Part 34

42 3 0
                                    

Part 34
CLBK
( Ch. Maria)

Hari ini Panji keliling dengan Laras. Melihat rumah di Perumahan Griya Indah Permai yang sudah dilihat brosurnya. Setelah melihat-lihat dan mempertimbangkan akhirnya belum cocok memutuskan. Masih harus menuju ke perumahan yang lain. Ada perumahan elite Grand Ambasador, namun juga belum cocok. Penelusuran lagi sampai ke perumahan elite Cluster di daerah Kemang, aduh harganya selangit.
Susah mencari rumah di Jakarta yang sesuai standar.

Akhirnya menemukan perumahan di daerah Permata hijau. Lingkungan asri, masih banyak lahan kosong. Luas tanahnya lumayan dan bangunan rumahnya kokoh tak terlalu besar, masih ada lahan untuk dibangun baik di depan atau belakang. Ini cocok dengan ide Panji. Bisa di renovasi dilain waktu.

Setelah melalui pemikiran dan perbincangan panjang, Panji setuju mengambil rumah ini. Dengan membayar uang muka lebih dari standar agar cicilannya tidak besar.

Panji bahagia sekali. Keinginan membeli rumah terwujud.
Perjalanan lanjut ke rumah kontrakan ingin istirahat setelah seharian berputar di kawasan Jakarta.

"Mas, mau kubuatin es jeruk?"

"Ya."Panji tengah memutar TV sambil tiduran di kursi panjang ruang tamunya.

"Mas mau gado-gado gak? Enak lho. Aku pernah beli dengan Sindy. Ada juga rujak. Aku pengin, Mas mau?"
"Ih yang beli siapa? Masak kamu keluar sendiri, jangan ah."
"Ini bisa pesan kok. Tuh nomornya nempel di kulkas."
"Oh, ya udah."
Setelah pesan melalui telpon, gado-gado dan rujak diantar.
Mereka makan sepiring berdua. Panji disuapi Laras.
Begitu juga rujak yang tidak pedas, Panji serasa muda lagi. Nikmatnya dilayani setelah sekian lama rumah sepi, sendiri.

"Mas, kalau sendiri nyuci baju bagaimana?"

"Loundry-lah."
"Nyapu dan ngepel?"
"Aku sendiri kalau sempet. Ah rumah gak kotor juga. Berangkat pagi pulang malem. Kalau nyari orang juga ngeri, gak kenal, tidak usah."
"Iya, Mas, sebisanya saja."

"Sini dong, duduk dekat aku." Panji menarik Laras yang dari tadi beberes dapur dan nyapu, sambil berbincang.
Laras duduk, Panji tidur dengan kepala di pangkuan Laras.

"Ini manggil untuk duduk ada maunya,ya? "ujar Laras senyum dengan sedikit cemberut.

"Aku kangen ingin bermanja padamu, sebentar saja. Aku capek kerja muter luar kota terus dan lama tak melihatmu."oceh Panji manja.

Tangan Laras tak sadar membelai wajah yang tidur di pangkuannya. Membuat getar diantara keduanya. Panji yang tadinya terpejam matanya lalu membuka dan memandang Laras yang tengah menunduk memandangi dirinya. Reflek tangan Panji terulur, Panji bangun dan mencium bibir Laras yang sangat di rindunya. Berdua duduk di kursi agar Panji bisa menguasai Laras sepenuhnya.
Ciuman terputus ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya.
Panji menengok dari jendela. 'Ha? Mbak Widya? Kenapa ke sini?'batin Panji.

"Permisi, selamat siang."terdengar suara perempuan yang ternyata Widya, istri bos Panji, Indra.

Panji segera keluar menemui.

"Siang, Mbak. Ada yang perlu saya bantu?"sapa Panji bersemu kaget. Jangan-jangan ada pesan dari bosnya.

"Gak papa kok, Nji. Aku cuma lewat saja. Mampir, kan ini hari libur, siapa tau kamu ada. Boleh aku masuk?" Widya segera masuk.

"Oh, silahkan Mbak."Laras yang ada di dalam rumah mempersilahkan tamunya masuk.

"Oh, rupanya sedang ada tamu to?"kata Mbak Widya begitu melihat Laras ada di dalam.

"Selamat siang, Mbak."ujar Laras tersenyum.

"Saya hanya mampir kok. Kirain Panji sendiri. Ya sudah saya pamit saja, maaf cuma lewat."
Mbak Widya langsung keluar dan pamit.
Panji yang masih di luar bingung.

"Lhoh, Mbak kok sudah?"
"Aku cuma lewat, mampir saja kok. Maaf ya. Sudah mengganggu kalian."
Widya dengan mobil Lamborghini-nya segera berlalu.

"Orang kaya yang bingung tuh. Ngapain ke sini?" Panji nyeletuk sambil tertawa.

"Dia pergi setelah di dalam rumah ada aku. Dikiranya Mas sendiri ya? Apakah dia sering ke sini?" Tanya Laras cemberut.

"Ya enggaklah. Pertama pas kamu datang dengan Sindy waktu itu. Dan sekarang ini tadi. Dia tak pernah bisa menggoda aku, Ras.
Kalau temanku, ya, banyak yang sudah tergoda. Memang kata temanku, dia sengaja mancing aku, duda yang lama nganggur. Namun aku tak mudah tergoda.
Aku hanya tergoda denganmu, kekasih kecilku, cinta pertamaku yang kandas. Yang ingin kuraih, dan kuperjuangkan menjadi kekasih halalku.
Kamu mengerti Laras?"jelas Panji panjang lebar agar Laras nya tak salah paham dengan kemunculan Widya yang tiba-tiba ke kontrakannya.

Laras diam saja tertunduk.
Kok ada ya, perempuan yang mengejar laki-laki, sampai segitunya?

"Hai, jangan melamun. Jawab aku dong, masih percaya aku gak? Kalau hanya kamu yang kutunggu yang kuperjuangkan?"tanya Panji.
Laras mengangguk.
Panji mendekat, membingkai wajah Laras.

"Tak lama lagi aku melamarmu, tunggu waktuku." Laras diajak berdiri.

"Ayo pulang ku antar, terima kasih sudah menemani hariku, berhasil mendapat rumah."kata Panji sambil tersenyum.

"Cium dulu ya, buat bekalku, kekuatanku menghadapi godaan."Lalu dipeluknya Laras dan diciumnya bibir indahnya yang tadi sempat batal. Laras diam tak memberontak. Akhirnya mereka benar-benar keluar dari rumah kontrakan ini, mengunci dan mengantar Laras pulang.

"Wah jangan sampai Mas ketauan sendiri di rumah dong, Widya bisa tiba- tiba datang."

"Iya, aku jadi ngeri juga nih,
untung kalau pulang aku selalu malam dan langsung tidur. Jarang banget libur dirumah sendiri. Ini tadi karena ada kamu."tambah Panji.

"Yang penting, Mas harus hati-hati."

"Iya, sayang."

Hari masih sore, namun karena Laras dijemput dari pagi takut kecapekan.

"Habis ini istirahat ya."kata Panji ketika hampir sampai rumah.

"Mas akan pulang?"tanya Laras masih khawatir.

"Enggak sih, males di rumah sendiri. Kamu istirahat saja. Aku mau main di butik mu yang di rumah. Atau ngobrol dengan Deni."

Mobil memasuki pekarangan Laras. Deni dan Desi ada di rumah.

"Om, lama gak ketemu, tugas luar terus ya?"sapa Deni yang kemudian duduk di sebelah Panji.

"Iya, capek nih, jadi nyempetin jalan- jalan. Lihat- lihat rumah tadi. Boncos kalau ngontrak terus."jawabnya sambil tertawa.

"Asyik, sudah dapat, Om?"

"Puji Tuhan, sudah, biar Sindy seneng."

"Oh ya, lama Sindy gak ada khabar Om? Gak main sini lagi?"

"Dia tidak libur panjang, dan saya juga sibuk. Nanti saja kalau libur kenaikan kelas sekalian."

"Iya Om, betul."

"Bagaimana kuliahmu?"
"Lancar Om, ternyata senang juga kuliah di Teknik. Maklum keinginan Deni kemarin masih bolak-balik belum mantap. Sekarang sudah mantap."

"Syukurlah biasa karena remaja itu terkadang labil masih bingung mana yang di ingini, belum bisa menentukan yang tepat."

"Kemarin waktu mau daftar Deni bingung, gak ada yang diajak ngomong. Masukan dari mbak Desi, kalau kuliah luar kota takut bunda sedih.
Jadi ya memilih dengan setengah hati. Bingung antara ingin Kedokteran, Teknik, apa, Ekonomi.
Ya jadilah memilih Fakultas Teknik, jurusan Teknik Sipil."

"Tapi Deni suka kan kuliah di fakultas Teknik?"

"Suka Om, apalagi sekarang ada Aji, kakak kelas SMA dulu yang kuliahnya sama jurusannya, dia banyak bimbing Deni."

"Ya, harus mulai di dalami, disukai. Namun kalau tidak, bisa pindah yang kamu suka, mumpung masih tahun pertama."

"Kayaknya sudah cocok kok, Om."
"Kalau Om juga Teknik, tapi jurusannya Arsitek, ya nantinya di lapangan bisa kerjasama."
Deni tersenyum senang.

Laras tersenyum melihat Deni asyik ngobrol dengan Panji.
Benar saja kata ibunda, Deni membutuhkan sosok ayah sebagai figur.
Ah bukan hanya Deni yang butuh, Desi juga membutuhkan ayah. Bagaimana dengan Laras? butuh seorang Panji kah?

Bersambung.
Jangan lupa subscribe ya.

CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang