44. Titisan.

164 20 0
                                    

"Hah hah hah hah..."

Napasnya tersengal. Tenaganya terkuras. Ia hampir mengeluarkan semua tenaga yang ia miliki.

Ia bersandar pada pohon di dekat mulut goa. Ares terbaring disampingnya. Mereka hanya berdua. Gia dan Pak Badrun masih tertinggal di dalam. Namun tak lama, mereka terlihat datang.

Pak Badrun ikut terduduk, pada pohon tak jauh dari tempat sang ustaz duduk bersandar. Ia merasa lega bisa keluar dari sana. Walau hanya untuk sesaat. Pak Badrun beberapa kali menengok ke kanan dan ke kiri?

"Apa mata saya tak salah lihat? Ini masih sore? Waktu di dalam, saya kira ini sudah malam hari."

Sang ustaz menggeleng. Tenggorokannya terlalu kering untuk menjawab pertanyaan itu. Pak Badrun mengeluarkan sesuatu, yang sebelumnya sempat ia bawa.

"Ini, minumlah!"

Sang ustaz menerimanya tanpa sungkan. Bahkan ia hampir saja menghabiskan isinya, jika saja tak ingat bahwa ada orang yang lebih membutuhkan dari pada ia.

"Minumlah!"

Sang ustaz memberikan minuman itu pada Ares. Ares menerimanya, namun sayang, tubuhnya gemetar, sehingga tak mampu menggenggamnya dengan sempurna.

"Biar aku bantu."

Gia peka. Ia membantu Ares untuk minum.

Teguk demi teguk mulai membasahi tenggorokannya. Namun Ares tak menghabiskan air terlalu banyak. Ia memberikannya pada Gia.

"Minumlah! Kamu juga butuh."

Air dalam satu botol plastik mampu menyegarkan mereka semua. Pak Badrun menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Tak peduli dengan rasa, yang terpenting mereka tak tersiksa oleh rasa haus luar biasa.

"Kita tak bisa lama-lama di sini. Kita harus pergi secepatnya."

Sang ustaz memberi usul. Semua setuju, namun satu orang terlihat ragu. Ares bangkit. Ia telah sedikit memiliki tenaga.

"Kalian pergi lebih dulu."

Sang ustaz, Pak Badrun serta Gia menoleh ke arahnya. Ares mengambil sesuatu dalam sakunya, kemudian mengulurkan tangan. Sang ustaz menyambutnya.

"Ini?"

Sang ustaz tak mengerti dengan apa yang Ares beri.

"Bawa mobil itu! Cari bantuan secepatnya!"

Sang ustaz tak bisa menolak, walau dalam hati tak juga menerima.

"Tapi..."

Gia ingin membantah. Rasanya ia tak bisa pergi meninggalkan Ares dalam kondisi tak baik-baik saja.

"Jangan khawatir, aku akan kembali. Sekarang juga, cepat pergi!"

Pak Badrun dan sang ustaz menarik dan memaksa Gia pergi dari sana. Ares melihat mereka perlahan menghilang dalam lebatnya hutan.

Ia berusaha bangkit, sebelum kegelapan alam mulai menelannya. Ia kembali ke dalam goa. Saat ini, goa itu terlihat lebih memberi rasa aman dari pada hutan belantara.

****

Huek...

Darah mulai menetes. Satu pukulan telak penuh kekuatan terasa meremukkan seluruh badan. Rasa sakit luar biasa tak tertahankan. Tak hanya usia, kenyataan saat ini telah menghancurkan dan akan membunuhnya secara perlahan. Sosok itu masih berdiri dengan gagah. Tak ada satupun luka yang terlihat di tubuh. Semua serangan yang berhasil melukai, selalu bisa hilang dalam sekejap. Apa yang Ki Saleh jadikan senjata, sama sekali tak berguna. Tameng telah terhempas entah kemana. Tak berlangsung lama, pertarungan itu seperti akan terlihat akhirnya.

"Apa kau telah mengerti perbedaan kekuatan kita?"

Ki Saleh tak sanggup menjawabnya. Ia hanya diam mendengarkan. Dalam hati, ia tau bahwa semua akan berakhir seperti ini. Namun ia lega, karena setidaknya, hidupnya akan berakhir dan tetap berguna.

"Hahahaha..."

Ki Saleh tertawa. Darah semakin deras mengalir seiring tawanya yang kian melebar.

Sosok itu menghilangkan senyum diwajahnya. Ia mengalihkan pandangan pada jalan keluar dari goa. Ares muncul dari sana. Berjalan tertatih tanpa rasa takut untuk kembali menghadapi musuhnya.

"Untuk apa kau kembali?"

Ares tersenyum sinis. Mata yang ia tunjukkan, untuk pertama kalinya menunjukkan kebencian yang dalam. Mata itu pernah terlihat, setidaknya saat ia telah kehilangan semuanya.

"Sudah jelas, untuk membunuhmu!"

Sosok itu tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia menatap Ares begitu datar. Sosok itu melupakan Ki Saleh. Memberinya sedikit waktu untuk mengumpulkan tenaga. Ares mendekat. Tak ada kekuatan yang ia tunjukkan. Ia muda namun kondisinya tak jauh berbeda dengan lelaki tua yang masih terkapar di sisi lainnya.

Selangkah demi selangkah pada akhirnya membawanya berdiri tepat di hadapan sosok itu. Ares menatapnya. Hanya kebencian yang mampu ia tunjukkan.

Bugh.

Ares terkapar. Ia terlempar beberapa meter ke belakang.

"Aku telah memberi kesempatan. Aku kecewa, tak bisa memetik dari apa yang telah ku tanam."

Dalam kesadaran samar, Ares berusaha menengadah. Sorot mata kehidupannya mulai terkikis hingga habis. Tubuhnya mulai terasa ringan, melayang. Bahkan ia telah tak sanggup menggerakkan jari jemari kaki hingga tangan. Ares tersenyum, untuk terakhir kali hingga ia tertidur. Selamanya.

Tak ada yang berduka. Bahkan sosok itu tak berkata apa-apa. Ki Saleh yang sempat melihat Ares untuk terakhir kalinya, hanya mampu memanjatkan doa. Ia sadar bahwa takkan ada lagi yang tersisa dari dirinya dan juga Ares yang terbaring di sana.

Ki Saleh menguatkan diri, hingga ia mampu kembali berdiri. Sosok itu menoleh. Ekspresi sinis atau bengisnya tak kembali, semenjak mendapati rencananya tak berbuah apa-apa.

"Tak ada gunanya menikmati pertarungan! ini saatnya kau mati!"

Ki Saleh berjinjit, hingga kakinya tak sanggup berpijak pada bumi. Napasnya mulai sesak. Ki Saleh berusaha melepaskan diri. Tangannya berusaha meraih sesuatu yang tengah mencekiknya. Namun ia tak dapat menyentuhnya. Ki Saleh mengalami apa yang Ares alami. Ia merasakannya dan pada akhirnya mengerti akan rasa sakit luar biasa yang Ares alami. Perjuangannya telah selesai, bersama dengan jasadnya yang mulai lunglai.

Sosok itu terhenyak. Seketika ia menjatuhkan Ki Saleh yang tengah berada dalam cengkeramannya. Ia tersenyum, mendapati apa yang ia pikirkan ternyata salah.

"Sepertinya tidak terlalu buruk."

Ia mulai menoleh. Cukup senang dengan apa yang dilihatnya.

****

Mereka berhenti. Sang yang berjalan di depan memberi aba-aba.

"Kenapa kita berhenti?"

Pak Badrun tak mengerti dengan sikap sang ustaz. Mereka harus dengan cepat pergi, namun sang ustaz justru beberapa kali berjalan pelan, bahkan berhenti seperti saat ini. Awalnya tak ada yang dirasa aneh, namun tidak untuk kesekian kalinya.

Sang ustaz tak menjawab. Ia berjalan kesana kemari dengan raut wajah penasaran, namun sayang, ekspresi wajah itu tak terlihat oleh semuanya. Kegelapan mulai membatasi. Satu-satunya cahaya yang sempat ia bawa kembali ketika berada di dalam goa, tak mampu menerangi semuanya.

"Kita jalan ke sana!"

Hingga mereka kembali berjalan, Pak Badrun tak pernah mendapat jawaban. Pak Badrun tak punya pilihan, selain tetap percaya dan mengikuti apa yang diperintahkan. Untuk saat ini, hanya sang ustaz lah yang mungkin bisa diandalkan. Atau sebaliknya.

****

Mata menatap tajam. Sosok berbeda muncul. Sosok bermata merah sebelumnya menyeringai. Ia senang merasakan keberadaannya, bahkan ia menyambut dengan sukacita.

"Selamat datang. Akhirnya kau kembali."

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang