32. Terus Berjalan

210 22 11
                                    

Jalan tanpa penerangan yang memadai membuat mereka harus lebih berhati-hati. Suara serangga serta hewan malam selalu setia mengusir sepi. Sang juru kunci berjalan di depan, berbekal sebuah senter tua dalam genggaman. Sinar senter itu tak sanggup menerangi jalan. Meski usia telah tua namun sang tuan memaksanya untuk tetap bertahan. Beberapa perbaikan menjadi bukti bahwa ia masih dibutuhkan. Sementara itu, Badrun lupa membawa penerangan. Ia lebih fokus pada persyaratan. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan sang istri. Ia khawatir perjalanan untuk mencapai tujuan berakhir dengan bencana tanpa hasil. Ia tak sadar bahwa sebenarnya saat ini ia telah berada dalam bencana.

"Pak, apa perjalanannya masih jauh?"

Badrun ingin memastikan bahwa tenaganya masih cukup untuk bertahan sampai datang ke tempat tujuan.

"Sebentar lagi."

Jawaban telah didapat, namun Badrun tak mendapat kepastian kapan mereka akan sampai ke tempat tujuan. Tak ada satupun dari mereka yang membawa jam, namun satu yang pasti, bahwa ini belum melewati tengah malam seperti yang dikatakan sang juru kunci.

Tangannya menggenggam semakin erat tangan sang istri. Dalam gelapnya hutan yang mereka lalui, ia tak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi, yaitu kehilangan sang orang yang paling disayangi.

Hening mulai mendominasi. Keringat membanjiri. Usapan lembut angin membuat dingin kian terasa. Perjalanan melelahkan layaknya melakukan pendakian. Sejatinya mereka memang mendaki, menuju puncak kehidupan yang menjadi tujuan.

Saat lolongan memecah hening sunyi, darah mereka berdesir. Bulu meremang dan mereka mulai merasakan takut luar biasa. Lolongan silih berganti bersahutan seperti kawanan yang tengah bergairah memburu mangsa.

Dari jauh, tampak titik cahaya diam namun tak tenang. Bayangan bergoyang menjadi bukti bahwa ada sesuatu yang menerpanya.

Badrun mengira bahwa cahaya itu tak berarti untuk mereka, namun langkahnya dengan perlahan membawa mereka ke sana.

Untuk sesaat, mereka terdiam di depan sebuah tebing tanah menjulang. Di samping cahaya api, terdapat sebuah lubang gelap.

"Apa kalian benar-benar siap?"

Juru kunci itu memastikan kesungguhan hati Badrun dan Sari. Ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk berubah pikiran.

Badrun mengangguk, namun tidak dengan istrinya. Dalam samar kegelapan, ia lebih memilih diam dalam rasa penuh kekhawatiran. Pendiriannya tak teguh layaknya batu karang. Keinginan untuk segera memiliki momongan menjadi satu-satunya alasan untuk ia bertahan pada pilihan.

Juru kunci mulai melangkah. Satu tarikan napas dalam kemudian diembuskannya secara kasar. Dalam hati, ia sempat kecewa pada pilihan mereka. Sebagian sisi manusianya menyangkal bahwa hal ini adalah sebuah pilihan. Baginya, ini adalah salah satu dari arti keputusasaan.

Rasa dingin mulai berkurang, namun pengap mulai melanda. Mereka harus berjalan dengan lebih hati-hati. Dasar tanah bercampur bebatuan bisa saja menghujam. Juru kunci kembali berhenti sebelum mereka sampai ke tempat tujuan. Api mulai menyala pada satu sisi dinding goa, memberi sedikit cahaya penerangan. Senter diarahkan sang juru kunci ke arah jauh lebih dalam, namun yang tampak hanyalah kegelapan.

Mereka masih terus menelusuri dengan sangat hati-hati. Jarak dari mulut goa menuju ke tempat yang dimaksud sang juru kunci tak terlalu jauh, namun Badrun merasa bahwa mereka sudah masuk sangat jauh.

Juru kunci yang berjalan paling depan kembali berhenti dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Obor kecil kembali menyala. Cahayanya cukup memberi warna. Setidaknya membuat mata mereka tak hanya memandang kegelapan saja.

Titik cahaya di depan bergoyang pelan. Kemudian berhenti. Jalan di depan telah mulai terlihat. Mereka dengan jelas melihat batu besar menghalangi. Badrun tak mengerti. "Apa kita telah sampai?" Ia bertanya dalam hati.

Sang juru kunci kembali melangkah. Jalan berbelok arah. Pijakan kaki mulai merambah tanah. Badrun dan Sari mulai bisa menyeimbangkan diri hingga mereka diminta untuk berhenti.

"Kalian tunggu di sini!" Perintah sang juru kunci.

Badrun mengikuti. Sang istri masih setia berada di sisi. Langkah ringkih sang juru kunci mulai menjauh. Menepi hingga ke sisi. Menuju dinding goa yang samar mulai terlihat. Setitik api menyala kembali. Sang juru kunci kembali pergi, dan melakukan hal yang berulang kali.

Badrun terpana. Ia kini telah berdiri tepat di tengah sebuah ruangan dalam goa. Ruangan dengan diameter ukuran cukup luas. Badrun mulai tak merasa sesak. Napasnya kini harus mulai beradaptasi dengan bau tak sedap. Badrun tak sadar jika sang istri mulai merasakan takut luar biasa. Tubuhnya mulai bergetar hebat. Ia menatap sesosok tinggi besar tak jauh dari hadapan mereka.

Tangan Badrun mulai merasakan. Ia menoleh untuk memastikan.

"Kamu kenapa?" Dalam remang cahaya, Badrun ingin memastikan bahwa sang istri baik-baik saja. Sang istri tak menjawab, namun rasa takutnya mulai mereda.

Api mulai mengelilingi mereka. Beberapa obor kecil di setiap sisi mulai menampakkan jelas apa yang Sari lihat sebelumnya. Sosok itu berdiri tegap. Menyeramkan namun tak seseram yang dirasakan sebelumnya. Di hadapan sosok itu, terlihat beberapa benda yang bisa dipastikan menjadi sumber bau yang mereka cium.

Sang juru kunci kembali.

"Siapkan syaratnya!" Perintah sang juru kunci. Badrun sigap kemudian menyiapkan syarat yang ia bawa.

"Taruh di tempat itu!" Sang juru kunci menunjuk. Sebuah tempat tepat di hadapan sosok yang sebelumnya ditakuti sang istri. Dibantu sang istri, ia menaruh serta menatanya dengan rapi.

"Kalian duduk bersila di sana!" Mereka beringsut. Mundur, kemudian mulai mencari posisi bersila yang nyaman.

Sang juru kunci mulai melangkah ke depan, tepat di hadapan mereka. Ia kemuadian melakukan hal yang sama. Duduk bersila seraya merapal mantra. Cukup hanya dengan beberapa waktu, hening mulai tercipta. "Pejamkan mata!" Perintah terakhir dari sang juru kunci untuk memulai apa yang diinginkan mereka.

Keringat mulai menetes. Panasnya api dari beberapa obor mulai mempengaruhi. Sesaat kemudian, sejuk mulai bisa terasa. Sesuatu hal yang aneh, mengingat dalam goa tak terdapat ventilasi udara.

Cukup lama mereka merasakan sensasi tak biasa. Hingga sebuah kalimat membawa mereka kembali ke alam nyata. "Buka mata kalian"

Mereka terkejut. Jantung mulai berdetak hebat. Badrun menelan ludah. Apa yang dilihatnya tak bisa dijabarkan logika. Ia terpana pada realita yang tak seperti ada dalam bayangannya. Badrun menoleh. Ia memastikan bahwa sang istri masih berada di sampingnya, dan ya, matanya menemukan sosok sang istri dengan jelas. Ia masih baik-baik saja. Sari menatap Badrun dengan tatapan yang sama. Sensasi seperti ini tak terbayangkan sebelumnya.

Di hadapan mereka. Apa yang ditunggu mulai menampakkan diri. Perlahan dari bayangan menjelma menjadi sesuatu yang tampak nyata. Mereka tak mampu berkata-kata. Sang juru kunci melarangnya. Sebelum ke tempat ini, mereka telah dibekali dan diberi persiapan untuk situasi seperti ini. Tak bicara ketika tak ditanya adalah satu diantaranya.

Wajah dari sosok itu mulai nampak. Ia memberi seulas senyum, namun terasa mengerikan bagi mereka.

"Apa yang kalian inginkan?"

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang