Part 5

74 3 0
                                    

Part 5
CLBK
( Ch. Maria)

"Permisi, selamat malam, Ibu, saya mau bertemu Larasati,"suara Mas Panji kudengar ketika aku masih ganti baju di kamar. Bulik Wati yang menerima kedatangan tamuku segera mempersilahkan masuk.

"Monggo, silahkan duduk, Mas,"suara Bulik ramah terdengar.
Tak lama aku keluar dengan pakaian jeans dan kaos ditutup dengan cardigan panjang.

Mas Panji menatapku tak berkedip.

"Bagaimana kabar Sindy Mas, dengan siapa sekarang,"tanyaku menyadarkan dia sebagai bapak yang istrinya sedang sakit.

"Sejak Sekar sakit, ada ibu mertua dan kakaknya Sekar, Mbak Pur yang menemani, juga ada bibi yang mencuci dan masak. Maklum mertua juga sudah sepuh,"jelas Panji sambil tersenyum padaku. Aku sempat terpesona.
Ah, Panji, jangan kau usik getar-getar rasaku yang sudah lama padam dengan senyummu. Aku takut tergoda cinta lama, batinku bergolak.

"Syukurlah kalau ada temannya,"ujarku penuh perhatian, karena aku bisa merasakan andai itu terjadi pada anakku.

"Kamu besok pulang jam berapa, Ras? Bolehkan aku mengantarmu ke bandara?" tanyanya penuh khawatir.

"Jam 16.00, gak usahlah, aku biasa sendiri kok, kasihan Sekar kalau ditinggal terus," jawabku tegas tak ingin membuat celah kosong ini bergetar lagi.

"Ayo kita ngobrol di luar saja, tidak enak sama kakakmu, putranya kecil-kecil, takut mengganggu,"ajaknya.

Aku yang memang sudah siap lalu pamit pada Bulik.

"Bulik, Laras keluar sebentar, ada yang perlu di selesaikan,"pamitku.

Kami lalu berangkat jalan ke depan di mana mobil Pajero terparkir.

"Berdua semobil dengan mantan di malam Minggu, bagaimana rasanya, Ras," Mas Panji mulai usil menggodaku

Aku diam saja cuma melirik.
Kudengar Mas Panji tertawa meledek.

"Tidak usah cemberut, tar ilang cantiknya. Terus terang aku sengaja banget ngajak kamu keluar. Karena bagiku ini bagai mimpi Ras, aku bisa melihatmu lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini menggunakan waktuku untuk menemanimu selama kamu di Solo ini. Jangan tolak juga andai besok aku akan mengantarmu. Tolong, jangan tolak, jangan banyak alasan. Hargai penantian panjangku," ungkap Panji panjang lebar.

Aku membiarkan dia mengungkapkan rasanya padaku. Karena seperti waktu itu, ketika aku berangkat naik kereta, diantar ibu bapakku, sebetulnya ada Panji di sana. Dan dia tak bisa mengungkapkan apa-apa.
Takut ketauan orang tuaku. Jadi mata kami yang saling memandang dari kejauhan tanpa bisa bicara. Sedih mengingat itu semua.

Dan sejak itu kuhapus nama Panji di hatiku. Aku tak tau kabarnya lagi. Kubiarkan rinduku terbawa angin, terbawa laju kereta yang kian menjauh menuju Jakarta.

"Ras, kok diam saja, ngelamun, ya,"suara Mas Panji membangunkan anganku yang jauh ketika perpisahanku dulu.

"Iya, aku teringat ketika di stasiun dulu, kamu diam-diam menunggu kereta berangkat, tapi takut pada ayah ibu,"jawabku tersenyum walau ada air mata di ujung mataku.

Mas Panji menghentikan mobilnya, kemudian tangannya menyeka sudut mataku.

"Sudah, sudah lewat itu, lupakan saja, tidak usah bersedih, tidak perlu diingat,"katanya dengan tegas, dan tangannya masih di pipiku.
Aku menepis tangannya dan justru tanganku kini yang di genggamnya.

"Aku akan menemanimu selama kau disini, buang gundah hatimu, jangan berpikir yang macam-macam, aku hanya ingin menebus laraku. Aku ingin menyembuhkan luka itu dan minta keikhlasanmu untuk mengobatinya.
Aku cukup menderita, Ras,"bisiknya haru.

Kulihat mata Mas Panji lelah dan terluka.
Aku bisa melihat itu dari sorot wajahnya.

"Tapi apakah ini tidak berkhianat namanya?" tanyaku padanya.

"Aku kan tidak melakukan apa-apa padamu, Ras, hanya berbincang, hanya curhat, ngobrol di atas mobil. Kita mau kemana juga tidak tau, tidak punya tujuan, hanya jalan, hanya berbincang menghilangkan sesak di dada. Dan itu bukan pengkhianatan menurutku," terdengar agak keras suara Mas Panji.

Aku menunduk diam.
Betul juga katanya. Kami hanya menjelaskan duduk permasalahan yang belum selesai dan aku meninggalkan begitu saja waktu itu.

"Ras, hampir setiap hari aku lewat depan rumahmu kalau-kalau melihatmu atau ada seseorang yang bisa kutanya tentang kabarmu. Namun tak kunjung ada.
Zaman dulu belum ada ponsel seperti sekarang. Kabarmu yang mestinya bisa kudapat dari suratpun tak kuterima,"curhatnya.

"Mas Panji, sudah. Maafkan aku, maafkan kedua orang tuaku yang tak menyetujui hubungan kita. Aku terlalu penurut dan takut pada mereka. Aku putri satu-satunya. Wajar kalau aku terlalu dijaga dan dilindungi.
Aku tinggal dengan Mas Baskoro kakakku yang sudah menikah. Mbak Weni sangat baik, aku kuliah bahasa Inggris dan kemudian sambil otodidak belajar merancang busana sesuai hobiku. Hingga aku mampu mendesain baju sampai sekarang.
Aku kini punya butik di rumah dengan lima penjahit." Kuceritakan kisahku, namun tanpa menyinggung suamiku yang bahkan sebetulnya sudah meninggal setahun yang lalu.

"Kamu bahagia dengannya?"tanyanya di sela-sela sepi tanpa suara. Aku mengangguk.
Mas Panji menghela napas panjang, aku menoleh.

"Kamu pasti gak akan percaya, Ras, kalau aku bilang aku tak bahagia. Aku menikahi Sekar karena dia sahabatmu, dia punya segala kenangan tentangmu, dan itu yang ingin aku ambil darinya, entah cerita ketika bersamamu atau foto-foto kenangan bersamamu, semua aku suka.
Kalau orang lain akan marah bercerita tentang orang di masa lalunya. Tapi tidal untuk Sekar. Dia senang menceritakan tentangmu dan aku suka itu.
Tak ada kecemburuan di wajahnya ketika aku meminta fotomu yang masih disimpannya.

Dia sangat mencintaiku dan dia meyakini bahwa dirinya sudah menjadi milikku Dan tak mungkin akan berubah,"cerita Mas Panji tentang Sekar yang kini jadi teman hidupnya.

Aku senang mendengar ceritanya. Awalnya aku cemburu pada Sekar, namun semakin banyak Mas Panji cerita, justru timbul rasa kasihan padanya.

"Sekar juga pernah bilang, bahwa seharusnya yang pantas jadi istriku itu kamu, Laras dan bukan dirinya. Bahkan dia juga merasa beruntung ketika Laras pergi. Hingga akhirnya bisa menikah denganku,"Mas Panji mengeluarkan uneg- unegnya.

"Mas, tentunya Mas juga cinta dong dengan Sekar, sampai menikah dan punya anak gitu kok,"tambahku sedikit emosi.

"Aku cinta sama Sekar, namun Sekar tak percaya selalu merasa bahwa yang sedang dihadapannya itu adalah Laras,"ujarnya.

"Maksudnya Mas,?"
"Sekar melakukan semuanya ini demi membahagiakan aku, Ras."
"Maksudnya bagaimana aku gak ngerti," Ujarku penuh tanya.

"Sekar mau menikah denganku semata- mata untuk membahagiakanku, andai dianggap menjadi Laraspun dia rela. Jadi kalau aku minta dia cerita tentang Laras pun dengan senang hati dia lakukan
Kalau perlu mencari Laras demi aku pun rela dijalani. Pernah Sekar melihatku begitu frustrasi semenjak gagal mencari kabar tentang dirimu. Bahkan ketika tidur dengan Sekar pun, sempat aku mimpi, mengigau namamu, dan Sekar tau itu,"ujar Panji.

"Wah cintanya begitu tulus padamu, Mas, kalau orang lain pasti marah suaminya mengigau perempuan lain," ucapku sambil tertawa.

"Itulah Ras, aku berusaha membahagiakan dia, namun dia selalu menuduh bahwa cintaku hanya untuk Laras, dia melakukan semua dengan ikhlas asal aku bahagia.
Dan sekarang dia sakit, aku betul-betul merasa bersalah. Menikahinya dibalik bayang-bayang dirimu.
Aku ingin dia sembuh, Ras, dan aku akan memulainya dari awal, mencintai sebagai Sekar, bukan sebagai Laras."

Aku mendengar kisah Mas Panji betul-betul heran. Aneh dengan cinta mereka berdua. Cinta memang rumit, tak masuk logika.
Sangat aneh.

Bersambung

CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang