papah, Papah gak bisa menjadi orang tua yang baik untuk kamu. Karena kesalahan Papah, kamu harus menanggung semuanya, maafkan Papah Langit. Papah tahu, kamu menderita. Pulanglah, Nak, papah takut kehilangan kamu, Papah sayang sama kamu."

Dirgantra mengusap air matanya, lalu pandangannya beralih menatap foto Mentari. "Tari, maafkan saya, saya tidak bisa menjadi Papah yang baik untuk Langit, saya tidak bisa mendidik Langit dengan baik, saya jahat Tar, saya jahat pada Langit," ujar Dirgantara dihiasi isak tangis.

Langit yang mendengar semua ucapan Dirgantara ikut menangis dalam diam, dia ingin keluar lalu memeluk papahnya, tapi gerakan Langit terhenti saat Dirgantara kembali melanjutkan ucapannya. "Tar, maafkan saya sudah membohongimu, Langit masih hidup Tar, dia masih menderita karena saya."

Rahang langit mengeras saat Dirgantara mengatakan hal itu, jadi Papahnya sendiri yang bilang pada Mentari bahwa dia sudah meninggal? Untuk apa?

Pandangan Dirgantara beralih lagi pada foto kembaran Langit. "Dan untuk kamu, anak Papah, Papah sayang sama kamu, Nak. Meskipun kamu udah gak ada, tapi itu semua tidak mengurangi rasa sayang Papah, kamu yang bahagia ya di alam sana."

Lagi-lagi Langit menegang, apa ini? Apa itu berarti kembaran Langit sudah meninggal? Bagaimana bisa? Lutut langit terasa lemas, terakhir mereka bertemu adalah saat dia pindah sekolah karena harus ikut Mentari, pantas saja selama ini dia tidak menemukan keberadaannya.

Kenapa tidak ada orang yang memberitahunya? Kenapa keluarganya sekonyol itu, bagaimanapun juga Langit adalah kakaknya, bahkan kembarannya. Keluarga aneh! Kenapa semuanya seolah disembunyikan dari Langit? Kenapa?

Suara ponsel berbunyi, untung saja itu milik Dirgantara bukan milik Langit, lelaki paruh baya itu berdiri lalu mengangkat teleponnya, ternyata itu dari sekertarisnya yang mengingatkan Dirgantra bahwa tidak lama lagi mereka ada meeting penting dengan klien.

Sebelum pergi, Dirgantara menuliskan sesuatu pada buku Langit, lalu dia tinggalkan di atas foto keluarganya agar terlihat oleh Langit.

Langit, pulanglah. Jadilah laki-laki sejati, jangan jadi pecundang, masalah itu dihadapi bukan dihindari. Kita bicarakan semuanya di rumah.

Papah tunggu di rumah!

Setelah Dirgantara pergi, Langit keluar dari dalam lemari, lalu dia menangis seraya memeluk foto yang tadi Dirgantara pegang, dia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segalanya, sakit hati, kesal, marah, sedih, semuanya dia tumpahkan.

Kenapa dia dilahirkan di keluarga aneh seperti ini? Bahkan dia tidak diberi tahu hari meninggal adiknya sendiri, ada apa dengan mereka? Kenapa mereka mengembunyikan ini semua dari Langit? Dan kenapa Dirgantara memberitahu ibunya kandungnya bahwa dia sudah tak ada? Kenapa?

Langit [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang