18. Terbagi

458 39 4
                                    

Laki-laki itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tempat yang ia pijak saat ini begitu asing. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sana. Suasana dan udara begitu berbeda. Sejuk yang memanjakan dada tak mampu dirasa. Tempat ini begitu bertolak belakang dengan apa yang biasa ia rasakan di lingkungan tempat tinggalnya.

Laki-laki itu duduk di pinggir jalan. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Benda yang saat ini sudah cukup jarang digunakan banyak orang. Pada zaman seperti saat ini, kebanyakan orang akan lebih memilih sesuatu yang lebih praktis dalam satu genggaman tangan. Sayangnya laki-laki itu tak mengikuti arus. Ia lebih memilih sesuatu apa yang ia perlukan.

Matanya fokus menatap beberapa nama, sampai pada akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Ia tersenyum, seraya menunggu seseorang di seberang sana.

"Assalamu'alaikum, Ki? Sudah sampai mana?"

"Waalaikum salam, saya sudah di terminal."

"Loh, sudah sampai? Saya juga sudah di terminal, ki, posisi ki Saleh di sebelah mana?"

"Saya duduk di pinggir jalan, dekat pintu keluar terminal."

"Ya sudah, ki, jangan ke mana-mana, saya ke situ."

Laki-laki yang dihubungi ki Saleh memutuskan sambungan telefon tanpa sempat mengucapkan salam. Ia mungkin lupa karena bergegas menjemput Ki Saleh.

Ki Saleh tak berubah. Ia tetap duduk di sana menunggu seseorang datang menjemputnya. Hatinya masih tak berubah, masih merasakan hal yang sama seperti saat ia berangkat. Hanya sebatas doa yang mampu membuat ki Saleh kembali tenang.

Lampu temaram di pinggir jalan mulai berubah menjadi terang, kemudian deru mesin kendaraan mulai samar terdengar mendekat.

"Ki, maaf, saya kira tadi ki Saleh nunggu di sana."

Sang ustaz turun dari motor dan langsung menyalami ki Saleh, bahkan ia pun sampai mencium tangannya.

"Tidak apa-apa, saya belum lama nunggu di sini."

"Ya sudah, kalau begitu mari saya antar."

Ustaz itu memberikan helm pada ki Saleh. Tak mau membuang waktu, sang ustaz langsung membawa ki Saleh ke kediaman pak Badrun. Seperti apa yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Jarak dari terminal ke rumah pak Badrun cukup jauh, namun akan bisa lebih cepat kalau ditempuh dengan kendaraan roda dua. Sayangnya sang ustaz tak berani untuk menjalankan rencana. Ia memacu kendaraannya dengan kecepatan seperti biasa. Ia khawatir ki Saleh yang terlihat rapuh akan terjatuh.

Dari jauh, sang ustaz melihat sebuah keramaian di depan rumah pak Badrun. Ada sebuah mobil hitam terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah itu.

"Ko ramai? Ada apa, ya?" tanya sang ustaz pada dirinya sendiri.

Ia berhenti, lalu mengajak ki Saleh untuk segera masuk.

"Assalamu'alaikum. Pak, ada apa ini? Kalian mau ke mana?"

"Pak, maaf kami harus segera mencari Gia."

"Gia? Kenapa dengan Gia?"

"Gia hilang di tempat liburan. Maaf, ki, kami tidak bisa menyambut kedatangannya dengan baik."

Laki-laki itu berlalu. Ia tak melupakan rasa sopan walau terburu-buru meninggalkan tamu di ruang depan. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa tas berukuran sedang dari dalam kamar menuju ke mobil yang terparkir di depan. Pak Badrun dan Bu Sari mengikuti dari belakang. Mereka berhenti untuk sekadar pamit pada sang tamu yang terlanjur datang dan menunggu. Mungkin sang ustaz akan sedikit direpotkan oleh niat dari pak Badrun yang akan menitipkan tamu yang datang padanya.

"Ki, maaf sepertinya saya harus meninggalkan ki Saleh sama pak Ustaz. Saya tak mengira akan jadi begini."

Pak Badrun menunduk merasa bersalah, sementara ki Saleh tetap tenang seraya menebar senyum bersahaja.

"Tidak apa-apa, tapi..."

Ki Saleh tak melanjutkan kalimatnya, ia baru melanjutkannya saat laki-laki yang akan mengantar pak Badrun dan bu Sari kembali untuk menjemput mereka.

"Dia harus tetap di sini!"

Ki Saleh menggenggam pergelangan tangan laki-laki itu, tepat saat ia baru saja masuk ke ruangan di mana pak Badrun dan ki Saleh bicara.

Mereka saling bertatapan satu sama lain, tak mengerti dengan apa yang diingunkan ki Saleh.

"Tapi, ki, kalau dia di sini, lalu siapa yang mengantar saya ke tempat Gia?"

Pak Badrun protes, namun ia masih tetap menjaga adab.

"Mungkin kamu."

Ustaz itu menoleh, bukan karena ia tak mau, tapi karena ia tak bisa mengendarai mobil.

"Maaf, ki, saya tidak bisa menyetir."

Ki Saleh tersenyum. Ia menjelaskan apa maksud ucapannya.

"Bukan kamu yang jadi supir, tapi kamu yang harus cari supir, biar anak ini tetap di sini, saya ada perlu sama dia."

Mereka masih tak mengerti apa yang diinginkan ki Saleh, namun mereka lebih memilih untuk tetap mengikuti apa yang ia inginkan.

"Baiklah, ki, saya cari supir dulu."

Ustaz itu langsung pergi meninggalkan mereka yang sedang bingung dengan keputusan ki Saleh yang menahan Ares di sana.

"Maaf, Ki, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ki Saleh harus menahan dia di sini?"

Ki Saleh tak langsung menjawab. Ia memikirkan kata-kata terbaik agar mereka bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia yang akan membantu menyelesaikan masalah kalian dari sini."

Pak Badrun terdiam. Ia berusaha membuka memori dalam tumpukan lembaran ingatan dalam kepalanya. Halaman itu belum tertutup terlalu jauh, ia masih mengingat apa yang tercatat di sana.

"Maksudnya..."

Pak Badrun mengingat obrolan terakhirnya dengan ki Saleh. Ia ingat dengan rumitnya masalah yang ia hadapi.

"Ya." jawab ki Saleh singkat. Mereka mulai memikirkan hal yang sama. Pak Badrun menatap Ares yang berdiri di samping ki Saleh, menatap bingung dengan apa yang orang lain bicarakan.

"Jadi kamu orang berani ganggu anak saya?"

Refleks, pak Badrun maju lalu mencengkeram kaus yang Ares kenakan. Ares tak berreaksi, sementara ki Saleh melebarkan senyumnya, seraya salah satu tangannya menggenggam tangan pak Badrun untuk menghentikan apa yang ia lakukan. Tatapan pak Badrun yang sebelumnya melotot kini melunak melihat ki Saleh memberi isyarat untuk melepaskan cengkeraman tangannya.

"Jadi, bukan dia?"

Ki Saleh kembali menggeleng.

"Bukan, tapi dia yang menjadi penghubung."

Pak Badrun melepas cengkeramannya.

"Maaf." ucapnya singkat, menahan rasa malu serta tak enak dengan apa yang baru saja ia lakukan.

Ares mengangguk. Ia berusaha mengerti dengan keadaan pak Badrun yang saat ini sedang mengalami banyak tekanan. Meski ia tak mengerti kenapa ia menjadi penghubung seperti apa yang ia dengar tadi.

"Ki, saya sudah dapat supirnya."

Ustaz itu masuk terburu-buru. Ia tak sendiri. Ia membawa serta seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluhan bersamanya.

"Dia yang akan mengantar kita, jadi anak muda iti bisa tetap di sini."

Mereka bergegas meninggalkan ki Saleh dan Ares di rumah itu. Mereka berharap ketika mereka kembali, urusan ki Saleh telah selesai. Itu pun seandainya mereka bisa pulang dengan membawa kabar bahagia.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang