38. Tempat Utama.

165 29 4
                                    

"Aduh."

Sang ustaz mengaduh. Punggungnya terbentur bebatuan. Ia terperosok masuk ke sebuah celah di balik tumbuhan rambat yang menutupinya. Pak Badrun yang berada di dekatnya, langsung masuk ke celah, untuk memastikan bahwa sang ustaz baik-baik saja.

"Ki!" Pak Badrun memanggil Ki Saleh, namun Ki Saleh lebih dulu telah berada di dekat mereka.

"Ada apa? Kalian baik-baik saja?"

Pak Badrun membantu sang Ustaz berdiri.

"Ya, saya tak kenapa-kenapa, Ki."

Mata Ki Saleh menerawang. Dalam kegelapan ia memastikan keadaan. Tak ada apa-apa di sana. Gelap membatasi pandangannya. Ki Saleh mulai berjalan. Sekadar memastikan bahwa yang membuat sang ustaz terjatuh bukanlah sebuah celah. Diambilnya beberapa kerikil di atas tanah yang ia pijak. Satu persatu ia lemparkan dalam kegelapan.

Klotak.

Suara bergema, menandakan bahwa celah itu berrongga cukup dalam. Tak hanya sekali. Ki Saleh ingin membuktikannya lagi. Suara yang dihasilkan tak jauh berbeda. Bahkan hingga kerikil terakhir dilemparkan, hasilnya masih sama.

Ki Saleh berbalik. Ia menatap Pak Badrun menyelidik.

"Apa kamu masih ingat, tempat dulu kamu melakukan perjanjian itu seperti apa?"

Pak Badrun sesaat terdiam. Ia mencoba membuka lembaran usang ingatan dalam setiap kejadian yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Dalam perjalanan. Ketika beristirahat. Ki Saleh pernah menanyakan hal yang sama, dan Pak Badrun tak menceritakan secara rinci tentang sebuah goa yang ia kunjungi saat dulu melakukan perjanjian.

"Yang saya ingat, tempat masuknya tak sekecil ini, Ki."

"Maksudmu?"

"Celah ini terlalu kecil. Dulu saya masuk bertiga, dan seingat saya mulut goa nya tak sekecil ini. Waktu itu saya bisa berjalan normal dan tak kesulitan ketika menjelajahinya. Tapi saya tak ingat pasti, Ki. Sebab suasana saat itu terlalu gelap dan saya hanya sekali pergi kesana.

"Kalau begitu, ini bukan jalan masuknya?"

"Saya rasa bukan, Ki. Tapi apa ini memangnya sebuah mulut goa, Ki?

Pak Badrun tak yakin. Yang ia lihat, hanya sebuah kegelapan.

"Ya, celah ini sepertinya memang mulut goa, tapi sepertinya kita tak bisa masuk untuk memastikannya."

"Memangnya kenapa, Ki?

"Kalian bisa lihat sendiri. Semakin dalam, maka cahaya akan semakin hilang, dan ketika kalian telah terlanjur jatuh dalam kegelapan, maka jalan kembali tak semudah apa yang dibayangkan."

Entah atau hanya perasaannya saja, atau memang Ki Saleh menjelaskan padanya bahwa ia akan sangat kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya saat ini. Pak Badrun terdiam. Apa yang dikatakan Ki Saleh memang benar. Apa yang ada dihadapannya saat ini telah memberi sebuah gambaran tentang jalan yang pernah ia pilih.

"Tapi, apa ada jalan untuk kembali?"

"Pasti! Tapi itu tergantung kemauan atau tidak, namun satu hal yang pasti, bahwa jalan itu siap menjatuhkan siapa saja yang berusaha melewatinya. Jadi kembali pun belum tentu kau bisa selamat, namun setidaknya kau telah berusaha dan tuhan maha melihat semuanya."

Kata-kata Ki Saleh bisa ia pahami. Ada sebuah keraguan, namun pada akhirnya ia bisa memahami bahwa pengorbanan besar akan sebanding dengan resiko yang dihadapi.

"Anu, maaf saya ada senter kalau kita mau masuk lebih jauh ke celah ini."

Sang ustaz yang sebelumnya hanya menyimak namun tetap tak sepenuhnya mengerti, berusaha memberi solusi.

"Mungkin tak bisa terang sepenuhnya, tapi lumayan daripada tak ada sama sekali."

Ki Saleh tersenyum. Ia menatap Pak Badrun yang tak bereaksi.

"Kadang setitik cahaya memang sangat membantu, dan kau harus mensyukuri itu."

Sang ustaz merogoh saku, mengambil senter kecil yang sempat ia bawa untuk sekadar berjaga-jaga. Ia tak menyangka bahwa hal sekecil itu bisa berguna. Ia memberikannya pada Ki Saleh.

"Mari kita mulai. Tapi ingat, kalian harus hati-hati. Bukan saja dengan yang tak terlihat, namun juga dengan makhluk apa yang bersembunyi di balik kegelapan."

Memantapkan hati. Ki Saleh mulai menelusuri. Pak Badrun dan sang ustaz mengikuti. Mereka tak bisa melakukannya dengan cepat. Jarak pandang terbatas membuat mereka harus lebih berhati-hati. Celah sempit pun tak memberi mereka ruang lebih. Kaki ragu melangkah, tangan merayap meraba. Semua dilakukan agar mereka tak celaka. Semakin jauh melangkah, pengap mulai terasa. Ki Saleh mengarahkan senter ke segala arah. Ia memastikan bahwa tak ada sesuatu yang berbahaya di hadapan mereka. Sayang, satu senter tak cukup untuk menghindarkan mereka dari bahaya. Sang ustaz yang berjalan paling akhir beberapa kali hampir terjerembab, manakala kaki berpijak pada tempat yang tak tepat.

Pak Badrun sesekali menengok. Ia memastikan bahwa sang ustaz masih berada dibelakangnya. Tak ingin beberapa kejadian sebelumnya kembali terjadi. Tak terlihat sosok itu dibelakangnya. Mata Pak Badrun cukup kesulitan menyesuaikan pandangan dengan kegelapan. Hanya samar bayangannya yang sesekali terlihat oleh pantulan cahaya dari senter yang bergoyang.

****

Gia mengikuti dari jauh. Hatinya menyangkal apa yang telah dilihat. Di tempat seperti ini bertemu dengan orang yang dikenal, begitu tak masuk akal. Sama halnya dengan keberadaan ia di tempat itu. Tak masuk akal.

Perhatian Gia fokus pada wajah. Ia melihat perbedaan darinya. Tak ada rasa dan lebih seperti boneka.

"Kau tak usah bersembunyi. Keluarlah! Aku yang membawanya, untukmu."

Deg. Usahanya sia-sia. Rasa takut muncul tiba-tiba. Ia tak mengerti mengapa rasa itu muncul begitu saja. Banyak hal yang tak masuk logikanya saat ini. Termasuk rasa nyaman yang sebelumnya ada.

Gia keluar. Perlahan menampakan diri. Ia tak berani menatap sosok yang memanggilnya, padahal ia pernah melihat sosok itu. Namun kali ini, yang ia rasa begitu berbeda.

"Mendekatlah!"

Gia tak kunjung menghampiri. Sosok itu memberinya perintah lagi. Langkahnya berat, namun harus tetap ia lakukan. Hingga akhirnya ia mampu berdiri tepat di samping laki-laki yang ia kenal.

Seulas senyum menyambut. Gia kembali terpana. Tak sanggup berkata-kata.

"Bawalah dia ke tempatmu!"

Sosok itu kembali memberinya perintah. Gia tak bisa membantah, seperti sebelumnya yang selalu mengikuti apa yang dikatakannya.

Gia menarik lengan laki-laki yang kini berdiri disampingnya. Namun laki-laki itu tak bereaksi. Tatapannya kosong. Ia mengikuti tanpa bisa mengendalikan diri. Gia membawanya. Kembali pada sebuah ruangan tempat sebelumnya ia beristirahat.

****

Cahaya dari celah keluar semakin tak terlihat. Mereka telah jauh masuk ke dalam goa. Satu-satunya cahaya tak cukup menerangi semuanya. Ukuran celah tak begitu sempit, atau bertambah luas, namun jalan mulai berkelok. Hal itulah yang membuat mereka kehilangan cahaya dari celah.

Selama beberapa waktu, mereka berjalan mengikuti arah cahaya hingga pada akhirnya cahaya itu mulai menghilang.

Pak Badrun dan sang ustaz panik. Mereka yang berjalan mengikuti dengan jarak tak begitu dekat kehilangan cahaya itu setelah cahaya itu sempat berbelok ke bawah. Mereka khawatir jika Ki Saleh terperosok. Namun sayangnya mereka tak mendengar suaranya.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang