45. Kesempatan Berbeda

158 21 0
                                    

Tubuhnya sekarat, bergetar hebat. Ares bergerak tak terkendali, terlempar ke berbagai arah tak pasti. Lantai goa beralas bebatuan serta tanah menjadi saksi hari akhirnya sebagai manusia. Tak ada jerit suara, sebagai tanda betapa menyedihkannya ia. Urat di leher mengejang. Bola mata terbalik. Sakit luar biasa sedang ia rasakan. Hingga sesaat kemudian, rasa tersiksa itu berhenti seketika.

Seluruh tubuh kaku. Ares telah sepenuhnya hilang kesadaran. Namun tanpa perintah dari diri sendiri, ia bangkit. Perlahan hingga ia berdiri dengan cara tak masuk akal.

"Selamat datang! Akhirnya, kau telah kembali."

Sosok bermata merah menoleh. Melupakan Ki Saleh terkapar bermandikan darah. Ada sebuah senyum diwajahnya. Ia begitu menyambut apa yang selama ini ia tunggu.

Ares menatapnya, namun tatapan itu sangat berbeda.

****

Lagi, sang ustaz menghentikan langkah. Pak Badrun mulai kehabisan rasa sabar. Curiga dan kesal, sudah saatnya ia tumpahkan.

"Kenapa dari tadi kita sering berhenti? Jawab aku, atau kau menyembunyikan sesuatu?"

Sang ustaz menoleh. Gelapnya suasana sekitar menyamarkan ekspresinya. Senter kecil dalam genggaman justru sang ustaz arahkan pada Pak Badrun dan juga Gia. Silau membuat mata Pak Badrun tak bisa melihat dengan jelas.

"Hey, apa-apaan ini?"

Pak Badrun semakin geram oleh tingkah sang ustaz.

"Eh, maaf, Pak. Saya sedang tak fokus."

"Maksudmu?"

Mendapat jawaban, Pak Badrun justru tak mengerti.

"Saya sedang mencari tanda yang sempat saya buat tadi."

"Tanda? Tanda apa?"

"Tanda sebagai petunjuk jalan pulang, Pak."

"Ketemu?"

Pak Badrun mulai mencoba untuk mengerti. Sang ustaz menggeleng.

"Karena kita tak pulang melalui jalan yang sama. Saya sedang berusaha mencari tanda itu, yang mungkin saja kita lewati tanpa sengaja."

Pak Badrun terdiam. Ia menyadari kesalahannya.

"Maaf," ucapnya, lirih.

Sang ustaz mengangguk. Entah Pak Badrun melihatnya atau tidak, namun dalam hati, sang ustaz menganggap kesalah pahaman di antara mereka telah selesai.

Sang ustaz kembali mencari. Tempat yang mereka lalui begitu berbeda, namun sang ustaz pun tak yakin jika ia mengingat jalan yang mereka lalui ketika berangkat sebelumnya. Ia berpikir, mereka datang dengan membuka jalan, jadi cukup mustahil bahwa jalan yang baru dibuka itu meninggalkan jejak.

****

Ki Saleh masih terkapar, namun malaikat maut tak jua menjemput. Kesadaran masih tetap bertahan. Dalam remang cahaya dalam goa, ia masih sanggup memperhatikan. Sosok itu tengah berdiri berhadap-hadapan. Ki Saleh tersenyum.

Ares menoleh. Menatap jasad tak berdaya. Wajahnya masih datar, namun kenangan dalam ingatan memicu kemarahan. Ia tengah berada dalam sebuah tempat. Melihat sesuatu dari jasad yang tak bisa ia kendalikan oleh pikiran.

"Apa memang sudah berakhir?"
Hatinya bergejolak. Terus menolak untuk tunduk.

****

Sang ustaz kembali berhenti. Kali ini Pak Badrun telah mengerti.

"Apa kalian mendengar sesuatu?"

Mereka terdiam. Seketika fokus pada apa yang mereka dengar. Suara hewan dan serangga mendominasi memecah hening malam. Beberapa saat mereka melakukannya, namun tak menemukan tanda bahaya.

Sang ustaz mengarahkan senter ke sekeliling. Berusaha untuk mencari celah dalam semak belukar yang mungkin bisa membawa mereka pada tempat sebelumnya.

"Memangnya Pak Ustaz denger apa?"

Gia berbisik. Suaranya begitu pelan hingga sang ustaz tak terlalu jelas mendengarnya. Gia menyentuh pundak sang ustaz yang sedang berdiri membelakanginya. Sang ustaz menoleh.

"Memangnya Pak Ustaz denger apa?"

Gia mengulangi pertanyaannya.

"Saya mendengar suara gemericik air. Apa kamu mendengarnya?"

Gia tak menjawab. Ia kembali fokus pada apa yang ia dengar. Namun kali ini, otaknya telah diberi petunjuk bahwa ia harus mencari suara air di sekitar mereka.

"Ya, Pak. Saya denger. Tapi kenapa kita harus ke sungai?"

Gia tak mengerti, dan sepertinya Pak Badrun pun sama.

"Pak Badrun ingat, ketika berangkat pagi tadi kita sempat ke sungai lebih dulu?"

"Ya, saya ingat, tapi kenapa kita harus kembali ke sana?"

"Saya meninggalkan petunjuk di dekat sungai, kalau kita bisa menemukan petunjuk itu, kita akan bisa pulang dengan cepat."

Pak Badrun mulai mengerti. Bahkan ia antusias untuk segera mencari tempat yang dimaksud.

"Baiklah, kalau begitu kita harus cepat!"

Melangkah dengan pasti, namun tetap berhati-hati. Jalan menurun yang mereka lewati tak bisa dengan mudah dipijak. Apalagi dengan situasi sekitar yang semakin gelap. Mengandalkan indera pendengaran, sang ustaz menuntun mereka ke jalan yang pilih, atau setidaknya yang ia rasa bisa lalui. Sayangnya sang ustaz terlalu terburu-buru, hingga ia lupa bahwa bahaya bisa datang kapan saja.

"Aaahh."

Suara jerit tertahan terdengar dari belakang sang ustaz. Ia berhenti, menoleh serta mengarahkan senter ke arah jerit suara.

****

"Sebagai penghormatan, aku akan membiarkanmu hidup."

Sosok itu menatap Ki Saleh. Tak ada rasa iba. Bahkan dalam kata yang terucap, semua hanyalah ejekan semata.

"Setidaknya sampai kau mati dengan sendirinya. Kurasa, tak perlu menunggu lebih lama."

Ki Saleh tak berdaya. Untuk tersinggung dengan kata-kata itu pun ia sudah tak bisa. Ia pasrah. Menghadapi seorang dari sosok itu saja ia hampir menjemput ajalnya, apalagi sosok itu kini tak sendiri seperti sebelumnya.

"Mungkin berakhir tak sama dengan apa ditebak, namun anak itu memang berbeda."

Sosok bermata merah tersenyum. Ia mengerti, bahwa yang dimaksud Ki Saleh adalah Ares atau yang memiliki nama asli, Restu.

"Aku telah menciptakannya. Dari rahim manusia yang tak tau terimakasih. Untuk itu, aku telah membunuh mereka semua. Beruntungnya ada seorang wanita bodoh yang mau merawatnya. Beberapa kali aku datang untuk berkunjung, hingga saat terakhir aku harus membunuhnya. Bahkan kulenyapkan hingga habis tak tersisa. Setelah kau mati, gadis itu akan kubawa kembali."

Perlahan, sosok itu memudar. Ia akan segera meninggalkan Ki Saleh bersama malaikat maut yang kini berada di sampingnya. Namu kepuasannya hilang seketika. Sesuatu telah menahan kepergiannya. Bahkan wujudnya telah kembali nyata.

"Apa-apaan ini?"

****

Sang ustaz menghampiri. Pak Badrun tersandung. Wajahnya terjerembab akibat akar pohon menyembul menghalangi langkahnya. Gia berusaha membantu sang ayah untuk berdiri, namun tenaganya tak cupuk kuat. Gia kecewa saat ia sadar bahwa ia tak berguna. Rasa khawatir tak bisa membuatnya banyak berkata.

"Pak Badrun baik-baik saja?"

Pak Badrun meringis. Menahan nyeri pada pergelangan kaki.

"Ya, saya baik-baik saja! Lebih baik kita lanjutkan kembali." Ujarnya, seraya menahan nyeri luar biasa.

Pak Badrun tertatih. Giginya beradu, tak ingin keluar suara mengaduh. Ia masih memiliki harapan untuk melihat sang putri lebih lama. Atau mungkin hanya memastikannya bisa kembali seutuhnya.

Pak Badrun berjalan dipapah oleh sang ustaz. Gia berjalan di depan, membawa senter dan mengarahkan jalan, sesuai dengan apa yang diinstruksikan sang ustaz.

Tak butuh waktu lama, mereka telah menemukannya. Pak Badrun langsung menenggelamkan kakinya pada tepian sungai. Ia berharap, rasa dingin dapat membekukan rasa sakitnya.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang