Tak ada waktu untuk istirahat. Secangkir kopi cukup untuk membuat mata tetap terjaga, walau kepala masih tetap terasa berat. Jalanan lengang malam hari memudahkan mobil melaju cepat. Konsentrasi penuh memperhatikan jalan tanpa banyak bicara. Sesekali, dari arah berlawanan mobilnya berpapasan dengan mobil lainnya yang melaju dengan kecepatan yang sama, atau bisa lebih tinggi dari mereka.
Ares tak bisa mengemudikan mobil itu lebih cepat dari kecepatan saat ini. Ia tak ingin pemilik mobil atau keluarganya merasa kecewa apabila terjadi sesuatu pada kendaraan miliknya. Berbekal petunjuk arah dari aplikasi digital dalam gawainya, Ares mengikuti jalur yang tertera pada layarnya. Dari lokasi yang akan ia tuju, tak ada yang memberi kabar lagi. Ares tau bahwa ia tak memiliki hak, namun ia merasa wajib untuk membantu.
Orang yang duduk di sebelahnya, tengah asik memejamkan mata. Entah ia tertidur atau sedang melakukan hal lainnya. Namun mustahil bagi orang untuk tertidur dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya.
Langit di ufuk timur mulai berwarna jingga, pertanda perjalanan mereka akan segera berakhir. Waktu lamanya perjalanan memang akan lebih cepat ketika ditempuh dengan kendaraan pribadi, jika dibandingkan dengan kendaraan umum. Namun tetap saja, mereka masih butuh waktu beberapa jam lagi untuk sampai di sana.
Ares mulai menurunkan kecepatan, walau jalanan masih terasa lengang. Semakin lambat melaju, mobil mulai terasa bergoyang. Ares mulai berprasangka buruk akan nasib sial yang sepertinya akan ia alami. Ia menepikan mobil hingga berhenti di ruas paling kiri lajur tol yang masih harus mereka lewati. Ares turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi.
"Sial."
Ares berusaha menahan rasa kesal seraya mencari ban cadangan di bagian mobil belakang, namun kesialan itu terasa sempurna. Sang pemilik sepertinya tak pernah membawa ban cadangan di mobilnya. Ares semakin emosi, namun ia masih berusaha untuk tetap tenang dan mencari solusi, dan solusi tercepat dalam situasi saat ini berada dalam sakunya sendiri.
Ares tertunduk lesu. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Nasib gawainya telah berada di atas tanah, dan ia tengah dalam keadaan tak berdaya setelah dibanting pemiliknya, walaupun sebelumnya ia tengah dalam keadaan tak menyala, sehingga tak sanggup membantu sang tuan menemukan solusinya.
Ares masih tak menyerah. Ia berdiri di samping jalan. Wajahnya mulai menengok ke kiri dan kanan bergantian. Sepagi ini, tak terlalu banyak kendaraan yang lewat, terlebih jalan tol pada kota ini cenderung cukup sepi.
"Sabar, mungkin sebentar lagi akan ada yang lewat."
Tanpa Ares sadari, ki Saleh tengah berdiri di sampingnya. Ares tak menjawab dukungan untuknya itu. Ia hanya mengangguk, berusaha untuk siap menghadapi kejadian yang datang tak terduga.
Langit tak lagi jingga, warnanya telah berubah kuning serta terang menyala. Beberapa kendaraan mulai terlihat melewati mereka. Beberapa kali ia berusaha untuk menghentikan mereka, namun tak ada satupun dari mereka yang mau berhenti atau bahkan menurunkan kecepatan laju kendaraannya.
"Bagaimana ini, ki?"
Ki Saleh tersenyum. Dalam situasi seperti ini, raut wajahnya masih tetap terlihat tenang.
"Sabar, akan ada masanya bagi salah satu dari mereka untuk berhenti dan membantu kita, yang penting kita harus tetap berusaha."
Ares membenarkan apa yang dikatakan ki Saleh, bahwa ia tak boleh menyerah begitu saja.
Matahari semakin meninggi. Kendaraan semakin banyak yang melewati jalur tol itu. Peluang mereka mendapat bantuan semakin besar.
Beberapa mobil kembali melewati mereka, namun masih tak ada yang mau untuk berhenti. Mereka lewat begitu saja seolah tak peduli. Namun beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan berwarna biru putih berjalan pelan, kemudian berhenti. Di atas mobil itu terdapat sebuah lampu biru dan merah yang terlihat berkedip menyala.
Seseorang berseragam keluar dari mobil itu, lalu menghampiri.
"Selamat pagi, pak. Ada yang bisa dibantu?"
Petugas berseragam itu ramah menyapa. Mungkin saja ia tahu bahwa yang ditanya sedang terlihat tertimpa masalah.
"Iya, pak. Maaf, ban mobil saya pecah, saya nggak bawa ban cadangan, jadi terpaksa saya berhenti di sini." Ares mrnunjukkan salah satu ban mobil yang terlihat mengempis.
"Oh, kenapa bapak tidak menghubungi layanan darurat?" tanyanya menyelidik.
"Gawai saya mati, pak. Saya jadi nggak bisa menghubungi siapa-siapa."
Ares menunjukkan ponsel yang sempat ia banting sebelumnya. Ponsel itu tak menyala, bahkan sejak sebelum Ares melampiaskan rasa kesalnya. Petugas berseragam itu akhirnya mengerti. Ia menjauh dari Ares, berjalan menuju ke mobil patroli miliknya. Tak berapa lama, ia pun kembali menghampiri.
"Pak, saya sudah menghubungi layanan bantuan, bapak tinggal tunggu saja, mungkin sebentar lagi akan datang."
"Terimakasih, pak."
Ares mulai terlihat lega, walau tak sepenuhnya. Petugas itu bergegas pergi untuk melanjutkan patroli pagi, karena mungkin saja di tempat lain masih ada orang yang bernasib sama dengan mereka.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu, biar saya yang menunggu mereka."
Ki Saleh merasa kasihan melihat Ares yang begitu terlihat kelelahan.
****
Mereka masih merenung. Tanpa suara, tanpa air mata. Telah habis sudah rasa sedih tersisa.
Pak badrun duduk di kursi menghadap jendela. Menatap ke luar kamar yang kebetulan bertepatan dengan tempat di mana Gia menghilang. Sementara itu bu Sari masih berusaha dihibur oleh wali kelas Gia. Dalam kamar itu, mereka hanya bertiga. Guru lain yang ditugaskan untuk mendampingi kedua orang tua Gia masih di luar untuk berkoordinasi dengan pihak berwenang, sang ustaz pun ikut bersamanya. Ia tak merasa nyaman apabila hanya duduk diam tak melakukan apa-apa. Mereka tengah membahas rencana pencarian pada hari berikutnya. Hasil pencarian pertama berakhir nihil, namun tanpa diketahui siapa-siapa, tim pencari menghubungi salah satu orang yang mengerti tentang hal yang tak mereka kuasai. Profesi mereka menuntut memecahkan semua masalah dengan akal dan nalar, namun keimanan mereka mempercayai bahwa apa yang mereka hadapi di luar kemampuan biasa manusia.
Beberapa anggota keamanan terlihat berjaga di depan gerbang masuk penginapan. Mereka terlihat melakukan penjagaan serta pemeriksaan ketat bagi para pengunjung yang keluar masuk penginapan.
Mobil hitam terlihat memasuki gerbang. Mobil dipaksa untuk berhenti, lalu pengemudi diminta untuk menunjukkan kelengkapan surat-surat kendaraan. Pengemudi itu menolak, namun ia bersikukuh untuk tetap bisa masuk ke dalam penginapan, hingga perselisihan pun terjadi. Antara petugas dan pengemudi tak mau untuk saling menahan diri. Petugas menjalankan tugas sesuai kewajibannya, sedangkan pengemudi itu menjalankan kewjibannya sebagai sesama manusia.
Rapat koordinasi telah selesai. Rencana untuk pencarian selanjutnya telah matang dibuat. Mereka keluar dari sebuah ruangan yang disediakan oleh pihak penginapan untuk membantu petugas dalam melakukan koordinasi dengan pihak keluarga korban. Baru saja melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu, mereka disambut oleh sebuah keributan dari arah depan. Semua bergegas menuju ke tempat keributan itu berasal. Mereka berjalan bergegas, hingga akhirnya salah satu dari mereka mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
TerrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.