15. Tak Sesuai

455 39 8
                                    

Dalam perjalanan pulang, tatapan kosong selalu mengiringi perjalanan kembali dari pencariannya yang harus berakhir dengan masalah baru. Pak Badrun merasakan sesuatu yang tak enak. Sejak kemarin malam, ia sama sekali tak bisa tidur nyenyak. Semakin lama, masalah yang dihadapinya semakin berlarut dan menuntut untuk diselesaikan secepatnya. Tubuh renta nya mulai terasa lelah. Ia butuh istirahat, atau setidaknya menyerah. Pak Badrun berpikir bahwa semua usahanya sia-sia. Sang ustaz tetap mengawasi pak Badrun. Ia tak mengira akan merasakan kesulitan kali ini. Dalam pengalamannya, ia belum pernah sekalipun mendapati kesulitan berarti ketika menolong orang lain. Seringnya, ia selalu dipermudah dalam menyelesaikan suatu masalah. Sempat berpikir untuk menyerah dan mengembalikan semua masalah pada pemiliknya, namun ia tak bisa begitu saja untuk mengajukan diri terlibat lalu meninggalkan langkah selanjutnya. Tak ada waktu untuk sekadar memikirkan jalan kembali. Yang saat ini dibutuhkan adalah solusi, dan solusi takkan datang sendiri, ia harus dicari dengan hati-hati.

Perjalanan kali ini tak menemukan hambatan berarti. Jauh berbeda dengan perjalanan ketika berangkat. Satu-satunya kesan buruk sebelum pulang kembali hanyalah kejadian pagi tadi. Ki Saleh menunjukkan sesuatu yang membuat mereka takkan mudah untuk melupakannya. Ia mengajak mereka jalan-jalan dan memberikan kenangan untuk sebuah alasan. Mereka berdua tak menyangka bahwa alamat yang mereka cari di hari kemarin adalah tempat pemakaman.

Tadi pagi.

Selepas subuh. Pak Badrun, Ustaz dan Ki Saleh tak langsung pulang ke rumah setelah selesai berjamaah di mushala. Ki Saleh mengajak keduanya untuk mengunjungi tempat yang tertera pada alamat yang mereka miliki. Jaraknya cukup jauh, namun lagi-lagi ki Saleh mengajak mereka ke sana hanya dengan berjalan kaki. Letak dari tempat yang akan mereka tuju rupanya berada di pinggiran hutan yang hanya memiliki satu akses jalur sedikit berlumpur akibat hujan yang sebenarnya tak terlalu rutin turun.

Pak Badrun menatap kegelapan didepannya. Ia belum menyadari apa yang saat ini berada tepat di depannya. Pandangannya masih fokus menatap apa yang berada di balik kegelapan.

"Dulu, saya tinggal di sini."

Mendengar kalimat itu, pak Badrun menoleh ke sumber suara. Jantungnya nyaris saja copot dan melompat keluar. Fajar yang mulai menyingsing menerobos menembus sela kegelapan. Menunjukkan sebuah fakta bahwa kematin mereka mencari tempat yang salah.

Pak Bdarun menoleh. Ustaz itu mengangguk. Ia tak kaget. Sejak awal ia melihat banyaknya batu nisan berserakan, menyambut langkah gemetar darinya.

"Pantas saja mereka tak mau mengantar kita ke sini. Mungkin mereka mengira bahwa kita bukan manusia, atau mungkin juga mengira bahwa kita ke sini akan melakukan perbuatan tersesat. Ki Saleh tersenyum.

"Kira-kira seperti itu. Sebab masyarakat sekitar sini tau bahwa area ini telah berubah jadi tempat pemakaman umum."

Mereka pergi meninggalkan tempat itu ketika matahari semakin bergerak meninggi.

"Kejadiannya sudah cukup lama. Ada sebuah alasan untuk saya memilih menghibahkan rumah dan kebun saya menjadi area pemakaman umum."

"Kejadian apa itu, ki?"

"Maaf, saya tidak bisa bercerita. Itu kejadian mengerikan. Tak baik rasanya jika dibahas."

Hangatnya mentari pagi mengiringi langkah demi langkah mereka kembali menuju kediaman ki Saleh. Setelah sarapan, mereka berdua pamit untuk pulang dengan hanya membawa sebuah harapana yang pak Badrun harap akan memberi sebuah solusi atau jawaban atas kejadian yang menimpa keluarganya.

****

"Di mana ini?"

"Gi, kamu udah sadar, syukurlah."

Laras memeluk sahabatnya yang baru saja tersadar dari pingsannya. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit, juga terasa sedikit perih.

"Ini di mana, Ras?"

"Kamu ada di rumah sakit, Gi. Kamu jatuh. Untung ada yang langsung turun buat nolong kamu."

"Siapa yang udah nolong aku, Ras?"

"Tuh."

Laras tersenyum seraya menunjuk seseorang. Orang itu menghampiri. Gia seperti mengenal pakaian yang dikenakan olehnya.

"Kamu, kan?"

Orang itu membuka identitas yang selama ini ia tutupi.

"Iya, Gi. Ini aku."

Ia berusaha tersenyum tulus. Ia memang telah menolong Gia saat ini, namun ia ragu bahwa apa yang telah ia lakukan bisa membantu menghapus masa lalu. Beberapa saat ia menunggu reaksi Gia yang tak seperti apa yang ia harapkan. Jangankan untuk memaafkan, berterima kasih saja Gia tak mau.

"Ya udah, Gi, Ras, aku ke penginapan duluan, ya."

Ia pergi membawa rasa kecewa karena usahnya selama ini menjadi sia-sia. Ia sadar, mungkin luka itu terlalu dalam hingga tak mudah terobati begitu saja, karena obat sesungguhnya tak mampu ia berikan jika Gia tak memberi kesempatan.

Langkahnya terhenti. Setitik harapan kembali.

"Makasih, kamu udah nyelametin aku."

Ia menoleh, lalu mendapati senyum itu telah kembali.

"Gak apa-apa, Gi."

Ia tersenyum membalas senyum yang baru saja ia lihat kembali. Terakhir ia melihat itu, sudaah sejak beberapa waktu yang lalu.

Ia melanjutkan langkah. Bahagia atas usahanya yang tak berakhir sia-sia.

Setelah Gia melepas kepergiannya, orang berbeda masuk dari pintu yang sama. Satu orang berpakaian putih, satu lagi dengan pakaian santai, dan seorang lagi orang yang tak asing baginya. Mereka semua tersenyum, dua orang tersenyum senang, sedangkan satunya lagi tersenyum canggung.

"Karena kamu sudah bangun, mari kira periksa lagi, buat memastikan bahwa kamu baik-baik saja."

Dokter itu dengan sigap langsung menyuruh Gia untuk kembali berbaring, agar segera dilakukan pemeriksaan tahap akhir untuk memastikan bahwa kondisi Gia baik-baik saja. Wali kelas dan satu orang asing itu memperhatikan.

"Sepertinya baik-baik saja, gak ada masalah serius, cuma beberapa luka ringan."

Semua lega, termasuk orang asing yang saat ini ada bersama mereka.

"Kalau begitu saya tinggal dulu, ya."

Dokter itu berlalu pergi, meninggalkan Gia bersama teman, wali kelas beserta orang asing yang sejak tadi belum memperkenalkan diri.

"Syukurlah, Gi. Ibu khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Tanggung jawab ibu sangat besar sekali untuk bisa memastikan kalian pulang dengan selamat."

Gia tersenyum, merasa tak enak atas apa yang telah ia lakukan.

"Maaf, bu, aku udah ngerepotin banyak orang."

"Ah, tidak, seharusnya saya yang minta maaf, saya yang membuat kamu jadi seperti ini. Saya tidak sengaja mendorong kamu. Mohon maafkan saya. Sebagai bentuk tanggung jawab dan permintaan maaf, saya akan menanggung semua biaya rumah sakit ini."

Gia tersenyum, ia sama sekali tak merasa dirugikan oleh kejadian itu. Baginya, ini hanya sebuah takdir.

"Gak apa-apa, pak, ini cuma kecelakaan."

"Iya, tapi saya tetap merasa bersalah."

Laki-laki itu maju, lalu kemudian membuka tas kecil yang dibawanya dan mengambil sesuatu dari dalam tas itu.

"Jumlahnya tidak seberapa, tapi tolong terima ini. Ini untuk biaya pemulihan kamu selama sakit."

Gia tercengang, namun ia tak sendiri karena Laras dan wali kelasnya pun berreaksi sama. Gia menolak, ia merasa itu semua berlebihan. Laki-laki itu tetap memaksanya untuk menerima amplom cokelat berisi sejumlah uang yang ia beri.

"Kalau kamu tidak menerimanya, saya akan merasa sangat bersalah sekali, jadi mohon terima ini."

Dengan berat hati, Gia menerima uang pemberian itu.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang