8. Warna Berbeda

630 47 3
                                    

Cuaca cukup cerah, hanya ada beberapa awan melintas memberi warna, putih dan kelabu seperti tak berbeda. Matahari cukup terik, setidaknya disaat musim hujan masih sering melanda. Tatapannya masih melihat ke arah jendela mobil, masih sama seperti beberapa saat sebelumnya. Di sebelahnya, suasana terlihat berbeda, senyum itu tak pernah lepas dari wajahnya yang terlihat ceria, bagaimana tidak, ia telah menunggu momen seperti ini sejak lama, sejak Ares masih terlihat begitu membencinya. Hari ini impiannya telah menjadi nyata, setidaknya ia telah menapakkan satu langkah sebelum memulai semuanya. Belajar dari sebuah pengalaman, ia tak lagi ingin hilang kesempatan hanya karena ia telah salah menentukan langkah. Ia sadar bahwa Ares lebih suka dengan kebebasan.

"Kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?"

Senyumnya seketika hilang, Ares lah yang menjadi penyebabnya, penyebab rasa canggung yang kini hadir di antara mereka berdua.

"Eh, enggak, enggak kenapa-kenapa, aku cuma lagi seneng aja."

Hatinya berdesir, ia senang walau hanya disapa dengan beberapa kata tanya tak bermakna. Ares kembali membuang muka, namun ia masih mengajak wanita disebelahnya bicara.

"Jadinya kita mau ke mana?"

"Aku pengin makan dulu, habis itu nonton, kebetulan ada film bagus, gimana?"

Ares mengangguk, ia tak terlalu peduli dengan rencana hari ini bersamanya.

Suasana telah menjelang siang, namun kondisi jalanan masih terlihat padat. Kecepatan mobil hanya bisa melaju di bawah rata-rata.

Sabrina bersabar, kali ini ia benar-benar harus bisa mengendalikan diri. Terlahir dari keluarga mapan namun kurang perhatian dan kasih sayang, ia terbiasa bertingkah seenaknya dan cenderung memiliki sikap manja berlebih, namun sejak mengenal Ares, ia jadi mengerti bahwa tak semua yang ia inginkan bisa dengan mudah ia dapatkan. Ares atau lebih tepatnya sesuatu dalam diri yang ia rasa, memaksanya untuk berubah.

Perjalanan yang seharusnya tak memakan waktu lama, harus tertahan oleh sebuah keadaan. Dengan berbagai macam tujuan dari orang-orang yang tengah berjejal dalam satu jalur yang sama, memaksa mereka untuk tetap bersabar. Beruntunglah mereka ketika itu masih terlindung dari sinar matahari juga asap polusi, dengan berada di balik kendaraan roda empat yang begitu nyaman dikendarai. Sementara yang lainnya bermandikan keringat yang melunturkan debu jalanan yang melekat. Kondisi itu tak berlangsung lama, hanya dalam beberapa menit, semua terurai dan telah kembali seperti biasa.

Seonggok jasad telah terkapar, bermandikan darah memerah merembes pada kertas koran yang menutupinya. Kini, jelaslah sudah alasan kenapa mereka harus sedikit lebih lama berada di sana.

Ares tampak sedikit memperhatikan kecelakaan itu, namun sesaat kemudian pikirannya teralihkan menuju sebuah kejadian, kejadian dimana pertama kali ia bertemu dengan seseorang. Tanpa sadar, ia mulai tersenyum, kejadian yang berawal menyebalkan itu membuatnya merasa aneh, aneh dengan rasa menyenangkan.

Sampai ke tempat yang menjadi tujuan, Sabrina memilih masuk ke parkiran yang letaknya lebih jauh dari pintu masuk. Hal itu sengaja ia lakukan demi sebuah waktu berjalan bersama Ares. Ia rela betis rampingnya harus menjadi korban.

Hampir pukul dua belas siang, Sabrina menggandeng Ares menuju tempat makan seperti apa yang ia rencanakan. Satu jam sekiranya waktu yang lebih dari cukup untuk mereka makan sebelum melihat film yang mereka inginkan.

Sabrina menarik Ares untuk memilih ke tempat duduk yang jauh dari keramaian, tempat duduk yang berada di sudut, menghadap ke jendela besar yang menyajikan sebuah pemandangan hiruk pikuk orang berlalu lalang dijalanan. Salah satu pelayan tempat makan itu menghampiri, tak lupa ia memberikan sebuah buku berisikan daftar menu.

"Silahkan, mba, mas."

Etika dalam menyambut tamu sepenuhnya ia gunakan, tak lupa senyum ramah di wajah agar terlihat menyenangkan. Sabrina menerima daftar menu itu.

"Kamu mau makan apa?"

"Apa aja."

Ares memalingkan wajah, menatap lalu lalang orang di sana, namun pikirannya tak sejalan. Ia tak mengerti dengan mimpi buruk yang beberapa hari ini sering menghantui. Sementara itu, Sabrina sibuk membuka halaman demi halaman untuk menemukan makanan yang ia inginkan.

"Aku pilihin yang ini, ya?"

Ares sekilas melihat gambar yang ditunjukkan Sabrina dengan nama tertera di bawah gambar menunya, kemudian ia mengangguk sebagai pertanda setuju dengan pilihan Sabrina.

"Yang ini, ya, mba."

"Baik, mba, mohon ditunggu pesanannya."

Pelayan itu segera pergi, meninggalkan sebuah kebekuan di sana, kebekuan yang harus dengan sabar Sabrina singkirkan demi tercapainya sebuah keinginan.

"Res, kedepannya kamu ada jadwal atau kesibukan apa?"

Sabrina berusaha mencairkan suasana itu, walau tak mudah tapi ia harus berusaha, karena kesempatan seperti ini bisa saja takkan terulang untuk kedua kalinya.

"Belum ada, baru bulan depan."

Ares masih menanggapi sabrina sewajarnya atau terasa dingin untuk Sabrina.

"Kalau kamu ada acara lagi, apa aku boleh ikut?"

"Boleh."

Sabrina senang, ia diizinkan untuk ikut dengan Ares, walau senyumnya jelas menggambarkan bahwa ia tau bahwa Ares belum menikmati kebersamaan mereka. Setiap kesempatan yang mulai tercipta begitu ia syukuri, setidaknya hal itu akan menambah peluang baginya untuk bisa menunjukkan bahwa ia menyayangi Ares sepenuhnya, bahkan ia rela meninggalkan hidupnya yang begitu mewah serta penuh dengan kesenangan dunia.

Tak ada yang membuat kebersamaan mereka hangat. Bahkan Sabrina harus lebih dulu kehilangan topik pembicaraan hingga akhirnya suasana kembali membeku. Makan siang yang berusaha mereka nikmati nyatanya hanya sebagai pengisi rasa lapar tak berarti.

Selesai dengan makan, Sabrina segera mengajak Ares menuju bioskop yang masih berada dalam satu gedung yang sama. Dari jauh, terlihat antrian cukup panjang dari loket pembelian tiket hingga menuju pintu masuk.

"Yah, harus ngantri, gimana?"

Sabrina merasa bersalah, ia tak menyangka bahwa hari pertama pemutaran film tersebut akan seramai ini.

"Gak apa-apa."

Dibalik rasa bersalahnya, Sabrina bersyukur, dengan kejadian tak terduga itu, ia jadi memiliki waktu lebih lama berdiri bersamanya, walau lagi-lagi ia harus mengorbankan betis jenjangnya. Waktu tiga puluh menit bukanlah waktu yang lama, namun berdiri dengan mengenakan sepatu berhak tinggi tentu saja memberi sensasi berbeda, Sabrina berharap pengorbanannya akan menghasilkan sesuatu yang baik untuk hubungannya dengan Ares.

"Kalau kamu capek, kamu nunggu di sana aja."

Bak disambar petir, ternyata Ares memberi perhatian padanya. Sabrina sempat meragukan pendengarannya hingga membuatnya terdiam untuk sesaat, namun Ares memastikan bahwa tawarannya bukan sekadar basa basi belaka.

"Eh, enggak, aku gak apa-apa kok."

Sabrina semakin erat menggandeng lengan Ares, rasa lelahnya terbayar sudah oleh perhatian dari sang pujaan. Beruntung Ares tak menampik eratnya gandengan tangan Sabrina. Setelah mengantri lama, akhirnya, giliran mereka telah tiba.

"Silahkan, mba, mau nonton film apa?"

Sabrina memilih film tanpa ragu karena sebelumnya telah memberitahu Ares lebih dulu ketika mereka dalam perjalanan, namun Sabrina memberanikan diri untuk membeli tiket dengan kursi sweet box yang masih tersedia beberapa. Ares sempat menatap Sabrina dan Sabrina pun membalasnya dengan senyum tanpa rasa bersalah.

Setelah membeli tiket, Sabrina dan Ares langsung masuk ke dalam area tempat tunggu yang berada di lorong dekat pintu masuk ruangan pemutaran film, karena film yang akan mereka tonton sesaat lagi akan dimulai.

Sebenarnya Sabrina tak terlalu menyukai genre film yang akan ia tonton, namun demi sebuah kesempatan, ia rela untuk tetap melakukannya. Sabrina pun memiliki rencana sederhana ketika mereka menonton nanti. Ia berencana ketika film menayangkan adegan menyeramkan, ia bisa gunakan sebagai alasan untuk memeluk Ares dengan erat. Sabrina tak sabar membayangkan bagaimana hasil dari rencana sederhananya itu.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang