30. Saling Berhubungan.

216 29 4
                                    

Ia berkeliling, mencari seseorang yang sepertinya pernah ia lihat sebelumnya. Sesekali matanya tertuju pada identitas di tangan. Penginapan saat itu tak terlihat ramai. Beberapa dari mereka masih menjalankan tugas di hutan belakang penginapan. Sementara dua dari mereka tetap berjaga di penginapan.

Berdiri di depan pintu, ia mulai ragu. Situasi saat ini dirasa sedang tak tepat untuk sekadar bertanya.

Tok tok tok.

Pintu perlahan diketuk. Dengan setengah hati ia melakukannya. Ia berpikir bahwa tak ada yang mendengar atau membukakannya pintu pun tak apa. Mungkin identitas itu bisa ia simpan sementara.

Namun ternyata pintu mulai terbuka. Wajah sedih menyambutnya, membuat ia menjadi merasa bersalah.

"Bu, maaf, apa ibu kenal dengan orang ini?"

Aparat tersebut menunjukkan sebuah tanda pengenal beserta dompet yang menjadi tempat kartu itu ditemukan. Bu Sari melihat wajah pada kartu tanda pengenal itu.

"Saya tahu, pak, tapi yang saya tahu namanya bukan Restu, tapi..."

Kalimat Bu Sari terpotong. Seseorang menghubungi melalui HT yang ia bawa.

"Tim telah kembali, diharapkan semua personel untuk kembali pada pos utama."

"Bu, maaf, mungkin ibu bisa ikut saya ke posko?"

Mereka bergegas, berharap cemas tim pencari mendapatkan hasil sesuai harapan. Ini adalah kesempatan terakhir yang mampu tim itu lakukan.

Beberapa orang dari tim pencari telah menunggu, Pak Badrun, Bu Sari beserta salah satu anggota tim yang sedang bersama mereka.

Tak ingin membuang waktu, tepat sesaat setelah mereka datang, tim langsung menjelaskan situasinya.

"Bu, kami dari tim pencari pada kasus ini dengan terpaksa memutuskan untuk berhenti melakukan pencarian. Semua upaya telah kami lakukan namun semua upaya itu tak membuahkan hasil apa-apa. Bahkan kami tak sedikitpun menemukan petunjuk keberadaan putri ibu. Saya mewakili tim meminta maaf karena tak sanggup melakukan pencarian lebih dari ini."

Pernyataan itu begitu membuat Bu Sari Sesak. Rasanya menyakitkan, namun ia harus tetap menerima kenyataan. Ares yang berada dalam bagian tim dan ikut melakukan pencarian menghampiri.

"Bu, setelah ini, saya dan Ki Saleh akan melakukan pencarian dengan cara berbeda."

Ares berusaha menghibur dengan cara bahwa masih akan ada yang membatunya untuk menemukan Gia. Bu Sari mengangguk. Baginya, ia akan sangat berterimakasih atas bantuan sekecil apapun yang ia terima.

Beberapa kali, Bu Sari tampak berusaha menenangkan diri sendiri. Pak Badrun yang berada di sampingnya tak bisa melakukan apa-apa. Rasa kecewa mereka berdua tak berbeda.

"Oh iya, nak, apa kamu kehilangan sesuatu?"

Bu Sari teringat dengan sesuatu sebelum ia berada di sana saat ini.

"Maksud ibu?"

Wajah Ares menggambarkan bahwa ia tak mengerti dari maksud pertanyaan itu. Bu Sari mengulangi pertanyaannya dengan kalimat berbeda.

"Apa kamu kehilangan benda berharga?"

Seketika Ares meraba saku pada pakaian yang ia kenakan.

"Kayaknya iya, Bu."

Setelah mendapat jawaban pasti dari Ares, Bu Sari menoleh. Mencari orang yang sebelumnya menghampirinya.

"Pak, sepertinya itu milik dia."

Salah satu petugas itu menoleh. Ia mengerti apa yang Bu Sari maksud. Ia menghampiri dengan benda di tangan yang tak asing di mata Ares.

"Apa benar kamu orang yang bernama Restu?"

Untuk sesaat Ares tak menjawab pertanyaan itu. Nama Restu terlalu banyak membawa kenangan buruk dalam masa lalunya. Ia sama sekali tak ingin berhubungan dengan sesuatu yang buruk dari masa lalu. Namun mengganti nama pada sebuah identitas tidaklah mudah. Ares memilih untuk memulai hidup baru sebagai orang lain.

"Iya, pak, itu nama saya."

Ares menerima dompet, identitas diri beserta isi lainnya yang ada dalam dompet tersebut. Entah bagaimana ceritanya dompet itu bisa tertinggal atau terjatuh sebelum ia ikut melakukan pencarian.

Dari sudut tempat berbeda, seseorang yang sebelumnya bersama Ares lebih memilih diam tak banyak bicara. Baginya, kejadian yang menimpa Gia bukanlah perkara yang bisa diselesaikan secara logika. Ki Saleh mengistirahatkan tubuhnya untuk sesuatu hal yang lebih penting yang akan mereka hadapi nanti.

****

Mereka saling bertatapan. Wajahnya tersenyum, sementara yang diberi senyum tak sedikitpun membalas. Sang pemilik senyum mengerti bahwa apa yang ia alamai mungkin bagaikan mimpi.

"Aku telah menunggumu."

Gia masih terdiam, namun rasa penasaran membuatnya harus bertanya.

"Menunggu? Kenapa?"

Laki-laki dihadapannya masih tersenyum, seolah bahagia dengan raut bingung wanita di hadapannya.

"Karena kita terlahir dan bertakdir memiliki jalan yang sama."

Jawaban yang laki-laki itu berikan tak membuatnya puas. Gia justru bertambah bingung dengan kepingan cerita hidupnya saat ini.

"Kemarilah! Akan kubawa kau ke tempat yang seharusnya."

Laki-laki itu mengulurkan tangan. Pancaran kharisma wajahnya membuat Gia terhipnotis tak berdaya. Gia tak menyadari bahwa ia dengan pasti mendekat pada laki-laki itu. Gia menyambut uluran tangannya, bahkan ia mulai tak sungkan memberi senyum yang sama.

Gia melayang. Tubuhnya terasa begitu ringan layaknya kapas terhempas angin kemarau. Sekejap mengedipkan mata, Gia telah berada di tempat berbeda. Kemilau cahaya menusuk mata. Gia menyipitkan mata agar ia bisa menyesuaikan penglihatannya. Gia sempat tertegun dengan apa yang ia lihat. Sebuah tempat yang tak pernah ia tahu berdiri megah layaknya istana sang raja.

"Di mana ini?"

Laki-laki yang berdiri di sampingnya menoleh masih dengan senyum yang sama. Ia membiarkan Gia dengan rasa bingung beserta takjubnya.

"Ini adalah istanamu."

****

Ki Saleh menarik Ares. Ada hal yang ingin ia bicarakan padanya.

"Ada apa, Ki?"

"Sepertinya kita takkan menemukannya di sini. Kita harus tahu penyebab atau alasan di balik kejadian ini. Saya mengira bahwa kejadian ini memiliki sebab dari masa lalu."

Ares tak mengerti sepenuhnya ucapan Ki Saleh, tapi ia tak ingin membantah dan memilih untuk mengikutinya menyelesaikan masalah.

"Kalau gitu, apa yang harus kita lakukan, Ki?"

"Setelah ini, kita harus bicara pada mereka. Kita harus tahu apa yang pernah mereka lakukan."

"Baiklah, kalau gitu berarti kita harus nunggu mereka pergi."

Tak butuh waktu lama sampai tim pencari itu membubarkan diri dan hanya menyisakan beberapa anggota saja untuk berjaga-jaga. Ki Saleh dan Ares menghampiri  Pak Badrun beserta Bu Sari. Sementara itu, guru dari pihak sekolah Gia sedang bernegosiasi dengan pemilik penginapan tempat mereka semua tinggal saat ini. Semua pihak ikut membantu dan bertanggung jawab dengan apa yang masing-masing dari mereka lakukan. Kesempatan seperti ini tak disia-siakan oleh Ares dan Ki Saleh.

"Sepertinya kita harus bicara."

Tanpa basa-basi, Ki Saleh langsung mengajak mereka untuk berbicara di tempat yang memungkinkan agar pembicaraan tak didengar siapapun.

"Sekarang, lebih baik kalian ceritakan semuanya secara lengkap, mungkin ada sesuatu dari cerita kalian yang bisa membantu."

Terlihat, pak Badrun tertunduk, berusaha mengumpulkan tekad untuk menceritakan masa lalu yang hanya mereka saja yang tahu. Baginya, ini adalah aib yang tak boleh diketahui siapa-siapa, namun demi keselamatan Gia, Pak Badrun siap dengan segala reaikonya.

"Jadi begini, Ki..."

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang