37. Jalan Terbuka

157 25 1
                                    

"Apa kalian mendengar sesuatu?"

Ki Saleh memaksa mereka berhenti. Mereka mulai fokus pada pendengaran. Memastikan bahwa mereka mengerti dengan apa yang Ki Saleh maksud.

"Iya, Ki. Sepertinya tak jauh dari sini." balas sang ustaz.

"Kalau begitu, lebih baik kita segera kesana."

Pak Badrun yang sudah tak tahan lagi, mengajak mereka untuk segera mencari. Dengan tenaga tersisa, mereka mempercepat langkah. Menuju apa yang mungkin bisa membantu. Berbekal petunjuk dari suara saja.

Tanah yang mereka pijak, sebelumnya kering, kini mulai terasa lembab. Bahkan di dedaunan terlihat basah. Mereka semakin dekat.

Langkah kian cepat. Apa yang mereka buru semakin jelas keberadaannya. Mereka tak tau telah berapa lama mereka berjalan. Dari keberadaan matahari yang terlihat dari celah pepohonan, sepertinya hampir mendekati tengah hari. Artinya, mereka telah cukup lama berjalan.

Sang Usataz tak tahan lagi. Ia berlari ketika menemukan sesuatu yang mereka cari. Wajah pucat mereka menandakan bahwa mereka membutuhkan asupan.

Begitu tenang. Jernih, mengalir perlahan.

"Ki, apa Ki Saleh tak merasa haus?"

Pak Badrun menoleh. Ia mendapati Ki Saleh hanya diam berdiri.

"Duluan saja. Sekalian kita beristirahat."

Pak Badrun meninggalkannya sendiri. Di tepian sungai, menunggu mereka selesai.

Tenaga yang hilang, mulai terganti. Walau tak sepenuhnya pulih seperti sedia kala. Ki Saleh mengeluarkan botol minum bekas dari dalam tas kecil yang ia bawa. Botol mineral yang sempat ia beli ketika dalam perjalanan kemari. Tak disangka, yang seharusnya telah menjadi sampah, kini justru menjadi berkah. Ki Saleh mulai mendekati mereka yang tengah lupa pada tujuan saat ini. Mengobati rindu akan dahaga. Hingga mampu kembali merajut mimpi.

Ki Saleh mulai mengisi, untuk kemudian ia teguk sendiri. Aliran air dalam sungai itu tak terasa terkontaminasi. Setelah cukup, ia isi kembali, sebagai bekal dalam perjalanan nanti.

"Apa sudah cukup?"

Satu pertanyaan bisa dipahami. Pak Badrun beserta sang ustaz mulai merapikan diri. Pak Badrun membasahi wajah serta rambut dan kedua lengan serta kakinya. Sementara sang ustaz justru membasahi seluruh tubuhnya.

"Mari kita lanjutkan, Ki."

Sorot mata itu telah kembali. Membawa sebuah semangat serta harapan baru, yang sebelumnya sempat memudar.

Mereka berangkat. Melangkahkan kaki lebih cepat. Walau dengan arah masih tak pasti, namun mereka tak menyerah mengejar mimpi. Walau mimpi itu pun tak berbeda dengan arah yang mereka tuju. Masih tak pasti.

****

"Aku pengin keluar! Aku bosan! Aku rindu kalian!"

Gia mulai bosan. Rindu dengan kehidupan biasa dalam kesehariannya. Ia tak biasa menjalani kehidupan berbeda.

Ia mulai keluar dari ruangan tempat selama beberapa waktu ia berada. Menuju pintu keluar dari sebuah bangunan megah layaknya istana. Langkahnya cepat. Ia tak ingin siapapun melihatnya pergi dari sana. Terutama laki-laki yang dengan lembut membawanya kesana.

Gia melihat sebuah pintu besar dihadapannya. Ia masih ingat dengan jelas, bahwa ia masuk ke dalam istana itu dari pintu yang sama.

Tekadnya bulat. Tanpa pikir panjang, ia membukanya. Usahanya membuahkan hasil yang tak diharapkan. Pintu tetap kokoh berdiri tak terbuka.

"Kenapa susah banget?"

Gia tak menyerah. Ia masih memiliki tenaga untuk berusaha. Ia mengerahkan tenaga lebih dan berharap cara itu bisa berguna. Dan ya, pintu itu masih tetap dengan posisi yang sama. Tak bergerak walau hanya membuat celah.

Gia kecewa, namun masih tak mau menyerah. Kali ini ia mencoba cara berbeda. Ia mencoba mendorongnya. Ia khawatir apa yang dilakukan sebelumnya salah. Tanpa ragu, ia mendorongnya dengan sekuat tenaga. Hasilnya, sesuai apa yang diperkirakan nya. Pintu itu tetap tak mau terbuka. Ia lebih merasa yakin bahwa pintu itu akan terbuka ketika ia menariknya. Putus asa perlahan melanda. Gia mulai terduduk, tepat di samping pintu besar yang berusaha ia buka. Ia berharap, ada sebuah keajaiban sesuai dengan keinginannya.

Gayung bersambut. Doanya terkabul dengan cepat. Perlahan, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Menampakkan sosok yang pernah ia temui sebelumnya. Jantung Gia mulai berdebar cepat. Ia terdiam, menahan napas untuk mengembalikan detak jantungnya yang terlanjur merespon rasa terkejutnya sendiri. Sosok itu tak menoleh. Ia tak terpengaruh oleh keberadaan Gia di sana. Gia melihat, kali ini wajah sosok itu berbeda dari sebelumnya. Yang sebelumnya terlihat begitu menawan, kali ini tampak menyeramkan.

Tak sampai di situ. Sosok itu mampu membuatnya tak mampu berpaling, manakala ia datang tak sendiri. Dibelakangnya terdapat sosok laki-laki yang membuat pikirannya mungkin menjadi gila. Sama dengan sosok yang berjalan didepannya, laki-laki itu pun tak peduli dengan keberadaannya.

"Kamu, kenapa ada di sini?"

****

"Tunggu!"

Ki Saleh memberi tanda. Pak Badrun dengan sang ustaz berhenti serempak. Mereka tak bersuara, apalagi berani untuk bertanya. Bahkan napas pun mereka tahan semampu yang mereka bisa.

"Ini terlihat seperti pernah dilewati oleh orang lain. Patahan dari beberapa semaknya tak alami. Kalau diperhatikan, seperti sebuah jejak yang mengarah kesana."

Ki Saleh menunjuk arah didepannya. Ia memperhatikan dengan seksama. Jika diambil kesimpulan dari perkiraannya, maka jalan itu menuju ke tempat yang mereka cari.

Wajah Pak Badrun menatap serius. Tak ingin melewatkan informasi yang berhubungan dengan jalan yang mereka tempuh saat ini.

Ki Saleh menatap keduanya. Ia mengangguk. Mereka mengerti, lalu mengikuti. Ki Saleh berjalan paling depan. Matanya sibuk memperhatikan jalan.

"Sebenarnya ada apa dengan anak itu? Mengapa ia bisa meninggalkan jejak dan sepertinya berjalan tanpa berhati-hati? Apa ia melakukannya dengan sengaja?"

Banyak pertanyaan dalam benaknya, namun ia enggan untuk membicarakan. Ia tau, bahwa bercerita pada mereka hanyalah sesuatu yang sia-sia.

Langkahnya kian pelan. Jejak telah membawa mereka cukup jauh dari pertama kali Ki Saleh menemukan jejak itu. Kini, jejak itu hilang.

"Ada apa, Ki?"

Mendapati Ki Saleh berhenti. Sang ustaz memberanikan diri bertanya.

"Kita kehilangan jejak."

Sejenak, terlihat dari raut wajah mereka tampak terkejut.

"Mungkin tempat itu ada di sekitar sini. Beristirahatlah. Akan kucari sendiri tempatnya."

Pak Badrun dan sang ustaz tak membantah. Mereka langsung duduk di tepian tebing menjulang. Pak Badrun menyandarkan tubuhnya. Lelah semakin terasa melanda, namun belum berbuah apa-apa. Sang ustaz merasakan hal yang sama, juga berinisiatif melakukan hal serupa. Ia mencoba menyandarkan punggung pada tepian tebing yang melindungi mereka.

Ki Saleh mulai menjauh. Mencari kepingan jejak atau sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

"Aaahhh."

Suara jerit menghentikan langkah. Ki Saleh mengurungkan niat untuk menyisir tempat sekitar itu. Ia kembali dengan segera. Berharap sesuatu yang buruk tak terjadi.

Dari apa yang ia lihat, seseorang telah kembali hilang. Hanya menyisakan mereka berdua untuk melakukan perjalanan.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang