2. Peringatan

1.4K 84 6
                                    

Matanya mulai terbuka. Pemandangan putih sekeliling ruangan menyambut. Cahaya lampu membuatnya harus menyesuaikan penglihatan. Gia terbaring pada kasur empuk beralaskan kain putih, juga berselimut putih. Otaknya mulai berpikir, mencari sebuah alasan dari kejadian yang membuatnya harus berada di sana. Di samping, Laras menundukkan wajah, matanya terpejam, tak menyadari bahwa Gia telah kembali ke dunia. Kepalanya masih terasa berat, memori tentang kejadian yang menjadi alasan mulai melintas, hingga pada akhir cerita, wajah menyeramkan itu muncul dalam benak. Gia menutup mata, juga wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perlahan tenaganya berangsur pulih dan merasa telah sanggup untuk duduk sendiri walau harus memaksakan diri.

Gia mulai mencoba bangkit, perlahan dengan penuh hati-hati, ia tak ingin usahanya untuk duduk sampai harus mengganggu tidur sang sahabat. Usahanya berhasil, setidaknya untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya, tangan lemah yang berusaha menopang tubuh lemah itu kehilangan tenaga dan tak sengaja menyentuh kepala Laras cukup keras, Gia kaget namun ia tak menyangka melihat reaksi Laras, Gia termenung, Laras masih dalam posisi yang sama. Gia merasa bahwa seharusnya kejadian tak sengaja tadi cukup untuk membangunkan Laras, reaksi Laras yang tak bereaksi apa-apa membuat Gia penasaran dan menimbulkan tanda tanya. Dalam posisi duduk, tangannya mulai bergerak perlahan untuk kembali menyentuh Laras walau kali ini dilakukan dengan sengaja. Dalam kondisi normal, seharusnya Gia mampu menyentuhnya dalam waktu satu detik, namun dalam rasa khawatir dan penasaran seperti saat ini, waktu bergerak begitu lambat.

Satu sentuhan tak mampu membuat Laras terbangun. Suasana menegang, jantung Gia semakin kuat berdetak namun napasnya justru tertahan, menahan getaran rasa takut yang mulai menyerang. Gia tak menyerah pada rasa itu, ia masih memiliki tekad yang sama untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja, bahwa orang atau sesuatu disampingnya memanglah benar sahabatnya.

"Ras."

Kali ini, sentuhan itu disertai suara panggilan, berharap Laras mendengar,  hingga akhirnya Gia tersentak. Rasa tegang telah mencapai puncaknya. Laras terbangun, ia langsung menatap Gia dengan ekspresi heran.

"Kamu udah sadar, Gi? Kok, kamu ngelihatin aku kayak gitu? Kenapa?

Laras mengucek mata, memperbaiki pandangannya yang belum jelas, berharap apa yang dilihatnya tadi bukanlah kenyataan.

"Gak apa-apa, Ras."

Gia tersenyum, ia menutupi kecemasan yang baru saja dialaminya agar sahabatnya tak merasa khawatir. Ia lega, semua hal buruk yang ada dalam pikirannya hanya ketakutan belaka serta tak jadi nyata.

Laras melihat benda kecil berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dari balik kaca bening itu, terlihat tiga buah jarum dengan ukuran berbeda, benda itu berputar dengan irama tak sama, namun yang Laras lihat hanya jarum panjang kedua serta jarum pendeknya saja yang berada diantara angka enam dan tujuh.

"Gi, aku mau keluar dulu, ya, sebentar. Aku tinggal dulu, gak apa-apa, kan?"

"Mau ngapain, Ras?"

"Ada yang mau dibeli."

Laras segera pergi tanpa menunggu persetujuan Gia. Ia mulai melangkah menjauh meninggalkan Gia yang masih terduduk di atas ranjang rumah sakit tempatnya dirawat. Gia pasrah, ia tak bisa dan tak ingin mencegahnya, karena untuk saat ini, ia pun ingin sendiri. Namun Gia segera memanggil sahabatnya kembali sebelum Laras sampai di pintu keluar kamar itu. Gia melihat smartphone milik Laras tertinggal di atas nakas di samping tempat tidurnya.

"Ras."

Gia memanggil seraya mengambil smartphone milik Laras, bermaksud menunjukkan padanya bahwa ia telah tanpa sengaja meninggalkan sesuatu, namun sesaat kemudian benda dalam genggaman Gia terjatuh tepat disampingnya, di mana sebelumnya Laras tertidur di sana. Gia menjerit, melihat Laras menatapnya tanpa berbalik badan. Posisi tubuhnya masih menghadap pintu dengan tangan masih menggenggam gagang pintu setelah ia membukanya, namun Gia melihat dengan jelas ketika Laras memutar leher hampir seratus delapan puluh derajat, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh manusia normal.

"Aaaahhhhh..."

Jeritan Gia mengagetkan Laras yang sejak tadi duduk menungguinya.

"Gi, kamu gak apa-apa?"

Melihat sahabatnya tak baik-baik saja, ia menghampiri. Gia menggeleng seraya mengusap peluh keringat yang membanjiri wajah, pendingin ruangan yang berada dalam ruangan itu nyatanya tak mampu seketika menghapusnya.

"Minum dulu, Gi."

Sebotol air mineral Laras berikan. Gia menerimanya, rasa lelah terbangun dari mimpi seakan terasa seperti selesai berolah raga membuat air dalam botol segera berpindah hingga menyisakan isinya yang kurang dari setengahnya saja.

"Kamu habis pingsan apa habia olah raga, Gi?"

Gia menoleh, masih dengan senyum yang sama.

Suara bising di luar sedikit teredam. Saat ini, Gia berada dalam ruangan panitia yang sebelumnya digunakan untuk mempersiapkan acara.

"Ras, tadi aku kenapa?"

Laras menatap Gia, ia tak yakin bahwa Gia tak mengingat kejadian yang membuatnya harus berada di sana saat ini.

"Kamu tadi tiba-tiba pingsan, Gi. Kamu gak inget kamu kenapa? Atau mungkin badan kamu agak gak enak apa gimana gitu?"

Gia terdiam, ia berusaha mengingat kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. Ingatannya mulai terfokus dan tertuju pada sesuatu yang dialaminya ketika ia berdiri di samping panggung tepat sebelum seseorang menjemputnya untuk naik ke atas panggung.

"Tadi waktu Ares nyuruh orang buat jemput kita, pas mau berangkat, badan aku tiba-tiba berat banget, tapi aku maksain buat pergi dari sana, kirain aku gak bakal kenapa-kenapa, taunya pas di atas panggung aku ngerasa beratnya nyampe ke kepala, habis itu aku gak inget lagi."

"Tapi waktu dari rumah, kamu gak sakit apa-apa, kan?"

Gia menggeleng, seraya kembali meminum sisa air dalam botol yang Laras beri. Laras merasa ada sesuatu yang mungkin saja tak seharusnya terjadi.

"Gi ... Kamu masih bisa ngelihat mereka, kan?"

Pertanyaan kali ini, Laras utarakan dengan hati-hati, ia tak ingin menyinggung sahabatnya. Gia mengangguk.

"Masih."

Lalu tertunduk, ia bisa menebak arah pembicaraan selanjutnya.

"Terus, kamu kayak gini apa karena sesuatu?"

Gia terdiam, namun Laras mengerti bahwa itu adalah sebuah jawaban.

Dalam keheningan yang sesaat tercipta, Ares datang bagai pahlawan pemecah kesunyian. Dari kedua tangannya, ia menjinjing dua buah kantung plastik dengan warna berbeda. Satu kantung berlogo minimarket, sedangkan satunya berwarna hitam polos. Dari wajahnya, Ares begitu senang melihat Gia baik-baik saja. Ares memberikan kantung plastik hitam pada Laras, yang setelah Laras lihat, didalamnya berisi dua bungkus makanan yang Ares beli tak jauh dari tempat acara. Sementara itu, kantung plastik berlogo mini market langsung ia taruh di atas meja kemudian mengamil isinya.

"Nih."

Ares memberikan minuman penambah tenaga untuk Gia, namun ia juga memberikannya pada Laras.

"Kalian istirahat dulu di sini, nanti habis ini aku anter pulang."

Gia menggeleng, ia tak mau merepotkan orang lain, namun Laras memaksa.

"Iya, nanti kita pulangnya dianter, ya, soalnya kasihan Gia, takut kenapa-kenapa."

"Tapi..."

Gia tak membantah, ia hanya bisa pasrah menerimnya. Dalam hati ia merasa senang, setidaknya untuk beberapa saat, ia akan bisa dekat dengan Ares walau harus ada Laras bersamanya.

Hubungan Ares dan Gia sebenarnya telah dekat, walau kenyataanya Ares telah mengakui itu, namun Gia tak sepenuhnya percaya diri untuk menerima kenyataan yang ada, untuk alasan itulah Gia tak mau menuntut komitmen apa-apa, karen ia sadar bahwa ia dan Ares terlalu berbeda.

Dari jauh, wajah itu terlihat masih menangis, meratapi sang pujaan yang telah berpaling ke lain hati dan melupakannya, namun sesaat kemudian ekspresinya berubah seiring pandangannya ketika menatap seorang gadis yang berusaha ia celakai, ia senang melihat gadis itu sempat tak berdaya oleh ulahnya, sayangnya suara tawa khas itu tersamar oleh riuhnya suasana acara di luar sana.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang