Gadis Kim pulang melewati lorong-lorong menuju rumahnya. Menampilkan pemandangan yang selalu sama disaat senja menghibur penglihatan Yeri. Butiran salju itu mulai turun menutupi bayang-bayang mentari sore yang berwarna oranye.
Meniti jalanan yang penuh salju, sesekali kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang merasa kedinginan. Hari ini membawa bag besar yang diberikan oleh Dr.Ji tadi saat di rumah sakit.
Kata Jieun eonni, bag ini berisi hadiah sebab dirinya yang berhasil merawat Jungkook dengan baik. Entahlah Yeri rasa; Jeon Jungkook, pria itu cukup pendiam, dingin bahkan lebih dingin dari butiran salju ini. Jadi, cukup simpel saja untuk merawatnya meskipun cuma satu hari ini saja.
Disana Yeri tak henti-hentinya berfikir tentang Jeon Jungkook, pasien rawat inap yang kondisi kejiwaan sulit untuk dijabarkan. Terasa seperti pria itu sudah menjadi tanggung jawab Yeri sepenuhnya usai menandatangani surat perjanjian itu, menurut Yeri Jungkook tidak begitu buruk baginya, Yeri yakin kalau dia adalah lelaki yang baik dan penuh pesona, hanya saja kejadian masa lalunya yang mengubah dirinya menjadi seperti ini.
Untuk hari ini Yeri pikir tidak ada kendala sama sekali, tidak ada kejadian aneh atau apapun itu selain sama-sama memandang, diam, canggung, bingung, gurat yang tak mampu Yeri ungkapkan karena semua berjalan seperti sebuah Dejavu—semua seolah berhasil menghipnotis Kim Yeri supaya selaku berada dekat dengan pria itu.
Yeri rasa tiga bulan kedepan bukanlah hal yang sulit untuk menjaganya. Paling tidak, Yeri mungkin akan kesulitan dalam hal-hal yang terdengar rumit, ah seperti disaat menggantikan kaos ataupun dalaman Jungkook.
Bukan—maksud Yeri, mungkin dirinya akan kesulitan dalam hal berkenalan ataupun kebiasaan yang mungkin terlihat sukar untuk bisa saling mengenal satu sama lain—ah seperti orang yang berpacaran saja, padahal mereka hanya sebatas pasien dan suster. Tidak, maksudnya sebab semua rutinitas ini akan mereka berdua jalani bersama, seharian di dalam ruangan yang sama, tiga bulan lamanya.
Hm, baiklah kita tarik kesimpulan; Jungkook itu tak seburuk yang gadis Kim pikirkan, dirinya lebih penurut jika lawan nya hanya diam dan tak banyak bicara. Okay, sepertinya dapat diterima.
Dan menurut Yeri, itu lebih baik dari pada mereka saling terbuka dan semakin menyakiti satu sama lain. Meskipun hal ini berlawanan dengan pekerjaan yang dituntutkan pada Yeri seorang yang harus mengajak Jungkook supaya mau berbicara lebih banyak dan berinteraksi dengannya. Namun—sepertinya saat ini watunya belum tepat, jadi Yeri rasa tidak ada waktu yang tepat untuk saling mengisi satu sama lain.
Tok.. tok..
"Aku pulang!" Jerit Yeri yang tak disapa oleh siapa-siapa yang tidak ada disana. Selanjutnya gadis ini bergumam lirih,
"Astaga aku lupa kalau mereka masih di rumah sakit." Yeri memejamkan matanya jengah. Dirinya bahkan lupa kalau neneknya masih dirawat di rumah sakit.
Rasa lelah dan letih menyelimuti diri. Belum lagi memikirkan biaya pengobatan neneknya yang terbilang sangat mahal. Apalagi untuk pengangkatan kanker yang ada di otak sang nenek, butuh uang ratusan juta supaya semua itu dapat terkabulkan. Yeri hanya mampu menghela nafasnya dalam hanya untuk memikirkan tentang sang nenek.
***
"Terimakasih Jiminaa, aku tidak tahu harus membalas apa denganmu—ini sudah terlalu banyak."Hana menjatuhkan kepalanya di pundak Jimin. Mereka sedang mendudukkan diri di bangku cafetaria rumah sakit tempat neneknya dirawat, sedikit ngos-ngosan mengingat mereka sehabis berlari-larian di dalam rumah sakit nan besar ini sebab ulah konyol mereka berdua.
Hana tak henti-hentinya menyebutkan ribuan ucapan terimakasih kepada Jimin atas bantuannya yang sudah mau memberikan uangnya untuk pengobatan sang nenek, Jimin kelewat baik memang.
Jimin menyunggingkan senyum menawan nya.
"Kau tidak takut sayang, jika Yeri noona akan marah?" Jimin bertanya disana, dan Hana menatapnya kepayahan karna sudah meletakkan kepalanya yang berada di atas pundak Jimin.
"Maksudmu? Dia akan marah?" Hana mengernyit heran mendengarkan pertanyaan Jimin barusan, ini tentang Kim Yeri sialan itu.
"Yah, bukannya kakak mu tidak suka dengan ku?" Jimin mengalihkan pandangannya pada halaman rumput cafetaria yang dipenuhi oleh salju dari balik dinding kaca itu.
"Ah tentang itu, aish kau tak perlu takut memikirkan nya, dia tidak begitu penting bagiku." Ucap Hana dengan gestur uniknya membuat Jimin melebarkan senyumnya, senyum malaikat nya.
Hana menjauhkan kepalanya dari bahu Jimin. Mengarahkan pandangannya sama seperti apa yang Jimin lihat, pandangan yang jatuh pada rerumputan hijau yang terselimuti oleh butiran salju.
"Suatu hari kau akan mengerti Jim."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
PREDESTINATED
FanfictionSudah menjadi takdir Yeri saat bekerja di rumah sakit itu. Namun, ini bukanlah perkara mudah. Seorang suster di sebuah rumah sakit yang harus jatuh cinta kepada pasien nya. Tetapi, ini hanya settingan. Hingga Yeri mengaku bahwa benar-benar mencintai...