Mendekati akhir semester menuju ujian, Gia tengah disibukan dengan kegiatan-kegiatan sekolah sebagai tugas akhir ataupun untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk ujian. Hampir setiap hari ia pulang terlambat. Namun seperti sebuah kata bijak mengatakan, bahwa akan selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Dengan kesibukannya itu, Gia bisa mengesampingkan fokusnya pada hal-hal ghaib yang hampir setiap hari ia lihat, rasa takut itu kian pergi namun tak membuatnya menjadi pemberani. Beberapa kali makhluk tak kasat mata menampakkan diri dalam wujud mengerikan, namun yang membuatnya masih merasa ngeri adalah, kemunculan hantu itu yang muncul secara tiba-tiba. Gia lebih memilih menghindar dan tak mau merespon apapun kejadian yang berhubungan dengan kejadian mistis.
"Hai, jalan kaki aja?"
Gia dikejutkan oleh seseorang, ia tak menyadari bahwa dari jauh, bahkan sebelum ia berjalan menuju jalan besar, orang itu tengah menunggunya.
"Iya nih."
Gia tersenyum, senyum seperti biasa dan terlalu biasa, namun tak biasa untuk orang yang rela beberapa saat menunggunya keluar dari rumah. Respon Gia tak seperti apa yang ia harapkan. Kejujurannya ternyata membekas, dan mungkin meninggalkan luka di sana, walau kejadian itu telah terlewat cukup lama, namun sepertinya waktu tak menghapus semudah itu, tapi ia takkan menyerah begitu saja, untuk itu, ia memberanikan diri untuk mengajaknya.
"Bareng, yuk!"
Gia menghentikan langkahnya, laki-laki itu kaget sehingga secara refleks ia pun berhenti. Wajah di dalam helmnya tegang, menunggu sebuah keputusan. Sekilas ia melirik dan mendapati Gia sedang menatapnya, ia tak berani membalas, kaca helmnya terlalu bening sehingga ia tak berani untuk membalas tatapan itu.
"Boleh."
Satu kata jawaban yang keluar dari mulut Gia mampu melepaskan semua ketegangan pada tubuhnya. Ia berusaha tersenyum seraya berpikir masih ada harapan untuknya. Ia langsung mempersilahkan Gia untuk naik, setelah sebelumnya menyerahkan satu helm yang ia bawa untuk Gia pakai.
Dalam perjalanan, Gia tak sedikitpun membuka suara, ia lebih memilih diam dan tak melakukan apa-apa. Namun laki-laki itu tak menyerah begitu saja, ia berusaha sebisa mungkin untuk mencairkan suasana.
"Gi, waktu hari libur kemarin, kamu kemana? Aku cariin ke rumah kok gak ada?"
"Kemarin, ya, itu, aku pergi sama Laras."
Laki-laki itu terdiam, dalam hati, sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh tentang itu, tapi ia khawatir Gia tak menyukainya.
"Emang kenapa kamu nyariin aku? Ada perlu?"
"Eh, enggak, Gi, aku cuma pengen main aja."
Obrolan singkat mereka harus terhenti, gerbang di depan memberi tanda bahwa mereka harus berpisah. Ia melaju, menuju parkiran yang berada di area belakang sekolah, sementara Gia berjalan menuju ke kelasnya.
Beberapa meter sebelum sampai pintu kelas, sebuah tangan menghentikan langkahnya. Gia berhenti kemudian menoleh. Tatapan mereka bertemu, hingga terjadilah sesuatu.
*****
Perlahan mulai membuka mata, lalu disambut dengan aroma kuat kayu putih serta rasa sedikit panas di atas bibir bagian atas. Keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terasa dingin. Ia berusaha bangkit, memaksa tubuh lemahnya untuk menghadapi sebuah kenyataan. Usaha kerasnya telah menjadi sia-sia. Biaya, waktu serta tenaga terbuang percuma. Ia duduk termenung, tanpa menyadari kini ia berada di mana.
"Eh, sudah sadar, pak."
Seorang ibu-ibu sekitar usia lima puluhan menghampiri dengan nampan yang berisi segelas teh manis dan juga nasi serta lauk seadanya. Pak badrun tersenyum, ia berpikir pastilah ibu-ibu ini yang telah menolongnya ketika pingsan tadi. Ia berusaha tersenyum walau masih terasa pahit menerima kenyataan.
"Diminum dulu, pak."
Wanita tersebut menaruh semuanya di atas meja yang berada tepat di depan pak Badrun yang ternyata baru ia sadari bahwa ia tengah dibaringkan di atas tempat duduk sederhana di rumah itu.
"Terimakasih, bu."
Wanita itu langsung beranjak keluar. Pak badrun menoleh ke arah pintu yang masih terbuka. Ia melihat kerumunan orang masih berada di sana, di tempat yang seharusnya ia tuju dan berada saat ini. Kembali, rasa pahitnya kenyataan mulai ia kecap lagi, mendapati semua usahanya sia-sia. Ia mengalihkan pandangan dari sana bersamaan dengan datangnya wanita tadi, juga seorang laki-laki bersamanya. Pak Badrun bermaksud bangun untuk menandakan bahwa ia masih memiliki sopan santun. Ia duduk kembali setelah pria itu mempersilahkannya.
"Loh, kenapa belum dimakan, pak? Ayo, silahkan dimakan dulu, biar ada tenaga. Tidak usah sungkan, biar bapak cepat pulih."
Dengan ragu, pak Badrun menerima tawaran laki-laki itu yang ia rasa sebagai tuan rumahnya. Pak Badrun mulai menyantap sedikit demi sedikit makanan itu, masih terlalu sungkan untuk menerima kebaikan begitu saja.
"Oh iya, saya ketua RT di sini, jadi bapak tidak perlu khawatir. Tapi, dari orang yang sebelumnya berbicara dengan bapak sebelum bapak pingsan, saya mendapat informasi bahwa bapak sedang mencari itu, betul?"
Rasa nikmat makanan di mulut pak Badrun seperti hilang begitu saja mendengar pertanyaan itu. Ia berusaha menelannya dengan cepat agar bisa segera menjawab pertanyaan itu.
"Betul, pak, saya ada perlu dengan beliau, saya mau minta tolong."
Pak RT tak merasa heran dengan apa yang dikatakan pak Badrun, karena profesi orang yang dicari pak Badrun memang dikenal sebagai orang pintar, dan juga sering menolong orang.
"Maaf sebelumnya, saya boleh lihat kartu tanda pengenal bapak?"
Pak badrun segera mengeluarkan sebuah dompet usang dari dalam tasnya yang berada di samping kursi, lalu membuka dan mengambil kartu tanda penduduk miliknya yang juga telah usang. Pak RT melihat kartu itu dengan seksama untuk mengetahui identitas tamu dari luar daerahnya, dan beberapa saat kemudian mengembalikannya kembali pada pak badrun.
"Kalau saya boleh tau, bapak sedang ada masalah apa sampai harus jauh-jauh datang ke sini?"
Pak badrun tertunduk. Sebenarnya ia merasa tak enak atau tak sanggup menceritakan masalah yang ia hadapi saat ini, namun seandainya ia tutupi masalah itu, ia khawatir akan dicurigai, mengingat ia datang diwaktu yang sangat tidak tepat.
"Begini, pak..."
Pak Badrun menceritakan masalahnya secara singkat agar lebih mudah dipahami. Pak RT tampak mengerti, namun ia belum bereaksi, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan, pak RT memasang ekspresi wajah serius.
"Saya mengerti dengan kesulitan apa yang bapak alami, tapi sayangnya saya tak bisa membantu banyak."
Pak Badrun belum memahami apa yang dikatakan oleh pak RT, namun ia lebih memilih diam dan mendengarkan.
"Beliau orang baik, walau profesinya sebagai orang pintar, tapi beliau cukup dikenal suka menolong, bahkan tanpa pamrih, namun dengan kejadian ini, sangat disayangkan beliau harus pergi tanpa diketahui orang, sehingga penyebab kematiannya harus diselidiki pihak berwajib. Tapi untuk menolong bapak, saya punya sedikit informasi, barangkali ini bisa sedikit membantu namun mungkin bapak harus memulai kembali dengan usaha yang baru."
Mata pak Badrun mulai terbuka, semangat mulai kembali nampak diwajahnya, ia merasa tak mengapa walau harus menemui jalan buntu, asal ada jalan lain tercipta.
"Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?"
"Sebentar."
Pak RT meninggalkan pak Badrun dengan rasa penasarannya, ia berjalan menuju sebuah kamar, lalu setelah beberapa menit kembali dengan secarik kertas kecil di tangan.
"Ini."
Pak RT memberikan kertas itu. Pak badrun menerimanya, namun dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
"Ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HorrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.