47. Pahlawan, bukan.

149 22 0
                                    

"Ada apa ini?"

Salah seorang aparat yang bertugas menyambut. Tatapannya tegas namun ekspresinya cemas. Tamu yang datang terlihat dalam keadaan tak biasa.

"Pak, tolong saya, Pak! Tolong selamatkan teman saya!"

Sang ustaz tak memberi masa untuk menenangkan diri. Ia tergesa meminta bantuan.

"Tolong apa? Ada apa? Bapak tenang dulu. Jelaskan dulu, ada masalah apa?"

Sang ustaz menjelaskan kronologi secara singkat. Aparat tak langsung percaya begitu saja. Mereka terlebih dulu memeriksa identitas pelapor. Bahkan mereka menahan kendaraan yang dibawa oleh sang ustaz sebagai jaminan.

"Baik, kalau begitu Bapak ikut dengan saya ke lokasi. Sementara Mbaknya akan dibawa untuk mendapatkan penanganan medis."

"Tapi, Pak, saya pengin ikut menyelamatkan bapak saya."

Gia protes. Ia tak terima dengan usulan dari polisi tersebut. Sang ustaz tak tinggal diam.

"Gia, tolong, kamu harus ikuti kata Pak Polisi. Bapakmu, kamu percayakan sama saya."

Gia tak berani lagi untuk membantah, walau hatinya masih sangat keras menolak, namun ia tak memiliki pilihan lain. Air mata mencerminkan rasa takut, marah dan semua keadaan yang tak sanggup ia terima.

Salah seorang dari lima orang anggota polisi itu membawa Gia beserta mobil yang dibawa sang ustaz ke rumah sakit terdekat. Empat orang lainnya bergegas menuju ke tempat yang dimaksud oleh sang ustaz. Sang ustaz berangkat dengan dua orang anggota polisi menggunakan mobil patroli. Sementara dua lainnya mengikuti dari belakang menggunakan dua sepedah motor dinas polisi.

Dalam keadaan darurat, mereka melaju dengan cepat. Tanpa persiapan dan hanya membawa perlengkapan seadanya. Namun semua anggota dilengkapi oleh senjata. Sirine berbunyi, seiring lampu merah dan biri berkedip bergantian.

Memasuki kawasan hutan, bunyi sirine dimatikan. Jalan bebatuan bergelombang memaksa kendaraan menurunkan kecepatan. Dalam keadaan darurat seperti ini, mereka harus tetap hati-hati. Mereka akan menjadi pahlawan, dan tak lucu jika sebelum itu mereka lebih dulu mengalami kecelakaan.

Mobil berhenti. Di tempat yang sama dengan mobil sebelumnya terparkir. Ujung jalan sebuah perkampungan mati.

"Saya baru tau tempat ini. Dari rumor yang beredar, bahwa tempat ini ditinggalkan tanpa alasan."

Salah satu dari anggota polisi itu bergumam, seraya menyiapkan senter dan juga memeriksa senjata yang mereka bawa.

"Silakan, Pak. Tunjukkan jalannya."

Mereka mulai bergerak. Dipimpin oleh sang ustaz yang lebih dulu berjalan. Sang ustaz harus menunjukkan jalannya, walau sebenarnya ia sendiri tak mengingat jalan untuk kembali ke sana. Sementara para polisi mengikuti dari belakang. Mereka tak hanya waspada dengan keadaan sekitar. Mereka juga harus tetap waspada pada orang yang melaporkan kejadian. Mereka berasumsi dengan sebuah kekhawatiran bahwa hal seperti ini adalah jebakan. Bisa saja sang pelapor justru akan mencelakakan, atau mungkin telah merencanakan kejahatan.

Dalam keadaan panik, sang ustaz berusaha mencari sebuah tanda yang ia tinggalkan. Tempat yang pertama ia tuju adalah sungai. Tempat terakhir mereka berpisah. Harusnya Pak Badrun ada di sana.

Sang ustaz lebih cepat sampai ke tepian sungai. Senter ia arahkan ke segala arah.

"Kemana Pak Badrun?"

Gumamnya pelan. Namun salah satu dari polisi itu mendengar.

"Siapa Pak Badrun?"

"Pak, saya meninggalkan rekan saya di sini. Kakinya terluka. Harusnya dia masih ada di sini."

"Tapi tak ada siapa-siap di sini. Apa temanmu memaksakan pergi? Atau mungkin..."

Polisi itu tak melanjutkan kalimatnya. Ucapannya hanya akan terasa menyakitkan. Terutama jika kejadian yang akan ia ucapkan menjadi kenyataan. Sang ustaz terdiam. Ia memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Pak Badrun.

"Tak ada tanda-tanda serangan hewan buas di sekitar sini."

Salah seorang anggota polisi lainnya memberi keterangan seraya tetap menyoroti beberapa tempat yang ia curigai. Ia seolah telah membantah apa yang sedang dipikirkan oleh rekannya.

"Jangan-jangan..."

Sang ustaz mengira bahwa Pak Badrun kembali ke dalam goa.

"Pak, ini gawat. Jangan-jangan teman saya kembali ke atas."

Tanpa menunggu para polisi itu bereaksi, sang ustaz telah lebih dulu bergerak. Para polisi tak ingin ketinggalan begitu saja. Mereka mengikuti. Untuk memastikan bahwa orang yang membawa mereka kemari adalah orang yang bertanggung jawab.

Beberapa tanda mampu sang ustaz ingat. Ia menelusuri jalan dengan cepat. Seolah lupa dengan tubuhnya yang telah lelah. Semangat pahlawan telah terlihat darinya.

Para polisi cukup kewalahan untuk mengikuti. Pakaian dinas yang mereka kenakan berada di tempat yang tak seharusnya. Terlebih alas kaki mereka tak cocok dengan keadaan jalan di tempat itu. Mereka berada di tempat itu semata-mata karena menjalankan kewajiban sebagai pelayan masyarakat. Tak ada waktu untuk memikirkan berganti pakaian dalam kondisi darurat.

Mulut mulai ternganga. Napas terasa sesak di dalam dada. Dari jarak beberapa meter, para polisi melihat cahaya. Keluar dari kegelapan. Sang ustaz sejenak menghentikan langkahnya. Dalam hati ia berdo'a, semoga Pak Badrun baik-baik saja.

"Apa temanmu ada di sana?"

Pertanyaan dari salah seorang polisi tak terjawab. Mata sang ustaz terbelalak. Dari pancaran cahaya dalam goa, muncul sebuah sosok, yang tergambar jelas dalam bayangan di tepiannya. Sosok itu perlahan mendekat.

Brugh.

Terdengar suara keras dari sesuatu yang terjatuh, bersamaan dengan menghilangnya sosok itu. Jantung sang ustaz berdetak kuat, hingga sesaat kemudian ia melompat. Para polisi mengikuti.

"Pak Badrun."

Benar dugaan sang ustaz, bahwa bayangan pada dinding goa adalah bayangan Pak Badrun.

Sayup mata Pak Badrun menangkap kilatan cahaya yang mulai mendekatinya, sebelum akhirnya, gelap telah menguasai sepenuhnya.

Sang ustaz kini mengerti. Pak Badrun kembali demi tanggung jawabnya pada apa yang dulu pernah ia perbuat. Dengan membawa Ki Saleh bersamanya, ia merasa bahwa hari ini bukanlah ia yang menjadi pahlawannya. Ki Saleh tak sadarkan diri. Telah terlalu banyak darah yang terbuang begitu saja. Namun beruntung, Ki Saleh masih ada di dunia. Walau kondisinya saat ini tengah membutuhkan perawatan dengan cepat.

"Pak, kita harus turun secepatnya."

Tak ada waktu untuk meratapi penderitaan dua orang yang tengah tak berdaya. Sedetik waktu akan terasa sangat berharga. Mereka akan turun secepatnya. Mereka juga tak peduli pada sosok di balik kegelapan dalam goa. Yang membiarkan mereka pergi. Atau mereka tak melihatnya, karena sosok itu tengah menyembunyikan diri.

"Baiklah. Kita bawa mereka bergantian."

Mereka tak memiliki pilihan lain untuk membawa dua orang yang tengah tak sadarkan diri secepatnya. Tanpa alat bantu, sebisa mungkin mereka membawa keduanya dengan menggendongnya bergantian.

Darah menempel pada pakaian dinas yang mereka kenakan. Namun mereka tak peduli. Pakaian bisa diganti, tapi nyawa manusia tak  bisa kembali jika telah terlanjur pergi.

Sang ustaz menoleh. Ia mengingat seseorang yang datang untuk ikut berjuang namun mungkin tak bisa pulang.

"Maafkan saya..."

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang