24. Rasa Gia

526 37 11
                                    

"Tempat apa ini? Bagus banget."

Tak henti-hentinya senyum terpancar. Takjub menikmati keindahan ciptaan dari sang pencipta. Pohon-pohon tinggi menjulang, dedaunan gugur berserakan menghampar menghiasai tanah lembab. Cahaya matahari memaksa menembus, memberi warna daun-daun yang telah jatuh, walau ia takkan sanggup hijau kembali, ia akan tetap bercahaya memberi warna. Ia berjalan, berkeliling menelusuri suasana luar biasa yang baru ia rasa. Ia tak menyangka bahwa tempat seperti ini tak jauh dari tempatnya singgah. Sesekali, suara serangga memberi tanda, bahwa ia tak sendiri di sana. Burung-burung pun ikut bersuara, layaknya paduan suara menyambut datangnya mangsa. Cukup lama ia berjalan dan menikmati kesendirian, hingga ia lupa bahwa ia perlu berbagi kebahagiaan.

Ia kembali, berjalan menelusuri arah jalan pulang. Matanya masih tetap menikmati, sambil sesekali memperhatikan jalan, jalan yang sebelumnya ia lewati. Ia cukup ingat, karena ia pergi tak terlalu jauh yang lainnya.

"Loh, yang lain ke mana? Kok, aku ditinggal?"

Ia tak menyangka, mereka begitu cepat meninggalkannya. Rasa khawatir mulai terbersit. Tempat indah yang ia pijak saat ini, bukan tak mungkin tak menyimpan bahaya. Terbayang olehnya hewan-hewan pemburu yang menjadi raja di tempat ini. Detik demi detik, ia tak menjauh dari sana, masih di tempat yang sama. Layaknya labirin, ia tak diizinkan pergi meninggalkan tempat itu tanpa berusaha. Kakinya telah cukup lelah, napas mulai terengah-engah.

"Kenapa jauh banget? Perasaan tadi aku pergi gak sejauh ini."

Tak menyerah, ia masih melanjutkan langkahnya, menuju sebuah tempat di mana teman-temannya berada. Langkah itu kian cepat, seiring rasa panik yang mulai meningkat. Ia masih berkonsentrasi, untuk menemukan kombinasi jalan yang tepat, agar ia bisa kembali dengan selamat.

Senyum mulai kembali terpancar, samar ia mendengar namanya sendiri terucap, dari suara-suara yang ia kenal. Ia kembali melangkah, dengan suara tersebut yang menjadi penunjuk arah. Langkahnya kian pasti, membawanya kembali pada kehidupan yang seharusnya. Suara itu semakin nyaring, pertanda bahwa ia semakin dekat dan akan segera kembali. Tubuhnya tak bisa berbohong, rasa lelahnya semakin menjadi, hingga ia kehilangan fokus untuk tetap hati-hati.

Akar timbul menjulur tak sengaja membuatnya terjatuh. Ia mengaduh merasakan sakit di beberapa bagian tubuh, lalu matanya menatap curiga, dengan warna yang ia tangkap berbeda dari sebelumnya. Ia mengernyitkan dahi.

"Ini di mana? Kenapa tempat ini beda dari yang tadi?"

Gia segera bangkit. Ia berputar di tempat. Tatapannya naik turun memperhatikan sesuatu yang menurutnya berbeda. Tempat yang ia pijak tak lagi sama. Keindahan alam itu telah hilang, berganti dengan pemandangan mengerikan. Napas kian memburu, namun secercah harapan kembali datang membantu. Suara memanggil namanya kembali terdengar. Ia kembali bersemangat, lalu segera berangkat, berbekal petunjuk arah yang ia dapat hanya dari suara.

"Ras ... Putra..."

Ia membalas, memanggil nama mereka. Berharap suaranya menjadi petunjuk yang sama, agar mereka bisa kembali secepatnya. Suara memanggil namanya kian jelas terdengar, hingga harapan mulai kembali melambung tinggi. Senyum menandakan bahwa usaha serta lelahnya telah telah terbayar sudah.

Gia termangu, ia menatap kosong sebuah tempat di balik pohon, tempat ia mendengar Putra dan Laras memanggil. Padahal, ia yakin, bahwa suara mereka berasal dari sana, namun setelah ia melihat tempat itu, matanya tak menangkap apa-apa, bahkan suara itu pun ikut menghilang.

Panik mulai menjadi. Di tempat yang ia kira tak begitu luas, ternyata dengan begitu mudah membawanya dalam ketakutan. Ia tak lagi ingin berjalan, kakinya memaksa untuk berlari. Selama beberapa menit, ia telah menghabiskan banyak tenaga, hanya untuk secepatnya keluar dari rasa takut, dan hasilnya tak sia-sia. Dari tempatnya berdiri saat ini, struktur bangunan kokoh mulai terlihat. Ia cukup mengenalnya, namun ia merasa lebih dari itu. Bangunan itu memberi sebuah rasa aman. Ia hampir saja mati oleh rasa takutnya sendiri.

Gia mulai menelusuri jalan di samping pagar yang menjadi pembatas antara penginapan dan hutan di belakangnya. Langkah itu membawanya pada gerbang yang dijaga oleh beberapa orang penjaga keamanan, namun Gia tak melihat mereka sedang berada di posnya. Gia tak peduli dengan alasan para penjaga itu yang saat ini sedang meninggalkan tugasnya. Ia lebih memilih melenggang masuk dengan santai. Keringat membanjiri seluruh tubuh, hingga dinginnya udara khas daerah dataran tinggi mulai terasa mengganggu. Jaket yang ia kenakan sama sekali tak membantu. Jaket itu justru lebih mengganggu. Keringat yang ikut menempel pada jaket itu menjadikannya barang tak berguna, karena basah akan terasa lebih dingin jika dikenakan.

Gia melewati lorong, menuju ke tempat kamarnya berada. Matanya memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya saat itu.

"Sepi banget, yang lain pada ke mana, ya? Apa mungkin mereka lagi jalan ke luar?" gumamnya dalam hati. Sebelum sampai di kamar yang ia tuju. Dari jauh ia melihat pintu kamarnya terbuka, lalu keluarlah seseorang. Gia tersenyum, ia lega melihatnya.

"Ras, mau kemana?"

Laras menoleh, namun ia mengabaikan Gia, kemudian pergi meninggalkannya ke arah yang berlawanan dari arah Gia datang

"Loh, Laras kenapa?" gumamnya lagi.

Merasa ada yang aneh dengan sahabatnya, Gia beranjak dari sana. Niat untuk masuk ke kamarnya sendiri harus ia tunda. Ia khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan sahabatnya. Laras menghilang dari pandangan Gia, karena ia berbelok dari jalan ujung lorong menuju ke tempat yang lainnya, yang menghubungkan ke beberapa bangunan penginapan yang terpisah.

Setengah berlari, Gia semakin mengejarnya, namun langkahnya selalu kalah dengan Laras yang tiba-tiba saja telah berada di jalan yang lainnya. Padahal, Laras tak berjalan secepat dirinya.

"Ras, tunggu!"

Gia berteriak, berharap Laras mendengar dan berhenti untuk memberi penjelasan padanya, namun kali ini, ia tak sedikitpun menoleh. Gia menambah kecepatan. Tekadnya untuk menyelamatkan Laras memberi tenaga lebih untuk menjadi sebuah alasan agar ia tetap berjuang. Laras kembali menghilang, di ujung lorong yang kembali berkelok. Gia tak menyadari bahwa tempat ia menginap memiliki banyak jalan dan lorong yang terhubung satu sama lain. Tak hanya itu, Gia tak menyadari sesuatu yang lainnya. Dari beberapa pintu tertutup, salah satunya perlahan mulai terbuka. Gia melewati pintu itu. Mata yang sebelumnya mengawasi pergerakan Laras, harus teralihkan olehnya. Ia keluar dari sana. Sama halnya dengan Laras, ia pun mengabaikannya. Gia berhenti, ia harus terus mengejar Laras yang mulai hilang tak meninggalkan jejak, atau berhenti untuk kemudian mengejarnya, dan akhirnya Gia memilih pilihan kedua. Ia berpikir, mungkin dia akan bisa membantunya untuk menemukan Laras.

"Tunggu, berhenti!"

Laki-laki itu menoleh. Ia terdiam, sorot matanya menatap lekat. Gia sempat tercekat, sebelum akhirnya ia melihat gelap.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang