Tok tok tok.
Terdengar pintu depan diketuk. Bu Sari yang sedang berada di dapur, langsung berjalan ke depan. Tak membiarkan tamunya menunggu.
Setelah pintu ia buka, ia langsung mempersilakan tamu itu masuk. Dua orang berbadan tinggi, tegap serta mengenakan jaket hitam.
Tanpa basa-basi, tamu itu langsung menceritakan apa yang perlu dibicarakan
"Begini, Bu. Kami sudah menelusuri semua tempat berdasarkan keterangan dari Pak Badrun dan Ki Saleh, namun sejauh ini kami masih tak dapat menemukannya."
Bu Sari tak mengerti harus menanggapi keterangan dari dua orang anggota polisi itu dengan sikap seperti apa. Ada rasa kasihan begitu mendalam mengingat kebaikan darinya. Tak hanya itu, Bu Sari pun merasa bersalah dan merasa berhutang nyawa. Dua minggu telah berlalu, sejak kejadian nahas itu, namun hingga kini ia seperti telah hilang ditelan bumi.
"Anak baik yang malang," gumanya dalam hati.
"Bu."
Panggilan dari salah satu tamunya membuatnya tersadar dari lamunan.
"Eh, iya, Pak."
"Apa ibu benar-benar tak tau tentang saudar dari saudara Ares ini?"
Bu Sari menggeleng.
"Saya benar-benar tidak tau, Pak. Bahkan anak saya pun yang jauh lebih mengenalnya, ternyata tak tau apa-apa. Semua informasi yang saya ceritakan, hanya itu yang saya tau."
"Baiklah kalau begitu, kami bersama tim akan kembali melakukan upaya terakhir. Walau kami tak menemukan jejak atau jasadnya, tapi kami berharap bahwa anak itu baik-baik saja, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Kami permisi, Bu."
Bu Sari mengantar dua tamunya pergi. Tepat ketika tamu itu pergi, tamu lainnya datang kembali. Mobil mewah berwarna hitam terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah Bu Sari. Seseorang keluar dari samping kemudi. Wajahnya kusut, tak ada aura kebahagiaan.
"Bu."
Wanita itu berusaha tersenyum. Walau nyatanya tak bisa. Bu Sari mengenalnya, walau tak terlalu akrab.
"Mausk, Nak."
Bu Sari mempersilahkan duduk, kemudian memanggil Gia.
"Gia ... Ada tamu."
Gia muncul, dari balik pintu kamar. Sama seperti sang ibu. Gia ramah menyambut sang tamu.
"Apa udah ada kabar darinya?"
Gia menggeleng. Wanita itu kecewa. Bagaimana tidak. Ia yang telah memiliki harapan, harus sirna begitu saja oleh kenyataan. Bulir bening mulai mengalir. Gia merasakan kesedihannya. Gia menghampiri. Sekadar memberi pelukan untuk menguatkan, walau ia sendiri tak kuat menerima kenyataannya. Dalam pelukan, tangis justru kian pecah. Rasa bersalah Gia dan Bu Sari semakin membuncah. Seseorang harus menerima akibat dari ulah masa lalunya. Setidaknya, itulah yang mereka rasa.
"Maafin aku, Mbak," ucap Gia, lirih. Tak terasa, air matanya ikut menetes. Gia berusaha menahannya, untuk tetap tegar agar Sabrina tetap bersandar.
Merasa cukup, Sabrina melepaskan pelukannya.
"Aku nggak nyalahin siapa-siapa. Aku cuma nggak rela kalau dia pergi gitu aja. Padahal aku udah berharap semuanya bakal lebih baik dari sebelumnya, tapi ternyata kenyataan nggak sesuai sama apa yang aku impiin, dan takdir udah ngerenggut dia gitu aja."
Gia dan Bu Sari tak sanggup menanggapi ungkapan kesedihan itu. Satu-satunya yang mereka mampu lakukan hanyalah berusaha menemani Sabrina melewati kesedihan. Sampai ia bisa ikhlas atau mungkin menemukan sesuatu untuk mengembalikan rasa bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HororSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.