Part. 9

58 3 0
                                    

Part 9
( CLBK)
( Ch. Maria)

"Win,terima kasih ya, nanti lanjut kita telponan," Laras segera turun setelah memeluk dan mencium pipi Winda, karena waktu beberes untuk segera ke bandara makin sempit.

"Oke, hati-hati selamat ketemu Panji, awas ya, harus cerita pokoknya," canda Winda yang segera melarikan mobilnya.
Laras masuk ke kamarnya menata oleh-oleh yang akan dibawa.
Winda memasukkan beberapa kue, serundeng  dan abon untuk ditinggalkan ke Mbak Rini.
Setelah mandi, Laras mendatangi Bulik di kamar sambil memberikan amplop.

"Bulik, ini sekedar tanda cinta Laras. Terima kasih sudah merepotkan Bulik dan Mbak Rini, mohon maaf, lain kali main ke sini lagi dengan anak-anak,"  Laras pamit diiringi tetes air mata haru pada adik ibunya itu. Lalu Laras mendatangi Mbak Rini.

"Mbak ini buat anak-anak," sambil menyerahkan kantong kue serundeng dan abon.

"Loh, bukannya ini mau kamu bawa?" sahut Mbak Rini heran.

"Sudah kok yang untuk anak-anak, ini sengaja buat si kecil,"senyum Laras mengembang sambil menyerahkan amplop.

"Sedikit, buat nambah beli garam,"kata Laras sambil memeluk pamit.
Acara pelukan terhenti ketika terdengar suara tamu, yang ternyata Panji yang sudah siap menjemput.

"Bulik, Mbak Rini, Laras langsung pamit, ya?"ujar Laras yang menenteng tasnya keluar. Sementara Panji langsung pamit pada Bulik dan Mbak Rini.

"Hati-hati, Nak, tidak usah ngebut,"tambah Bulik. Panji hanya mengangguk tersenyum pada mereka berdua.

****

Mobil bergerak menuju ke arah bandara Adi Sumarmo. Sepanjang jalan pandangan Panji tak lepas dari wajah Laras yang terlihat cantik, muda dan menawan.

Laras yang menggunakan blouse bunga warna coklat muda dengan celana panjang kain coklat tua ditambah aksen polos tua pada lengannya senada dengan warna celana ditambah pasmina yang membelit lengannya menambah kesan anggun.

"Kenapa memandang aku seperti itu, Mas?" Laras tampak risih, Panji tak berkedip dari tadi.

"Cantik, menawan, lebih cantik dari waktu dulu," senyum Panji menarik ketika sambil mengucapkannya. Laras pun demikian terkesima.
Panji terlihat memukau. Walau penampilannya sederhana, Jean hitam dengan kemeja kotak-kotak merah tua nampak kekar karena memakai kemeja tangan pendek.
Namun Laras pandai menyimpan kekagumannya. Hanya menunduk dan menghela napas sesak.

"Nih, takut lupa, putar ya," kata Panji sambil menyerahkan flashdisk foto reuni.

"Siap, pasti akan kulihat, menemani kerjaku," dengan senang Laras menerima dan menyimpan flashdisk itu ke dalam tas tangannya.

"Ras, terima kasih sudah menemani hariku, bisa ketemu kamu, memandang wajahmu lagi. Terus terang kamu penyemangatku melewati hari-hari pahit ini ," bisik Panji sambil menggenggam tangan Laras.

"Kamu mau menjadi temanku kan? Kamu akan membalas pesanku, dan mengangkat telponku?" tanya Panji lagi sambil tetap menggenggam tangan Laras.

Panji takut kehilangan Laras lagi, takut Laras berubah, tidak bisa dihubungi, tidak bisa mendengar suara penyemangat hidupnya ini.

Laras hanya mengangguk sambil tersenyum. Sepanjang jalan tangan itu saling bertaut.

Mobil sudah memasuki parkiran bandara dan akhirnya mobil berhenti.

Sebelum keluar, Panji memeluk Laras, mencium pucuk kepala Laras, menyibak rambut yang tergerai, wanginya segera menusuk hidungnya, kemudian Panji menyentuh pipi halus itu.

"Cukup, Mas, terima kasih," ucap Laras tak ingin larut terbawa suasana, sebelum pipi ini berhasil dicium Panji.
Ada hati yang harus dijaga, hatinya, hati Sekar, dan hati anak-anak.

Mereka berdua keluar dari parkiran menuju tempat pemeriksaan tiket dan di sinilah mereka kini harus benar- benar berpisah.

Sekali lagi mereka saling berpelukan, kali ini mereka secara reflek melakukannya, keluar dari hati masing-masing. Beberapa detik mereka menikmati kebersamaan indah ini.

Laras melepas pelukan lalu berjalan lurus tak lagi menengok.
Setitik air menetes di ujung matanya.
Perpisahan kembali mengingatkan lara.
Lara yang pernah dia rasakan dulu. Namun beda kali ini. Titik air mata itu bukan untuk menangisi perpisahannya dengan Panji.
Tapi menangisi bahwa Panji sedang berduka dan butuh support darinya.

Laras tidak apa-apa jika tidak bersanding dengan Panji, asal melihat Panji bahagia.
Bukan malah melihat Panji yang gagah itu beristrikan Sekar yang kini terus sakit-sakitan.

Kasihan Panji, semoga Sekar segera sembuh. Biarlah mereka  menikmati bahagia.

Pesawat mulai bergerak, Laras menikmati perjalanannya sambil memejamkan mata, pikirannya mengembara ke masa lalu. Tak terasa satu jam perjalanan sampai sudah di Bandara Soeta.

****

Tak ingin mengganggu anaknya, Laras naik taksi menuju rumahnya di kawasan Jakarta Barat.

"Deni, Bunda sudah di jalan nih, menuju rumah,"ujar Laras pada bungsunya.

"Oke, Bunda, Deni dan Mbak Desi sudah menunggu," jawab Deni senang.

"Wah, banyak sekali, oleh-olehnya," Deni yang menerima kantong oleh-oleh segera membuka roti mentega.

"Enak sekali, nih, Deni suka,"sambil dibawa ke depan TV dinikmati sambil melihat drakor yang belum selesai.

Laras masuk ke kamarnya, membereskan kopernya lalu ke kamar mandi.
Segar setelah berganti daster rumahan yang cantik, lalu merapikan tempat tidur yang dua hari ditinggalkan.
Segera mengambil ponselnya yang masih di dalam tas tangannya.

Beberapa pesan masuk.
Ada Winda yang menanyakan sudah sampai rumah belum. Tiba-tiba bunyi, ting, sebuah pesan terbaru muncul dari Panji.

(Sudah masuk rumah, cantik?)
Apaan, sih Panji, pakai cantik-cantik segala.

( Puji Tuhan, sudah sampai rumah, nih, rebahan dulu, habis mandi)

( Bagaimana ini, kangen kamu lagi, Ras.)

( Lihat fotoku saja.
Oh iya, aku belum buka flashdisk foto-foto reuni. Bagus gak ya?)

( Makanya lihat dulu, justru habis lihat, tambah kangen)
dengan emotion memeluk.

( Oke, aku buka foto dulu ya,) ku akhiri berbalas pesanku.

Tak sabar segera kubuka laptop kuambil flashdisk Panji.
Kulihat lagi foto-foto SMA , juga banyak foto pas acara reuni.

Ada Yuni yang sedang nyanyi, Winda yang tengah menjadi penjaga tamu. Dan fotoku banyak yang berdua dengan Panji.
Bahkan siapa yang mengambil foto ketika ngobrol di dekat lorong toilet?

Yang asyik adalah deretan foto mantan.
Aku tertawa. Ada foto Winda dengan Sapto, Ririn dengan Budi, aku dengan Panji.

Duh Panji ternyata ganteng banget pas pakai baju batik merah ini.
Aku tersenyum melihat foto acara reuni. Ada foto aku tengah ngobrol dengan Rosa. Nah ini pas aku kaget mendengar berita ternyata Panji suami Sekar.
Aduh siapa yang fotoin aku ya?
Semua foto bagus, sangat berkesan acara reuni.
Tak rugi aku datang jauh-jauh.

"Bunda, ayo makan.. Kok dari tadi senyum-senyum terus. Seru ya, Bun, reuninya,"kata Deni mengagetkan Laras yang asyik menatap foto mantan.

"Bun, ketemu mantan, gak?" seru Desi menambahi. Laras tertawa jadinya.

"Anak-anakku...kalian tidak tau kisah Bunda.
Biarlah kusimpan saja cerita masa lalu ini," batin Laras.

Bersambung.

CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang