21. Titik Terang?

448 36 3
                                    

Pasukan itu berbaris, lengkap dengan seutas tali yang mereka pegang. Tali itu terhubung pada anjing-anjing pelacak yang akan dikerahkan untuk mencari keberadaan Gia.

"Selamat siang."

"Siang."

"Pada hari ini, seperti yang telah kita ketahui bersama, telah terjadi sebuah kasus dengan mengakibatkan hilangnya seorang siswa yang sedang mengadakan study tour bersama sekolahnya, sesuai dengan laporan para saksi sebelum korban dinyatakan hilang. Korban sempat bermain di area hutan yang saat ini ada di hadapan kita, untuk itu kita akan bersama-sama berusaha menemukan korban."

Persiapan telah sepenuhnya selesai. Bahkan hingga doa dari masing-masing personel telah terpanjat dengan tulus sebagai langkah meminta restu pada sang pencipta.

Mereka mulai menyebar, dengan beberapa personel serta satu anjing pelacak untuk setiap tim. Berbekal potongan kain dari pakaian yang sebelumnya telah dikenakan oleh Gia. Anjing pelacak mulai mengendus tempat pertama yang dari kesaksian Laras dan Putra, tempat itu menjadi titik menghilangnya Gia. Setiap tim mulai bergerak menyebar, sesuai dengan pergerakan anjing pelacak masing-masing. Mereka saling menoleh, seolah memberi tanda satu sama lain.

Kerumunan orang, orang tua serta teman-teman Gia yang menyaksikan pencarian tak diperkanankan untuk melangkah lebih jauh. Beberapa personil polisi serta petugas keamanan hotel menjaga batas itu dengan ketat. Raut sedih, penasaran serta isak tangis memberi warna duka di hati orang tua serta orang yang menyayangi Gia.

Kejadian buruk itu mengubah rencana semuanya. Study tour berakhir lebih cepat dari yang seharusnya. Beberapa dari mereka begitu kecewa, namun rasa simpati serta empati mengalahkan ego itu. Rasa malu pun benar-benar membungkam mereka untuk protes terhadap sesuatu yang memang tak seharusnya.

Semua siswa diarahkan untuk segera membereskan semua perlengkapan yang mereka bawa. Sore ini, mereka akan kembali tanpa membawa pengalaman indah, namun tetap membawa kisah. Kisah buruk yang mungkin akan sampai ke telinga anak cucu mereka.

Para guru mulai mengarahkan para siswa untuk kembali ke kamar masing-masing. Waktu memang masih cukup pagi, setidaknya sampai beberapa saat lagi matahari semakin meninggi. Mereka diberikan waktu yang panjang untuk membereskan semuanya. Waktu yang terlalu panjang itu tak hanya digunakan mereka untuk bersiap-siap saja. Sebagian lebih memilih untuk sibuk, sibuk untuk bersantai. Sebagian lagi berusaha memejamkan mata demi menghilangkan rasa takut tentang kejadian yang menimpa mereka. Beberapa tak banyak bicara walau sebenarnya mereka masih asik bersosial media, dan jari merekalah yang bekerja dan berkomunikasi dengan seseorang di seberang sana.

Panitia yang merupakan pendidik serta staf kependidikan mulai berdiskusi. Mereka akan menentukan siapa yang pulang dan siapa yang akan tetap tinggal untuk mendapingi orang tua Gia yang selama beberapa waktu ke depan akan tetap memantau kasus hilangnya putri semata wayang mereka. Mereka yang enggan tetap diam, sementara sebagian yang merasa bertanggung jawab serta memiliki rasa sosial tetap bertahan, bahkan mengajukan diri sebagai sukarelawan. Keputusan harus diambil, beberapa yang secara sukarela untuk tetap tinggal akan dipilih dengan pertimbangan yang matang. Tak hanya secara fisik, mereka juga harus mempersiapkan mental yang matang. Masalah yang akan mereka hadapi belum tentu akan berakhir dengan kebahagiaan. Untuk saat ini, pihak keluarga korban memang belum menuntut apa-apa, namun seandainya kejadian akan menjadi lebih buruk, maka mereka harus siap dengan segala akibatnya.

****

Ia berdiri, mengamati salah satu pohon gelap yang ada di sana. Ares menatap ke arah yang sama, namun pandangan mereka menangkap sesuatu berbeda. Ki Saleh menajamkan pandangan mata rabunnya, sedangkan mata Ares berkeliling mencari sesuatu yang mungkin bisa ia mengerti.

Ki Saleh tersenyum. Ia menemukan sesuatu itu. Sosok itu tertawa melihat dua orang manusia yang entah melihatnya atau tidak, namun setelahnya ia menyadari bahwa salah satu diantara mereka tak merasa takut dengan sosok seramnya, dan bahkan manusia itu tertawa melihat hal bodoh yang ia lakukan. Ia pergi tanpa rasa sedih, karena ketika ia sedih pun ia masih bisa tertawa.

Ki Saleh kembali berjalan. Beberapa langkah dari sana, bulu kuduknya mulai meremang. Ini adalah sensasi berbeda dari yang ia rasa sebelumnya, namun ia menebak bahwa yang akan datang membawa rasa marah serta dendam.

Ia berhenti. Pundaknya merasakan sesuatu. Sesuatu itu tampak nyata, senyata sentuhan manusia. Ares tak menyadari bahwa ki Saleh telah berhenti. Ki Saleh menoleh, lalu seketika saja ia berguling. Mendengar sesuatu yang ditangkap telinganya, Ares menoleh. Ia tersentak melihat ki Saleh terkapar bermandikan kotornya sisa air hujan barusan. Ares menghampiri, ia lupa bahwa ki Saleh terkapar karena sebab dan akibat. Ares membantu ki Saleh berdiri, sementara sosok itu menatapnya tanpa ekspresi. Seraya membantu ki Saleh berdiri, Ares menoleh. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

"Kamu?"

Ki Saleh menyuruh Ares untuk mundur. Yang ada di hadapan mereka saat ini bukanlah manusia biasa.

Sosok itu menangis. Ia tak henti-hentinya menatap sosok Ares yang begitu ia rindukan. Ares menjauh dari mereka yang saat ini sedang berhadapan.

"Lebih baik, kamu segera pergi, ini bukan duniamu lagi, tak ada gunanya kamu tetap di sini."

Tatapan sedih itu telah berubah. Kalimat pengusiran itu telah membuatnya kembali marah. Ki Saleh tak gentar. Serangan sebelumnya ia terima tanpa ia sadari, dan kali ini, hal seperti itu takkan terjadi lagi.

Sosok yang menjadi lawannya mengerti, bahwa ia takkan mampu mendeteksi lawan yang memiliki raga yang nyata.

"Jangan ikut campur tua bangka, kau tak bisa memisahkan aku dengannya. Begitu juga gadis ini, atau ia yang sesaat lagi akan mati. Mereka telah menagih janji dan telah menjemputnya untuk kembali."

Ki Saleh mendengar dengan seksama ucapan lawan yang ia hadapi. Wajahnya berubah serius. Masalah yang ia hadapi sepertinya telah berkembang ke arah yang semakin buruk.

"Kalau begitu, mungkin sebaiknya aku melenyapkanmu. Dengan izin yang maha kuasa, aku akan mengirimmu ke tempat yang seharusnya."

Lawan ki Saleh tertawa. Dengan jelas ia meremehkan ancaman ki Saleh yang ia kira hanya sebagai bualan semata.

Ki Saleh mulai berkonsentrasi. Ki Saleh belum melakukan apapun, namun lawannya mulai tak bisa tertawa bahkan berkata-kata. Ki Saleh harus mempersiapkan stamina untuk menghadapi lawan-lawan yang menurutnya saat ini takkan berjalan mudah.

Khawatir dengan keadaan yang akan membuatnya tersudut. Setan itu menyerang. Ia lega melihat ki Saleh diam tak bergerak dan berusaha mengelak, namun rasa lega itu berbuah penyesalan seketika. Ia ambruk, menabrak dinding pembatas tak terlihat. Menyentuh dinding itu membuat tubuhnya terasa panas. Ia berguling di tempat basah. Beruntung pakaian yang seseorang berikan untuknya mampu sedikit memberi perlindungan untuk wanita yang tak bersalah.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang