11. Menata Rasa

518 43 5
                                    

Ia datang, menuntut sebuah keadilan. Hadir dengan amarah membawa pembalasan. Langkahnya tak menapak meninggalkan jejak. Ia melayang menembus setiap ruangan, hanya untuk mencari sosok laki-laki pengecut yang membuatnya mati penasaran.

Hantu berpakaian putih berlumur darah dari lubang di punggung itu terus mencari. Laki-laki yang menjadi sasarannya tetap bersembunyi. Ia telah kalah. Bala bantuan yang ia siapkan tak mampu untuk sekadar melawan, apalagi menyingkirkan. Untuk sementara ia merasa aman. Di balik tembok gelap ruangan yang tak seorangpun pernah mengetahuinya. Pertahanan terakhir itu ia ciptakan untuk bersembunyi dari lawan-lawannya, ketika ia telah kalah dalam berperang. Tak terpikir bahwa ia akan melakukannya untuk menghindar dari arwah penasaran. Bisnis ilegal yang ia jalankan sangat beresiko. Ia perlu meningkatkan keamanan serta kewaspadaan. Sayangnya strategi itu tak mempan untuk sang setan. Ia tersenyum, begitu mudahnya masuk menembus dinding pertahanan. Seperti telah menemukan kesenangan, ia mulai bermain. Permainan yang ia siapkan demi memenuhi hasrat pembalasan.

"Kau takkan bisa lari! "

Setan itu menyeringai. Dari mulutnya, darah merah keluar begitu saja. Wajahnya yang rusak dan telah membusuk membuat laki-laki dihadapannya tak nyaman untuk bernapas.

"Tolong, lepaskan aku! Maaf, aku khilaf."

Laki-laki itu mengiba. Ia mengharap pengampunan. Perbuatannya yang tanpa mengenal rasa belas kasihan harus dipertanggung jawabkan.

Setan itu diam. Ia marah dengan sikap pecundang dari orang terakhir yang ingin ia habisi. Ingatannya masih jelas merekam kejadian terakhir sebelum ia menjadi seperti saat ini. Saat itu, tak ada sedikitpun rasa iba dari laki-laki itu, dan kini ia akan mendapatkan hal yang sama sebagai balasan.

Sebuah lubang di kepala sang setan menjadi bukti bahwa ia tak tinggal diam. Perlawanan sia-sia yang ia lakukan seperti sebuah lelucon dihadapan makhluk yang tak memiliki jasad nyata itu.

Darah mengalir dari lubang yang tertembus peluru. Namun rasa takut laki-laki itu justru semakin menjadi. Ia sadar, bahwa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan.

Setan itu terdiam. Entah ia sedang meresapi rasa sakit atau bingung dengan apa yang telah dilakukan oleh laki-laki dihadapannya. Sesaat kemudian, ia tersenyum.

"Hihihihihi."

Laki-laki itu lari. Ia berusaha keluar dari satu-satunya pintu pada ruangan itu. Sekuat tenaga ia berusaha untuk pergi dari sana. Ia sadar, bahwa mati bukan menjadi pilihan yang bagus untuk saat ini. Surga dunia yang berusaha ia rengkuh lewat jalan kotornya, masih menjadi ambisi.

Setan itu mengikuti. Laki-laki itu beberapa kali menengok. Ia memastikan bahwa setan itu tak mengejarnya lagi. Ia berhenti, di atas sebuah gedung yang selama ini menjadi tempat persembunyian sekaligus menjadi tempatnya mengendalikan bisnis kotor yang ia jalani. Sial baginya, ia telah salah memilih jalan keluar. Atap gedung bukanlah pilihan bagus. Terbukti karena saat ini ia tak bisa lagi untuk menghindar. Setan itu sengaja mempermainkannya. Ia mengikutinya dengan pelan, bahkan hingga laki-laki itu terjebak di sana. Ia tak ingin kehilangan kenikmatan membalas dendam. Ia ingin memastikan bahwa ia bisa tertawa melihat orang yang dibencinya menderita, bahkan hingga ajalnya tiba.

Laki-laki itu panik. Napasnya kian memburu menandakan rasa takut luar biasa menggebu. Ia tak sadar tengah berdiri pada tepian gedung berpembatas dinding setinggi lutut. Dari pintu masuk tempat sebelumnya ia keluar. Pintu itu perlahan terbuka. Ia menatap heran. Pintu itu terbuka dengan sendirinya, padahal sebelumnya ia yakin telah menguncinya, namun ia tak terlalu kaget karena yang ia hadapi saat ini bukanlah sosok dari dunia nyata. Perlahan tapi pasti pintu itu terbuka hingga sepenuhnya menampakkan sesuatu yang ada dibaliknya. Matanya menatap sesuatu di sana, yang membuatnya takut, namun juga heran. Tak ada sesuatu di sana, ia tak melihat apa-apa. Ia belum merasa lega serta masih tetap waspada. Ia mencari sosok mengerikan itu ke sembarang arah, namun sosok itu hilang begitu saja. Ia mulai bisa mengatur napas, tubuhnya terasa lemas. Perlahan rasa takut itu hilang, berganti lega hingga ia benar-benar mampu menghirup udara bebas. Setelah merasa yakin, ia berjalan menjauh dari tempat di mana ia berdiri saat ini. Tempat itu berbahaya. Ia bisa saja jatuh terhempas angin kencang yang bisa seketika melemparnya ke bawah. Belum selangkah ia menjauhi tempat itu, bulu halus di belakang lehernya mulai meremang. Jantungnya berdetak cepat seketika, tak seirama dengan langkahnya yang justru terhenti. Ia menoleh, merasa sesuatu telah ada dibelakangnya. Rasa takut kembali menyerang. Hal yang seharusnya mudah tiba-tiba menjadi sulit dilakukan. Dengan sedikit keberanian serta banyaknya rasa takut, ia memberanikan diri menoleh.

Deg.

Ia tak mendapati sesuatu yang mengerikan dibelakangnya. Ia kembali bisa bernapas lega dan melanjutkan niatnya untuk pergi dari sana.

"KAU HARUS MATI!"

Ia terlempar oleh rasa takutnya sendiri, tepat sesaat setelah menoleh ke depan dan mendapati ajal telah menanti.

SEKIAN

Film telah selesai diputar. Sabrina begitu menikmatinya. Ia sama sekali tak terlalu peduli dengan film yang baru saja selesai ia saksikan, yang penting baginya saat ini, rencananya telah berhasil.

Duras film yang panjang membuatnya memiliki waktu yang cukup untuk bermanja ria bersama Ares, walau ia sadar bahwa Ares tak menikmati kebersamaan mereka.

Satu persatu dari mereka keluar dari ruangan itu. Film selanjutnya akan dimuli sesaat lagi. Senyum dari wajah manis Sabrina tak pernah lepas dari sana, begitu juga dengan tangannya yang terus saja melingkar pada lengan Ares.

"Res, habis ini kita mau ke mana?"

"Terserah, tapi aku mau ke belakang dulu."

Mereka berpisah. Ares menuju toilet tak jauh dari pintu keluar bioskop, sementara Sabrina menunggu seraya memikirkan rencana selanjutnya. Ia sama sekali tak pernah mengira akan pergi dengan Ares dalam waktu yang cukup lama. Sepertinya saat ini ia sedang beruntung.

Sabrina melihat sekeliling tempat di mana ia berdiri saat ini. Hari ini, tempat itu cukup ramai dikunjungi. Beberapa orang lalu lalang keluar masuk dari pintu swalayan yang tak jauh dari tempat bioskop itu. Jiwa alami seorang perempuannya tergerak. Sabrina tersenyum. Ia telah menemukan cara agar bisa melanjutkan kebersamaannya dengan Ares.

"Yuk."

Tanpa diduga, Ares telah berdiri disampingnya. Sabrina tak sadar bahwa Ares melihatnya sejak tadi.

"Eh, yuk ... Res, kalau kita ke sana dulu, gimana?"

Sabrina menunjuk tempat yang ia maksud. Ares melihatnya, serta mempertimbangkannya untuk sesaat.

"Boleh."

Rencana Sabrina berhasil. Ia langsung mengajak Ares ke sana. Sabrina tak memiliki daftar keinginan untuk dibeli, namun ia akan membeli sesuatu sebagai alasan, dan mencari sesuatu dalam waktu yang lama agar mereka bisa tetap berdua.

Sebelum masuk, Ares merasa seperti sedang diperhatikan oleh seseorang. Ia menoleh, namun tak mendapati siapa-siapa. Dibalik dinding kaca pembatas antara swalayan dan tempatnya berdiri. Ia hanya melihat seseorang dengan seragam sekolah sedang berdiri. Wajahnya ditutupi oleh pakaian yang sepertinya akan ia beli. Ares kembali menoleh.

"Bukan, mana mungkin orang seperti dia ada di tempat seperti ini," gumamnya dalam hati.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang