39. Jalan Keluar

169 26 0
                                    

"Ki..."

Sang ustaz mulai merasa panik. Ia memanggil Ki Saleh, berharap dapat mendengar panggilannya. Ki Saleh tak menjawab. Ia mengerti panggilan itu. Ki Saleh mengarahkan senter kecil itu pada celah tempat di mana ia keluar.

"Itu dia."

Pak Badrun dan sang ustaz antusias. Cahaya yang mereka lihat bagaikan harapan. Mereka berjalan tergesa. Ingin segera keluar dari sana.

"Hati-hati! Jalannya menurun."

Ki Saleh berteriak. Memperingatkan agar mereka lebih berhati-hati ketika keluar. Pak Badrun mengikuti. Ia perlahan keluar dari sana dengan perlahan menapakkan kaki. Kemudian diikuti oleh sang ustaz, turun dengan caranya sendiri. Brug.

"Aduh."

Wajahnya mendarat tepat di bebatuan bercampur tanah basah. Andai suasana terang benderang, mungkin Pak Badrun dan Ki saleh akan tertawa. Pak Badrun segera membantunya, sementara Ki Saleh mengarahkan senter pada wajah sang ustaz. Ia tak terluka, namun beberapa kotoran menempel di sekitar pipinya. Wajahnya meringis menahan nyeri. Seketika itu suara tawa mulai muncul. Ternyata kondisi saat ini tak menghentikan mereka berdua untuk menertawakan sang ustaz.

Cukup hanya sesaat, melupakan tekanan dari masalah. Ki Saleh mulai mengarahkan senter ke beberapa sisi goa.

"Sepertinya kita menemukan apa yang kita cari."

Mereka keluar dari salah satu sisi dalam sebuah goa berukuran cukup besar. Celah itu membawa mereka pada apa yang mungkin mereka cari. Ki Saleh bergumam. Namun hal itu terdengar oleh Pak Badrun.

"Sepertinya begitu, Ki."

Di beberapa dinding goa, Ki Saleh melihat beberapa obor yang masih menempel. Pak Badrun melihatnya. Ia teringat dengan potongan adegan kejadian waktu itu. Di mana juru kunci menyalakan obor setiap beberapa langkah ketika memasuki goa.

"Terus, jalan mana yang harus dipilih?"

Sang ustaz bertanya, namun tak mendapat jawaban. Ki Saleh justru mengarahkan senternya bergantian, ke kiri dan ke kanan.

"Mana yang menurut kalian jadi jalan keluarnya?"

Senter kecil itu tak cukup jauh untuk menjangkau panjangnya lorong goa. Dari jalan yang harus dipilih, semuanya tampak menuju ke arah yang sama.

"Mungkin ke sebelah kiri, Ki."

Ki Saleh menoleh. Sang ustaz meringis. Ia khawatir salah memberi jawaban.

"Alasannya?"

"Saya mencium bau tak enak dari arah sana."

Sang ustaz menunjuk pada arah kegelapan yang ia pilih.

"Baiklah, kita kesana!"

Tanpa ragu, mereka mulai kembali melangkah. Kali ini, mereka tak harus merasa khawatir dengan apa yang mereka pijak, karena mereka justru khawatir jalan yang dipilih adalah jalan yang salah.

Dalam keheningan, rasa lelah kembali terasa. Namun tak butuh waktu lama hingga mereka kembali merasa lega. Jalan yang mereka pilih memang jalan yang seharusnya. Jika mereka ingin keluar dari sana.

"Kenapa kita justru malah keluar?"

Kecewa. Semua merasakan hal yang sama. Tenaga yang keluar menjadi terbuang percuma.

"Kita kembali. Setidaknya, kita telah tau jalan untuk keluar dari tempat ini. Itupun jika kita selamat."

****

"Kayaknya udah nggak ada jalan."

Ares menghentikan mobil. Ujung jalan menandakan akhir dari perjalanan dan awal sebuah petualangan. Satu persatu dari mereka turun. Kegelapan menyambut. Ares mengamati perkampungan mati itu. Tak ada yang terasa aneh, hingga ia menyadari sesuatu.

Salah satu rumah kosong berdinding anyaman bambu terlihat memiliki lampu. Kecil, namun cahayanya menarik perhatian. Ares mulai penasaran bahkan mulai berjalan hingga luput dari perhatian.

Tanpa ragu, ia mengikuti naluri dan kata hati. Ares berhenti. Ia mengamati, jika mungkin, maka masih ada kehidupan di tempat ini.

Langkahnya mulai hati-hati. Khawatir jika sang penghuni merasa tak sudi, jika mengetahui bahwa ada tamu yang tak dikenal datang untuk menemui.

Mata mulai menyelidik, menyipit agar bisa melihat dari celah sempit. Seketika pupil matanya melebar. Ia tak menyangka bahwa di tempat seperti ini, masih ada kehidupan yang tersisa.

Dalam ruangan kecil yang hanya diterangi oleh obor kecil itu, tampak seorang pria tengah duduk bersila memunggunginya. Ares berniat untuk mengetuk, berharap bisa meminta bantuan pada sang tuan rumah.

"Siapa? Jika ingin bertamu, masuk saja! Pintunya tidak dikunci."

Kepalan tangan itu berhenti, kurang dari satu inci dari daun pintu kayu. Ares mengurungkan niat untuk sekadar berucap permisi. Ia langsung membuka pintu, manakala mengetahui sang tuan rumah ramah menyambut. Perlahan, pergerakan pintu itu memberi suara derit. Dalam keheningan, mendengar hal sesederhana itu terasa jadi menakutkan.

"Maaf, Pak. Mengganggu."

"Silakan duduk!"

Ares mengikuti apa yang diperintahkan, walau sang tuan rumah tak juga menunjukan wajahnya. Ia masih asik memunggungi Ares.

Ares tak jua membuka suara. Begitu juga dengan sang tuan rumah. Posisinya masih sama. Tak berubah. Mau tak mau, Ares mengesampingkan rasa sopan. Ia tak bisa membuang waktu lebih lama hanya untuk sekadar bertanya. Ia butuh informasi secepatnya.

"Pak, maaf, apa saya boleh tanya sesuatu?" Ucapnya hati-hati.

"Ya, silakan."

Ares lega. Responnya tak seburuk dari apa yang ia khawatirkan. Meski orang itu tak sedikitpun menoleh padanya. Ia bisa mulai mengutarakan, apa yang menjadi tujuan.

"Begini, saya mau ke hutan yang ada di dekat tempat ini. Saya butuh informasi tentang jalan kesana. Mungkin bapak punya informasi tentang hutan itu."

Ares berharap respon lebih dari sebelumnya, dan usahanya tak sia-sia. Sosok itu menoleh, namun sayang, remang cahaya tak mampu menampakkan dengan jelas wajahnya. Hanya kepala yang berubah, sementara posisi tubuhnya masih tetap sama.

"Kamu tak perlu minta bantuan. Saya akan dengan senang hati mengantarmu kesana."

Ares bingung, namun di sisi lain ia merasa lega. Perjalannya akan mudah jika dipandu oleh orang yang mengerti dan berpengalaman menjelajahi hutan yang mereka tuju.

"Terimakasih, Pak. Kalau begitu, saya akan panggil yang lain agar kita bisa pergi dengan segera."

Ares beringsut. Bermaksud undur diri untuk memanggil mereka.

"Tunggu!"

Seketika Ares menghentikan maksudnya. Ia menunggu sang tuan rumah menyampaikan maksud dari perintahnya. Sosok itu mulai bergerak. Ia mulai membalikan tubuh. Ares bisa melihatnya dengan jelas, walau dalam remang cahaya lampu seadanya. Ares tak bisa melakukan apa-apa. Ia tak berdaya oleh rasa takut luar biasa. Sosok dihadapannya berdiri dengan ukuran tinggi dua kali dari tinggi tubuhnya. Mata merah menyala. Sekeliling tubuh dikelilingi aura kegelapan.

"Ikut aku! Aku telah menunggumu."

Sorot mata itu hilang. Tak ada kehidupan dalam bayangan matanya. Ares hilang, tak berada di tubuhnya sendiri. Kini, ia layaknya boneka, menunggu perintah dari sang pemiliknya.

Ia berdiri. Mulai berjalan menelusuri kegelapan hutan. Tak ada rasa sakit, meski kaki tertusuk duri. Semak belukar seolah mencoba menghentikan langkahnya, namun sia-sia, mereka hanya mampu memberi tanda, untuk orang-orang yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang