41. Tak Mudah

150 23 0
                                    

Ki Saleh masih berdiri di tempat semula. Melihat lawannya memberi perlawanan. Sosok itu menyeringai. Perangai lembut serta berkharisma yang ia tunjukan perlahan hilang. Ki Saleh merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ia memang sudah mengira bahwa lawan yang akan dihadapinya berat, karena perjanjian dengan makhluk berbeda alam takan pernah menguntungkan manusia. Namun kenyataan menunjukan bahwa yang ada dihadapannya jauh lebih berat.

"Menarik. Hiburlah aku! Terakhir aku bersenang-senang, desa itulah yang ku hancurkan."

Ki Saleh terhenyak. Ucapan itu membawa pikirannya pada sebuah desa mati yang ia temui.

"Ya, mereka berusaha melawan dan aku hancurkan semuanya." Lanjutnya.

"Apa kau membunuh mereka?"

Sosok itu tersenyum. Perangai mengerikannya benar-benar membuatnya terasa berbeda dari sebelumnya. Bahkan perbedaan itu tak hanya tampak dari apa yang ia lihat saja. Ki Saleh merasa bahwa aura sosok itu semakin kelam, hingga membuatnya cukup merasakan lebih bertambahnya kekuatan.

"Menurutmu?"

Pertanyaan itu membuat Ki Saleh murka. Ki Saleh berusaha mengendalikan diri sebisa mungkin. Ia tak ingin terpancing untuk lebih dulu menyerang. Ia tak ingin mati sia-sia. Ia merasa, jika ia memang harus mati, maka ia harus memastikan bahwa gadis itu harus lebih dulu selamat.

"Cukup! Ayo serang aku!"

****

Laki-laki itu bangkit. Ia tersadar dari apa yang telah mengikatnya. Matanya berkeliling. Ia telah berada di tempat yang tak seharusnya. Ares berusaha mengingat apa yang terjadi, namun yang ia ingat hanyalah kejadian ketika ia bertemu dengan sosok itu.

"Apa ini mimpi?" Gumamnya dalam hati. Ares mulai memukul pipi dan mencubit lengan kiri. "Tidak, ini nyata. Lalu bagaimana aku bisa di sini?" Ares mulai bangkit dari ranjang tempat ia tersadar. Ruangan mewah namun begitu asing untuknya. Ia mulai menapakkan kaki.

"Aduh." Perih dan sakit dirasakannya. Ares menunduk, memeriksa apa yang terjadi pada kedua kakinya. Ia mengangkat kedua bagian celana yang menutupi. Di atas mata kaki, terdapat beberapa luka yang masih basah. Bahkan beberapa duri masih tertancap di sana.

"Kenapa bisa kayak gini?"

Ares tak menyadari, sesosok makhluk mulai menghampiri. Ares baru terkejut dan menyadari ketika bayangan makhluk tersebut terlihat olehnya. Ia bangkit, mencoba tak mempedulikan luka di kaki.

Ares terkejut. Sosok itu pun merasakan hal yang sama.

"Gia?" Sapanya. Sekaligus memastikan bahwa sosok yang ada dihadapannya bukanlah sosok tak kasat mata yang menyerupai nya.

"Mas Ares?" Gia pun merasakan hal yang sama.

"Ya, ini aku. Apa kamu baik-baik aja?"

Gia mengangguk. Lalu tersenyum.

"Iya. Aku baik-baik aja."

Hatinya berbunga. Ia tak menyangka bahwa kesadaran Ares membuatnya begitu bahagia. Untuk sesaat, Ares terdiam. Ares tak siap dengan hal itu. Gia memeluknya secara tiba-tiba. Namun secara tak terduga. Kedua tangannya menyambut dan memberi pelukan yang sama. Momen tak tepat dan tak memberi waktu lama untuk bernostalgia.

"Kamu tau, sekarang kita di mana?"

Gia menggeleng. Walau ia masuk ke tempat itu dengan penuh kesadaran. Logikanya sama sekali tak mampu menjabarkan.

"Kalau begitu, sekarang juga, kita harus keluar dari sini!"

Ares menggenggam tangan Gia dan menariknya dengan tergesa, menuju satu-satunya pintu yang ada di ruangan tersebut.

****

Pertarungan masih berlangsung. Ki Saleh tersudut. Ia terluka, namun masih sanggup untuk tetap berdiri menantang. Senjata yang ia gunakan mampu sedikit memberi perlawanan.

Sosok itu kembali maju. Bermaksud memberi serangan mematikan. Namun dalam rencananya, hal itu berubah tiba-tiba. Ia menghentikan niat, lalu menghilang begitu saja. Ki Saleh ambruk. Ia bersujud dengan kedua lutut dan tangan menopang tubuh. Tetesan darah menetes dari mulutnya. Ia terluka dalam. Antara bersyukur dan khawatir, jika tiba-tiba sosok itu kembali menampakan diri. Ki Saleh mencoba bangkit. Namun tiba-tiba, sepasang tangan telah menopangnya untuk berdiri. Ki Saleh menengok.

"Apa yang terjadi, Ki?"

Ki Saleh tak langsung menjawabnya. Ia berusaha mengatur napas seraya berjalan ke sisi goa untuk duduk memulihkan diri. Pak Badrun memastikannya sampai ke tepi. Setelah dirasa tenang, Pak Badrun mengulangi pertanyaannya kembali.

"Apa yang terjadi, Ki?

"Ia muncul dan kami bertarung."

"Siapa, Ki?"

"Makhluk yang membuat perjanjian denganmu. Dia yang menagih dan membawa putrimu kemari. Dia ada di sini. Namun di tempat yang berbeda dengan kita."

"Apa dia baik-baik saja, Ki?"

"Aku tidak tau, tapi mungkin saja iya. Semoga saja."

Sempat merasa lega, namun kata-kata terakhir Ki Saleh cukup membuatnya khawatir.

"Sekarang makhluk itu kemana, Ki?"

Ki Saleh menggeleng.

"Aku tidak tau. Ia pergi begitu saja di tengah pertarungan. Padahal kalau diteruskan, aku bisa saja sudah mati."

Pak Badrun terhenyak. Ia tak menyangka bahwa pembuktian kata-kata Ki Saleh bisa menjadi kenyataan secepat ini. Pak Badrun terdiam, hingga kemudian ia meninggalkan Ki Saleh di sana.

Ia melangkah, mendekati sebuah patung berukuran dua kali dari tubuhnya.

"Bangsat! Muncul kau makhluk sialan."

Pak Badrun berteriak. Menggema ke seluruh goa. Ia mengambil beberapa batu seukuran kepalan tangan yang ada di sana, lalu melemparkannya pada sosok itu. Seraya tetap mengeluarkan seribu umpatannya.

Rasa kecewa, putus asa namun tetap menolak untuk menyerah, hingga berubah menjadi melakukan serangan tanpa arah.

Ki Saleh membiarkannya. Ia berpikir, mungkin saja apa yang dilakukan Pak Badrun ada gunanya. Tak butuh waktu lama, dugaan Ki Saleh telah menjadi nyata. Apa yang dilakukan Pak Badrun sukses memanggilnya. Ia mendekati Pak Badrun, tanpa disadari.

"Pak, sudah, cukup! Tolong tenang dulu, Pak."

Sang Ustaz terbangun oleh suara berisik dari apa yang dilakukan oleh Pak Badrun. Dan itu menjadi berguna untuk membangunkannya.

Ki Saleh memejamkan mata. Ia memulihkan diri dengan kemampuan yang ia bisa. Sementara itu, sang ustaz mampu membuat Pak Badrun kembali tenang. Kemudian membawanya ke tempat Ki Saleh berada. Sang ustaz melihat kondisi Ki Saleh tak baik-baik saja. Namun ia enggan bertanya langsung, karena khawatir akan mengganggunya.

"Pak..." Sebuah kode bisa dipahami oleh Pak Badrun, namun ia lebih memilih diam tak memberi penjelasan. Pak Badrun duduk di samping Ki Saleh. Begitu juga yang dilakukan sang ustaz. Mereka terdiam, dalam doa yang selalu mereka panjatkan.

****

Ares berhasil membuka pintu dihadapannya, namun ia urung melangkah maju. Ia justru mundur perlahan. Sesosok makhluk menghalangi jalannya.

"Mau kemana kalian?"

Ares tak menjawab. Sementara Gia beringsut, bersembunyi di balik tubuh Ares.

"Biarkan kami pergi!"

Ares mencoba mengatakan keinginannya. Dengan sebuah penekanan dalam kata. Ia tak yakin akan berhasil, namun tak ada salahnya untuk mencoba.

"Hahahahahaha...tidak bisa! Kalian harus dan akan tetap di sini!"

Seketika, pintu itu kembali menutup dengan sendirinya. Meninggalkan kembali mereka terkurung di sana.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang