"Orang-orang memanggil saya ... Ki Saleh."
Suasana telah kembali tenang. Keraguan Pak Badrun dan sang ustaz tak terbukti.
"Sesuatu yang akan kalian hadapi tak hanya satu. Ada sesuatu yang lain lagi yang mengincarnya, tapi kalian jangan khawatir, ia hanya marah atas apa yang tak ia sukai."
"Maksud Ki Saleh?"
"Apa anakmu tidak bercerita bahwa ia sering melihat sesuatu yang aneh?"
Pak Badrun menggeleng. Seingatnya, memang Gia tak pernah bercerita tentang apa yang terjadi. Pak Badrun hanya tau bahwa beberapa kali Gia pernah diganggu oleh sebangsa jin atau sejenisnya.
"Anakmu memang anak baik, tak salah dia memilihmu sebagai perantara."
Pak Ustaz yang tak terlalu mengerti pembicaraan itu lebih memilih mendengarkannya saja. Ia berusaha menyimpulkan tentang apa yang menjadi masalah dan mengapa bisa sampai seperti ini.
"Untuk malam ini, kalian menginap lah di sini, besok kalian pulang dan aku akan menyusul setelah urusanku selesai. Aku juga harus bersiap-siap, karena masalah kali cukup berat untuk diselesaikan, kalian harus meminta kepada yang maha kuasa agar semua baik-baik saja."
"Baiklah, ki, maaf kami sudah merepotkan."
Kali ini sang ustaz lah yang menimpali, sebagai orang yang mendampingi tetangga yang merasa harus ia tolong, hanya sebatas inilah yang mampu ia lakukan.
"Tidak usah sungkan, aku melakukan ini bukan sepenuhnya untuk kalian. Memang salah untuk dilakukan, tapi aku berniat untuk membalas dendam. Sepertinya kakakku telah salah memperhitungkan ketika berhadapan dengannya."
Pak Badrun lega, namun kini ia memikirkan tentang sesuatu yang berbeda. Ia memikirkan tentang keadaan Gia saat ini. Penjelasan ki saleh barusan membuatnya khawatir.
Pak Badrun terperanjat ketika ia merasa sesuatu telah menyentuhnya. Ia menoleh, bermaksud memastikan pikirannya salah. Namun apa yang ia pikirkan ternyata benar. Ustaz itu menatapnya. Salah satu tangannya berada di pundak pak Badrun.
"Jangan melamun, pak."
Sang ustaz menegur. Ia tak ingin pak Badrun memikirkan masalahnya terlalu berat, karena itu akan mengganggu kesehatannya.
"Iya, maaf."
****
Dalam pos jaga, seorang satpam sedang sibuk memperhatikan seseorang dengan pakaian hitam. Ia berada di dekat gerbang dalam waktu cukup lama. Ia tak melakukan apapun dan hanya duduk di atas motor besar yang dikendarainya. Satpam itu tak merasa curiga, namun ia tetap mengawasinya hanya untuk berjaga-jaga. Ia mengawasi hanya dari dalam pos itu. Selama beberapa waktu tak merubah posisinya.
Ia mulai bergerak saat orang dengan pakaian serba hitam itu bergerak. Ia berjalan menuju gerbang yang sejak tadi tertutup rapat. Begitu juga yang dilakukan oleh satpam itu. Kini mereka saling berhadapan dengan gerbang sebagai pembatas.
"Ada perlu apa?" Tanya satpam itu dengan nada tegas, seolah berusaha menunjukkan bahwa ia orang yang galak. Sayangnya ia bertemu dengan orang yang salah.
"Maaf, apa siswa kelas tiga pulangnya masih lama, ya, pak?"
"Siswa kelas tiga, hari ini tidak ada yang masuk, mas, semua libur, cuma ada kelas satu dan dua saja."
"Loh, emang kenapa libur, pak?"
"Kan mereka lagi pada study tour selama beberapa hari."
"Oh, makasih, pak."
Laki-laki itu segera pergi tanpa permisi. Dari raut wajahnya, ia terlihat kecewa. Mungkin ia merasa telah percuma membuang waktunya di sana. Motornya langsung melaju dengan kecepatan tinggi.
****
"Ah, lega rasanya."
Laras meluruskan punggung serta pinggang. Tubuhnya terasa kaku selama dalam perjalanan tak bisa bebas untuk bergerak, bahkan tidurnya pun tak terasa nyenyak, tapi melihat pemandangan yang baru saja ia lihat, semua pengorbanan itu telah terbayar sudah.
Panitia yang merupakan seorang guru, langsung mengarahkan para siswa menuju ke tempat objek wisata pertama. Untuk bisa menuju ke tempat itu, mereka harus lebih dulu berjalan sekitar beberapa ratus meter jauhnya. Pemandangan di sekitar membuat perjalan itu tak terasa melelahkan. Semua barang yang tak dipakai, mereka tinggalkan dalam mobil. Mereka hanya diinstruksikan untuk membawa barang yang sekiranya mereka butuhkan. Kali ini, Gia bisa sedikit tersenyum. Pemandangan menuju objek wisata yang berada di dataran tinggi tak pernah ia lihat sebelumnya. Gia memejamkan mata, ia mencoba menghirup segarnya udara, menikmati kesejukannya mengisi paru-paru serta organ tubuh lainnya.
"Gi, ayo."
Laras menarik tangan Gia. Ia merasa bahwa Gia terlalu lama di sana. Mereka belum sampai pada objek wisata yang mereka tuju. Laras khawatir mereka akan tertinggal dari yang lainnya.
Gia mengikuti Laras karena tangannya berada dalam genggaman tangan Laras. Mereka tak menyadari bahwa sejak tadi seseorang mengikuti. Gia menoleh. Orang yang sejak tadi mengikuti mereka terperanjat. Jantungnya mulai berdetak cepat. Ia berusaha tetap tenang seraya terus berjalan sampai melewati mereka berdua. Jaket bertudungnya mampu menyembunyikan rasa gugup yang ia alami. Setelah berjarak cukup jauh, sekilas ia menoleh dan mendapati Gia masih menatap sesuatu. Tubuhnya masih menghadap ke depan, namun ia masih tetap menoleh ke belakang.
"Ah, kirain dia curiga sama gua."
Ia menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar. Ia tetap bersdiri di sana, seraya memperhatikan mereka dari jarak yang cukup jauh.
"Ras, itu bagus."
Gia menunjuk sesuatu dari salah seorang penjual souvenir yang berjejer di sana. Laras melihat apa yang Gia maksud, kemudian mengangguk pelan.
"Bagus, sih, tapi jangan sekarang, nanti kita ketinggalan."
Kembali, Laras menarik tangan Gia yang masih memperhatikan souvenir yang ingin ia lihat. Gia mengalah, ia menunda keinginannya untuk membeli oleh-oleh bagi kedua orang tuanya.
Jalur menuju ke tempat objek wisata yang mereka tuju mulai menanjak. Butuh tenaga ekstra, terutama pada kaki mereka agar bisa segera sampai di sana.
Suasana liburan menyebabkan tempat itu banyak dikunjungi. Mulai dari wisatawan lokal sampai beberapa turis mancanegara yang beberapa terlihat oleh mata Laras dan Gia.
Gia bisa sedikit melupakan apa yang sejak kemarin mengganggu pikirannya. Ia terbawa suasana dan sedikit bisa menikamati masa liburannya, dan memang begitulah seharusnya. Bahkan kedua orang tuanya pun berharap hal yang sama, karena seandainya sesuatu yang lebih buruk itu terjadi, setidaknya mereka sempat bisa membuat anak semata wayangnya bahagia.
Gia dan Laras telah tertinggal dari rombongan, tapi mereka masih bisa melihat teman-teman satu kelas mereka dari jarak beberapa meter di belakang. Mereka berdesakan, berusaha mendahului beberapa wisatawan yang berjalan di depan mereka. Jalur objek wisata tersebut di kelilingi oleh pohon-pohon tinggi khas daerah dataran tinggi. Jauh lebih dalam di antara jalur itu terlihat gelap. Cahaya matahari terhalang pohon-pohon tinggi menjulang. Gia takjub dengan apa yang dilihatnya. Pemandangan seperti ini sebelumnya hanya bisa ia lihat melalui layar televisi atau media yang memutar tentang keindahan alam. Gia sempat berhenti untuk sekadar memanjakan mata yang selama ini hanya melihat bangunan beton dan lalu lalang kendaraan. Gia berada di pinggir jalur yang masih menuju ke tempat objek wisata tersebut, tangannya menggenggam erat pagar pembatas jalan, namun seketika saja pandangannya mulai berputar tak tentu arah. Tangannya masih menggenggam erat potongan pagar rapuh yang sesaat sebelumnya masih utuh, hingga ia terpaksa melepaskannya setelah beberapa kali berguling. Gia mulai menjauh diiringi beberapa sorak sorai pengunjung yang yang histeris melihat kejadian itu. Mereka merasa ngeri dan takut terjadi sesuatu pada orang yang terlanjur meluncur itu. Ketakutan lebih dirasakan oleh orang yang tanpa sengaja membuat Gia harus terlempar dari atas sana.
Sebelum mencapai dasar, Gia mulai hilang kesadaran. Pandangannya kabur hingga perlahan semuanya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
УжасыSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.