28. Masih Masa Lalu

243 27 0
                                    

"Tolong, jangan ganggu saya, pergi!"

Marni lari tunggang langgang. Perih di kaki tak lagi ia pedulikan. Duri serta tajamnya ranting serta akar pohon secara kejam menghujam.

"Hahahahaha kau takkan bisa lari!"

Suara itu menggema tanpa terlihat jelas wujudnya mendekat. Wujud gelap tinggi berbulu lebat, samar dilihat Marni dari kejauhan. Sesekali ia menoleh untuk memastikan peluang selamat semakin besar. Ia tersenyum kecil, ketika makhluk itu tak lagi mendekat.

Marni seketika terpental. Tubuhnya menabrak sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya. Marni merasakan bulu kasar ketika ia menabrak makhluk itu. Makhluk itu menyeringai. Mata merahnya kian terlihat jelas menyala. Dalam sekejap mata, tangannya yang berukuran besar menangkap Marni. Ia menggenggamnya, tenaganya yang kuat berusaha meremukkan wanita malang itu.

"Aaaahhh..."

Restu mundur dihinggapi rasa takut, namun ia tetap bertahan dengan jaraknya berada saat ini. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan wanita yang ia panggil dengan sebutan ibu. Marni membuka mata. Sepasang tangan mungil telah berhasil membawanya kembali ke dunia nyata, walau tanpa sengaja, genggaman tangan Marni nyaris melukainya.

"Restu."

Melihat Marni kembali, Restu segera menghampiri. Sebuah pelukan erat diberikannya. Dalam pelukan itu, restu menyampaikan rasa khawatir serta sayangnya pada Marni. Restu mendapatkan rasa yang sama, bahkan ditambah dengan sebuah tangis serta usapan lembut di punggungnya.

"Ibu kenapa?"

Restu memberanikan diri untuk bertanya. Melihat hal seperti itu beberapa kali terjadi, Restu sedikit memahami.

"Maafkan ibu, nak. Ibu mimpi buruk lagi."

Restu terdiam. Ia tak ingin mendengar kisah seram yang dialami ibunya dalam mimpi itu.

"Lebih baik kita tidur lagi."

Marni menatap Restu. Tatapan matanya sayu. Ia mengerti bahwa restu belum mampu terjaga lebih lama. Melihat Restu berusaha tetap bangun untuk memastikan keadaannya, ia cukup merasa bahagia.

Restu berada dalam dekapan Marni. Matanya yang tak kuat menahan kantuk telah terpejam kembali. Tangannya erat memeluk Marni. Antara merasa takut atau ingin melindungi.

Berbeda dengan Restu, Marni lebih memilih untuk tetap terjaga hingga pagi. Jam di dinding masih menunjukkan hampir pukul empat pagi. Matanya masih terasa lelah, namun ia khawatir akan bertemu dengan makhluk itu lagi. Wajar bila ia merasa seperti itu. Mimpi itu tak hanya terjadi sekali. Ia berpikir bahwa tak mungkin mimpi yang sama selalu terjadi tanpa memiliki arti. Marni menghela napas, mengembuskan nya secara perlahan. Ia ingin bisa berpikir jernih dan tetap tenang, seraya berharap semuanya baik-baik saja.

Mentari mulai hadir. Sedikit demi sedikit cahaya merah datang hingga menjadi terang. Seseorang yang sejak tadi menanti kehadirannya telah berpaling. Berselimutkan kain putih menutup seluruh tubuh, tertelungkup usai bersujud. Tempat itu lebih nyaman dari pada kasur empuk yang memberinya mimpi buruk. Ia meninggalkan Restu seorang diri. Ia percaya bahwa anak itu akan baik-baik saja walau saat itu tak berada dalam jangkauan matanya. Mereka hanya terpisah oleh sebuah ranjang.

Kedua kakinya turun. Restu berjalan mengendap. Degup jantungnya mulai cepat. Kejadian buruk memberinya rasa takut. Ia berhasil. Hanya beberapa langkah saja hingga ia kini berdiri di samping seseorang yang masih terlelap. Restu tak langsung berreaksi. Bahkan ia hanya berdiri, mematung menatap orang yang dicintainya dan memberinya cinta. Perlahan lututnya menekuk, hingga ia jongkok, lalu kemudian mengumpulkan segenap keberaniannya untuk memastikan bahwa sang ibu baik-baik saja. Tangannya mulai menghampiri, hingga menggenggam lembut kain putih yang menyelimuti sang ibu. Restu mencoba mengguncang tubuh itu, namun ia melakukannya dengan lembut dan hati-hati. Percobaan pertama, sang ibu tak berreaksi. Dengan terpaksa, ia melakukannya lagi. Lalu kemudian, hasilnya masih tetap sama. Restu mulai mengguncang tubuh itu, kali ini ia melakukannya dengan sedikit menambah tenaga. Wajahnya telah berada dalam ketakutan, bahkan ia harus berusaha agar ia tak menangis melihat satu-satunya orang yang ia sayangi tiada.

Restu mundur. Wajah sedihnya berubah menjadi rasa takut luar biasa. Sang ibu kini telah bangkit. Wajah yang Restu ingat, begitu berbeda dari apa yang sekarang ia lihat. Wajah penuh kasih sayang berubah datar dan menyeramkan. Matanya terbuka tanpa terlihat cahaya kehidupan. Wanita itu menatap Restu tanpa rasa seperti biasa.

"Baaaa..."

Restu menangis. Perasaannya kini telah campur aduk. Sedih, kesal dan takut telah menjadi satu, namun ia merasa lega tak kehilangan orang yang ia sayang. Sang ibu menghampiri. Ia merasa berdosa telah mengerjai Restu. Restu tenggelam dalam dekapan Marni. Ia merasa tenang dan nyaman berada di sana. Marni tak henti membelai punggung kecil yang sama sekali tak ia sangka akan berreaksi tak seperti biasanya. Dalam benak Marni, ia mengira bahwa Restu akan tertawa ketika tahu bahwa ia sedang dikerjai.

Tangis sesenggukan mulai mereda. Kain itu telah sepenuhnya basah. Mulai dari air mata, hingga cairan kental yang kelur dari hidungnya. Marni mengelap pipi basah Restu dengan kausnya sendiri, tak lupa juga dengan cairan yang satunya. Marni melepas pakaian Restu. Pakaian kotor itu ia letakkan di sampingnya sebelum berakhir ke tempat cucian kotor di dekat kamar mandi.

"Maafkan ibu, nak."

Restu menatap Marni. Seolah ia ingin berkata bahwa "aku menyayangimu,", Marni mengerti itu. Rasa itu bisa ia terima hanya dengan melihat tatapan matanya.

Restu berhenti menangis. Pagi ini harus ia mulai dengan sesuatu yang tak seperti bisanya.

"Sekarang kamu mandi, sudah mulai siang."

Marni mengingatkan seraya mengusap sisa air mata di pipi Restu. Ia beranjak menuruti kemauan Marni. Restu berjalan lunglai menuju kamar mandi kecil di samping dapur yang juga berukuran kecil. Pada usia saat ini, ia telah diajarkan hidup mandiri, yang tentunya dimulai dari hal-hal kecil. Bekal itu akan ia rasakan manfaatnya ketika dewasa nanti. Setidaknya, seperti itulah harapan Marni.

Dari jauh, Marni menatap Restu yang berjalan meninggalkannya seorang diri. Senyumnya memudar. Perasaan khawatir terus menghinggapinya setiap hari. Beberapa kali, Marni mencoba tak peduli dengan kejadian-kejadian yang dialami, namun tak bisa ia pungkiri bahwa akan ada sesuatu yang buruk menimpa mereka. Marni sama sekali tak peduli apa yang terjadi padanya, kalau seandainya petunjuk itu memberinya nasib buruk, karena yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah Restu.

Restu kembali. Badannya masih terlihat basah. Sebagian tubuhnya terlilit handuk lusuh yang sepertinya tak mampu berfungsi dengan semestinya. Tak terasa Marni melamun dalam waktu yang cukup lama, atau kebiasaan Restu mandi terlalu cepat layaknya anak kecil seusianya yang membuatnya harus segera melupakan beban yang dipikulnya saat ini.

Senyum kembali mengembang. Melihat Restu, selalu memberinya kebahagiaan, terutama ketika Restu mulai bisa tersenyum kembali.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang