22. Masalah Pertama

454 41 2
                                    

Dua orang aparat saling menatap satu sama lain. Di tempat itu, anjing pelacak yang mereka bawa menunjukkan keanehan. Salah satu dari mereka berusaha menenangkannya, namun anjing itu masih tetap menunjukkan keanehannya. Salah satu dari mereka mengambil gawai, kemudian merekam kejadian aneh tersebut, sebagai bukti bahwa di tempat ini terdapat sesuatu yang ganjil. Para aparat memang tak diperkenankan menyelidiki sesuatu di luar nalar, namun sebagai hamba yang taat beragama, mereka percaya bahwa di dunia tak hanya dihuni oleh manusia. Anjing itu masih tetap mengelilingi salah satu pohon besar yang berada di tengah hutan tempat di mana Gia dinyatakan menghilang. Ia masih mengendus bau dari batang hingga akar pohon tersebut, seraya sesekali menggonggong seolah ingin memberitahu sesuatu, namun mereka tak bisa mengambil kesimpulan begitu saja tanpa bukti yang lebih akurat. Mereka hanya menandai tempat itu sebagai salah satu tempat yang perlu diselidiki lebih lanjut.

Mereka menarik paksa anjing pelacak itu untuk pergi, namun anjing itu melakukan perlawanan. Anjing itu menolak untuk pergi dari sana. Bahkan anjing itu beberapa kali menggonggong setelah ia ditarik paksa untuk segera pergi.

Rasa takut menyeruak. Mereka memang terlatih dan profesional, namun mereka menyadari bahwa yang kali ini mereka selidiki bukanlah sesuatu yang wajar.

Di tempat anjing itu berperilaku aneh, mereka telah menyelidiki secara singkat. Mulai dari tanah, pohon, semak, serta dedaunan yang berserakan, namun hasilnya mereka tak menemukan apapun yang mencurigakan.

Pencarian berlangsung selama beberapa jam, namun tak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan hasil, bahkan hanya untuk sebuah petunjuk. Sesuai instruksi, mereka kembali ke tempat yang menjadi titik berkumpulnya para anggota polisi terlatih itu, dan tempat yang menjadi titik berkumpulnya mereka adalah, lahan kecil di dekat pos keamanan penginapan. Masing-masing tim memberikan laporan, namun semua kesimpulan berakhir nihil. Hanya ada satu tim yang memberikan laporan cukup panjang disertai keganjilan tak beralasan. Sepakat dengan hasil nihil, pencarian akan dilanjutkan kembali esok hari, dengan terlebih dulu berkoordinasi dengan keluarga korban.

****

Ares bergerak. Hati kecilnya memaksa untuk menolong gadis itu. Ia tak tega melihatnya mengerang tersiksa menahan rasa sakit. Ki Saleh mencegah. Ia melarang Ares untuk maju. Ares mengerti, walau terpaksa ia lakukan dengan berat hati.

"Belum saatnya."

Ares kembali mundur. Wanita itu menangis. Tangisnya pilu, namun ia tak menangis untuk dirinya sendiri. Sesuatu itu telah memaksanya.

"Tolong..."

Ia ingin menjerit, melepaskan apa yang membuatnya tak bisa mengendalikan diri, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia masih menangis, memohon sebuah pengampunan dari musuh yang sadar tak bisa ia lawan.

"Keluarlah, jangan siksa gadis tak berdosa itu, urusanmu di dunia telah selesai."

Mendengar kalimat itu, seketika tangisnya berhenti. Matanya mulai menatap kembali dengan benci, menunjukkan bahwa ia akan tetap melakukan perlawanan, demi sebuah cinta yang masih ingin ia raih. Ia telah termakan hasutan iblis untuk bertahan dengan dosa di dunia.

Gadis itu berdiri. Tangannya mulai bersiap kembali melakukan penyerangan. Ki Saleh masih tetap berdiri menantang. Ini adalah kesempatan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

"Kau, jangan ikut campur urusanku!"

Ki Saleh merasakan amarah dari lawannya yang semakin menjadi. Energi negatif yang ia rasakan cukup membuatnya khawatir. Bukan khawatir pada diri sendiri, namun khawatir pada gadis yang ia rasuki.

"Nak, kali ini kau harus bersiap. Kita tidak punya pilihan lain. Kita akan menangkapnya. Kerahkan semua tenaga yang kau miliki."

Setan dalam wujud Sabrina maju. Ki Saleh siap menerima serangan, sedangkan Ares bersiap menunggu aba-aba yang ki Saleh akan berikan.

Tanpa peduli dengan luka yang dirasakan Sabrina, setan itu memaksakan tubuhnya untuk kembali menyerang. Ki Saleh menghindar cakaran dari setan tersebut. Kali ini ia menyerang membabi buta. Beberapa kali, ki Saleh hampir saja terkena serangan itu. Benteng tak kasat mata telah sengaja ia hilangkan, karena tujuannya kali ini akan menangkap gadis itu untuk segera mengeluarkan setan yang merasukinya.

Setan itu kian murka. Mendapati serangannya tak bisa sekalipun melukai musuh yang ia hadapi. Matanya mulai menoleh, pada seseorang yang sejak tadi berada di dekat ki Saleh.

Setan itu tersenyum. Sadar akan kekuatan yang dihadapi, pada akhirnya ia memilih musuh yang paling lemah. Ki Saleh menyadari perubahan target serangannya. Sebisa mungkin ia akan melindungi Ares serta segera menangkapnya. Satu cakaran hampir mengenai wajah Ares, namun tangan tua itu menghentikannya. Sang setan merasakan tangannya seperti terbakar, sampai pada akhirnya ia kembali menangis. Sadar akan sebuah tipuan, ki Saleh tak berreaksi, namun ia mengendurkan cengkeraman tangannya. Ia khawatir akan melukai gadis tak berdosa itu. Pada akhirnya, ki Saleh harus mundur. Ia memegangi dadanya yang diserang oleh tendangan dari sang lawan. Setan itu tersenyum. Ia puas melihat lawannya mulai menunjukkan kelemahan.

"Ki..."

Ares khawatir. Ia mendekati ki Saleh yang masih memegangi dadanya.

"Aku tidak apa-apa. Mundurlah."

Ki Saleh menahan Ares untuk tak mendekatinya. Menghadapi musuh seraya melindungi orang lain bukanlah perkara mudah.

Setan itu kembali bersiap. Target serangannya tak berubah. Ares akan menjadi sasaran empuk kali ini.

"Kau tak bisa ku miliki, untuk itu akan ku bawa kau sampai mati."

Ki Saleh melesat. Seketika ia sudah berdiri di hadapan Ares, lalu menghalau serangan itu. Ares mundur, namun kali ini ia tak tinggal diam. Ia berlari ke arah berlawanan dengan ki Saleh, hingga posisi sang setan berada diantara mereka berdua.

Merasa posisinya terkepung. Ia menjadi waspada. Ares bersiap menyergap, namun setan itu menoleh ke arahnya. Ki Saleh melakukan hal yang sama, dan setan itu pun melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.

Melihat sebuah celah kecil, Ares menyergap dari belakang. Ia berhasil mengenai Sabrina dengan mudah, namun dengan mudah juga ia dibanting olehnya. Ares berusaha kembali bangkit, namun kedua tangan Sabrina telah lebih dulu menyentuh lehernya. Ares tercekik, hingga ia sepenuhnya tak bisa bernapas. Melihat kesempatan kembali datang, ki Saleh memegang kepala Sabrina dari belakang. Telapak tangan kanannya ia letakkan tepat di dahi Sabrina. Kedua tangan yang menjerat leher Ares terlepas. Untuk sesaat, Ares meresapi rasa sakit itu, namun tak ingin membuang waktu, ia meraih kedua tangan Sabrina yang akan menyerang ki Saleh yang saat ini sedang berusaha mengeluarkan setan dalam tubuhnya. Sabrina berteriak. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ares, namun kekuatannya telah mulai pudar. Ki Saleh terus berusaha mengeluarkan setan itu dari dalam diri Sabrina. Sekujur tubuhnya basah bercampur tanah basah saat ia harus terkapar oleh serangan Sabrina secara tiba-tiba. Sabrina mulai kembali menangis, namun kali ini suara itu berasal dari dirinya sendiri. Sesaat kemudian, ia kembali tertawa. Setan itu belum sepenuhnya keluar, ia tetap berusaha bertahan, hingga pada akhirnya.

"Aaaaaaaaahhhhhhhh...."

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang