27. Asal Mula

303 34 2
                                    

"Tolong selamatkan anak saya!"

Sebuah pesan singkat tertuang dalam secarik kertas putih tepat di atas bayi yang berada di dalam keranjang. Bayi tak berdosa itu diletakan begitu saja di depan pintu sebuah panti asuhan kecil di sebuah daerah pedalaman. Ia menangis, ketika udara dingin mulai terasa membuatnya tak nyaman. Suaranya mampu membangunkan salah seorang wanita salah satu pengurus panti tersebut. Ia bergegas keluar, untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia merasakan firasat tak enak.

"Astaga, siapa yang tega meninggalkan bayi di sini."

Tanpa pikir panjang, bayi malang itu ia bawa ke dalam panti asuhan. Setelahnya, ia kembali keluar untuk memastikan bahwa mungkin saja ada orang yang pantas dicurigai sebagai pembuang bayi. Senter mengarah ke tempat-tempat yang ia curigai sebagai tempat bersembunyi.

"Mungkin saja ia masih di sekitar sini. Tak masalah kalau dia ingin menitipkan bayinya, tapi sebagai manusia, ia harus tau pada etika," ucapnya dalam hati.

Wanita itu kesal, lantaran masih saja ada orang yang berperilaku buruk seperti itu.

Setelah mencari ke segala arah namun tak dapat menemukan apa-apa, ia kembali.

"Bagaimana? Apa kau menemukannya?"

Wanita itu disambut oleh pertanyaan dari temannya sesama pengurus panti. Saat ini bayi itu sedang berada dalam gendongannya. Keadaannya telah lebih tenang. Bayi itu tak lagi menangis. Mulutnya terlalu sibuk dengan botol minum yang kini tengah membungkam.

"Kasihan, dia kedinginan dan lapar."

"Kasihan kamu, nak. Dosa apa yang telah mereka lakukan sampai harus tega membuangmu, tapi kau jangan khawatir, kami akan menjagamu."

Bayi itu melihat ke arah kedua wanita pengurus panti asuhan itu secara bergantian. Wajah polosnya menandakan bahwa ia tak mengerti apa yang telah terjadi, namun kehangatan kasih sayang dari keduanya mampu membuatnya nyaman.

"Untuk malam ini, sepertinya ia akan tidur denganku. Aku akan menjaganya."

"Ya sudah, kalau begitu, kita siapkan tempat tidur untuknya. Untuk masalah lain, kita bahas besok saja."

Wanita itu membaringan bayi itu di samping pembaringannya. Wajahnya begitu damai, berbalut selimut kusam.

"Aku takkan membiarkanmu terlantar, nak. Kamu anak tak berdosa. Semoga aku bisa merawat dan menyayangimu dengan semestinya. Ah, ya, aku lupa, aku tak tau nama kamu siapa, tapi aku akan memberimu nama yang pantas, semoga kelak semesta selalu menyayangimu. Mulai hari ini namamu adalah...

RESTU BUMI LANGIT."

****

"Restu, kamu habis dari mana saja?"

Wanita itu marah, karena Restu pulang terlambat. Pakaian yang ia kenakan pun terlihat kotor, basah bercampur tanah. Restu tak terlihat takut dengan tatapan marah dari wanita paruh baya yang selama ini merawatnya.

"Maaf, tadi Restu main bola sama yang lain," ucapnya seraya memaksakan sebuah senyuman demi mendapat pengampunan, dan usahanya selalu berhasil.

"Ya sudah, sekarang kamu cepat mandi!" balas wanita itu masih dengan nada tegas. Sebenarnya ia mengerti dengan sikap Restu yang selalu mencari teman dan perhatian dari orang lain, karena sejak kecil ia tak merasakan kesempurnaan itu. Panti asuhan yang sempat ia tinggali terpaksa harus bangkrut karena tak memiliki sumber dana untuk membiayai operasional serta kebutuhan anak-anak yang tinggal di sana. Semua anak telah dipindahkan ke panti asuhan baru yang lebih layak, sementara para pengurus terpaksa harus berhenti dari tugasnya karena di tempat baru, anak-anak itupun telah mendapat pengasuh baru. Namun salah satu anak itu menolak untuk pergi, bahkan ia sempat mengamuk tak mau berpisah dengan seorang wanita yang selalu memberinya kasih sayang, yang pada akhirnya, wanita itu memilih untuk membawa Restu bersamanya. Pihak panti asuhan tak sanggup untuk menolak keinginan mereka untuk bersama. Mereka tak tega memisahkan hubungan layaknya seorang ibu dan anak. Sebagai rasa terimakasih, pihak panti asuhan pun memberikan hak asuh Restu secara sukarela, sebagai bentuk rasa terimakasih karena telah ikut membantu merawat anak-anak di panti asuhan sebelumnya.

Restu membersihkan diri dengan begitu riang. Sesekali matanya melirik pada perempuan itu, mengawasi agar ia tetap di sana. Pada usia Restu yang baru menginjak sepuluh tahun, ia masih takut untuk pergi ke kamar mandi sendiri. Walau masih dengan rasa kesal, wanita itu masih setia menunggu. Di tangannya, terlihat telah menggenggam baju dan celana untuk ganti. Sementara itu handuk terlihat menggantung di bahunya.

Restu telah menyelesaikan mandinya. Dalam keadaan basah, ia menghampiri wanita itu. Ia menyambutnya dengan bentangan handuk di tangan. Restu mengerti, bahwa ia harus mengeringkan diri.

Melihat senyum anak kecil itu, rasa kesalnya perlahan mulai hilang. Ia menggosok tubuh Restu dengan teliti, hingga tak ada bagian yang terlewati.

"Habis ini, kamu kamu harus ikut ngaji, ya! Biar kamu tidak seperti ibu."

Restu mengangguk. Ia memang anak yang aktif, namun ia tetap menjadi anak yang penurut. Pada usianya saat ini, Restu belum mengetahui siapa ia sebenarnya. Yang ia tau, ia hanya anak yang hidup bersama seorang ibu, tanpa tau keberadaan sang ayah.

"Restu."

Dari luar rumah, terdengar suara seseorang memanggil nama bocah itu. Suaranya tak asing. Bahkan wanita itu pun mengenalnya.

"Bu, Restu pergi dulu, ya."

Ia berpamitan. Tak lupa sebelum berlalu, ia sempat mencium tangan sang ibu.

Restu telah pergi, wanita itu kini sendiri. Setidaknya itulah yang ada dalam pikirannya saat itu. Ia tak menyadari bahwa sesosok makhluk hitam legam tengah berdiri tepat di belakangnya. Bulu kuduknya meremang. Kejadian ini bukanlah yang prrtama, namun ia selalu berusaha untuk menghadapinya seorang diri.

****

"Maafkan bapak, nak. Setelah ibumu yang harus menjadi korban, bapak tak mau kalau sampai kamu juga merasakan akibat dari kesalahan bapak. Bapak menyesal, tapi itu takkan mengembalikan semuanya."

Di balik kemudi, laki-laki itu berujar sendiri. Pipinya basah, antara takut terjadi sesuatu pada sang putra dan juga merasa bersalah pada semuanya. Mobil melaju pelan. Ia telah meninggalkan sang putra demi menyelamatkannya. Perjanjiannya takkan gugur begitu saja. Melihat sang istri meninggal tanpa sebab yang jelas, ia merasa bahwa ajalnya tak lama lagi akan segera tiba. Dalam hening malam, ia harus pergi jauh dari rumah tanpa tujuan dan tak tau herus kemana. Ia tau bahwa apa yang ia lakukan takkan menyelamatkannya, namun setidaknya ia telah berusaha untuk menyelamatkan satu-satunya sang keturunan sahnya.

Brug.

Seketika, mobil yang ia kemudikan terjungkal tanpa sebab. Ia tak menyadari bahwa makhluk hitam itu telah lama mengikuti. Sesaat sebelum ajal menghampiri, laki-laki itu melihat seringainya. Rasa takutnya hilang, bersama pandangan yang mulai kabur. Darah mengucur dari kepala yang terbentur, juga dada yang terkena kemudi. Muntahan darah menjadi pertanda bahwa ia akan pergi selamanya. Hanya butuh beberapa waktu hingga semuanya menjadi gelap.

"Maafkan bapak, nak."

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang