17. Terlambat.

510 40 2
                                    

Mata lelahnya menatap lurus ke seberang jalan. Secangkir kopi yang ia pesan seraya menunggu bus berangkat, telah mulai kehilangan kehangatan. Perjalanan kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa tenang yang biasa ia rasakan selama membantu orang lain pun kini tak mampu bertahan. Rasa gusar itu datang ketika ia baru saja melangkahkan kaki keluar dari rumah.

"Mau ke mana, pak?"

Sapaan wanita pemilik warung membuatnya menoleh, dan sejenak melupakan apa yang ia pikirkan.

"Eh, ini, bu, saya mau pergi ke kota, mau menjenguk saudara."

"Oh, jangan sering-sering melamun, pak, bahaya!"

Ia mengangguk, berterimakasih pada sang pemilik warung yang telah mengingatkannya. Ia tak sadar bahwa ia melamun telah cukup lama.

"Bu, ini uangnya, busnya sudah mau berangkat. Terimakasih."

Setelah berpamitan, ia langsung masuk ke dalam mobil yang mesinnya sudah mulai dinyalakan. Beberapa penumpang yang sejak tadi menunggu pun kini harus sama-sama mengantri masuk pada pintu depan serta belakang kendaraan tersebut.

Ia duduk di kursi penumpang yang hanya diperuntukan dua orang. Kursi disampingnya masih kosong, setidaknya untuk beberapa menit, karena tepat sebelum bus berangkat, seorang penumpang yang terlambat datang langsung masuk lalu duduk di kursi, dan satu-satunya kursi yang belum berpenghuni adalah kursi yang berada di samping ki Saleh.

Laki-laki itu menyapa, menunjukkan adab ke sesama penumpang yang sama-sama membutuhkan jasa dari kendaraan yang mereka naiki. Ki Saleh tersenyum membalas sapaannya, namun ia tak berniat untuk mengajak bicara. Ki Saleh ingin sendiri, ingin merasa sepi. Ia tak tertarik untuk memperhatikan apa yang ada disekelilingnya saat ini.

"Apa ini yang kamu rasakan dulu? Seandainya aku tau waktu itu kamu menghadapi lawan berat, aku pasti akan membantumu. Sekarang giliran ku. Apa aku akan bernasib sepertimu? Ah, semoga saja tidak, tapi kalaupun harus bernasib sama, setidaknya saya harus memastikan lebih dulu orang yang saya tolong bisa benar-benar tertolong, baru saya akan bisa pergi dengan tenang."

Ki Saleh membatin. Semakin dipikirkan, keraguan itu semakin menjadi. Hanya sebuah tekad kuat yang mampu membuatnya bertahan nanti, setidaknya ia akan melakukan perlawanan sampai mati.

Perjalanan begitu tenang. Sepertinya para penumpang lebih ingin menghemat energi dalam perjalanan, karena mereka sadar bahwa perjalanan ini memakan waktu yang tak sebentar.

Bus melaju dengan kecepatan konstan. Sang supir berusaha membuat penumpang merasa nyaman, hingga akhirnya berhenti pada pintu tol yang menghubungkan beberapa kota dengan jalan bebas hambatan. Jalan ini akan memangkas waktu perjalanan sehingga bisa menjadi lebih cepat ke tempat yang menjadi tujuan.

Setelah berada di jalan tol, bus menutup semua pintu masuk. Peraturan bagi pengguna jalan mengharuskan seperti itu. Tak terkecuali mobil dengan membawa banyak penumpang.

Tanpa sadar, sesuatu mulai menyerang ki Saleh. Sesuatu itu menyerang tiba-tiba dan ia tak mampu menahannya. Mulutnya mulai terbuka. Ki Saleh berusaha menutupnya dengan tangan. Ia masih sadar akan rasa sopan. Serangan itu berlanjut hingga menyerang mata. Ki Saleh tak berdaya. Segelas kopi yang ia minum ketika berada di warung tadi tak mampu membantunya untuk tetap terjaga. Ia mengalah dan memilih untuk menurutinya. Ia tertidur dengan cepat, hanya dalam sekejap mata.

****

Laras ditemani seorang laki-laki mencari Gia ke segala arah. Mereka berteriak memanggil namanya, berharap sang pemilik nama mendengar teriakan itu. Laras tak memutuskan kembali, selepas ia tak melihat Gia dalam jangkauan pandangannya. Ia panik, namun bertanggung jawab dengan berusaha mencari. Laki-laki yang sempat bersama Gia pun tak mengerti, bagaimana bisa ia kehilangan Gia begitu saja, bahkan hanya dalam sekejap mata.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang