34. Perjalanan Kembali.

173 25 2
                                    

Barang serta perlengkapan telah dikemas dalam satu tas berukuran besar. Kamar itu telah menjadi saksi tentang bagaimana usaha seseorang untuk memperbaiki keadaan. Akibat dari masa lalu kelam. Perpisahan menyedihkan tak memberi harapan. Satu persatu perjuangan telah terhenti. Mereka mundur terbentur aturan. Kini hanya keluarga dan orang yang peduli saja yang masih bertahan. Keadaan mereka tak begitu baik. Hanya keteguhan hati menjadi satu-satunya motivasi agar mereka terus bisa berjuang.

Dalam kendaraan. Sang ibu menatap gedung penginapan. Namun matanya terfokus pada hutan, yang menjadi tempat perpisahan dengan putri semata wayang. Perpisahan yang tak sempat berucap kata. Hati tak henti berucap do'a. Mata tak mampu menumpahkannya.

****

Membuka kamar. Ia mengenang sebuah kebahagiaan. Bayangan beberapa kepingan kenangan mulai tergambar, cukup jelas, hingga kembali membangkitkan kesedihan. Mengabaikan dua orang tamu yang sedang dijamu oleh sang imam.

"Pak, izinkan saya untuk ikut membantu?"

Pemuda itu berucap sopan. Mengutarakan permintaan untuk ikut berjuang.

"Tidak! Saya tak mau membahayakan siapa-siapa. Masa depanmu masih panjang. Kamu harus tetap di sini demi keluargamu."

Pak Badrun menolak tegas. Sementara laki-laki di samping sang pemuda berusaha memberi nasihat.

"Betul. Lebih baik kamu tak usah ikut. Biar kami yang menangani. Kamu harus ingat, bahwa orang tuamu begitu menyayangimu, jangan sampai mereka bersedih karena kehilangan kamu."

Pemuda itu tak bisa memaksa. Ia mundur dengan rasa kecewa.

"Ya sudah, Pak. Saya pamit."

Wajah kecewanya tak bisa ditutupi. Sang ustaz yang menasehati bisa mengerti. Sementara Pak Badrun justru tak peduli. Pikirnya, melibatkan orang tak berpengalaman menghadapi hidup hanya akan menambah beban saja.

Pemuda itu keluar. Menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan. Ia urung naik ke motornya ketika melihat mobil hitam datang. Ares keluar dari balik pintu samping kemudi. Ia menatap Putra yang akan segera pergi.

"Bang, tolong bawa dia balik. Gua ngerasa bersalah, karena dia ngilang pas pergi bareng sama gua."

Ares memegang pundak Putra. Kemudian ia pergi tanpa sepatah kata. Putra mengerti bahwa Ares akan membawa mimpinya. Ares tak sendiri. Sabrina keluar dari pintu samping mobil sebelah kiri. Kemudian, diikuti Ki Saleh di pintu belakangnya.

Pak Badrun dan sang ustaz menyambut kedatangan mereka. Tak ingin membuang waktu lebih lama, mereka akan langsung segera pergi.

"Bu, lebih baik tetap di rumah! Biar aku yang selesaikan."

Perintah sang suami tak mampu dibantah. Sang istri lebih memilih mengikuti keinginannya. Ia percayakan semua usaha terakhir pada sang imam. Imam yang sebelumnya telah membawanya pada jalan kesesatan.

Sabrina melepas kepergian Ares. Dalam satu pelukan berucap permintaan.

"Res, kamu janji, ya, kamu harus bisa pulang."

"Aku janji, Rin. Jaga diri kamu, ya."

Rasa itu telah menghangat. Ia mulai membuka pintu yang sebelumnya telah membeku.

Sabrina pergi, bersama mobil miliknya yang telah Ares kembalikan. Kaca di balik kemudi tetap terbuka, demi pertemuan terakhir mereka.

****

Mobil melaju, kecepatannya cukup tinggi. Ares berada di balik kemudi. Ia ingin memastikan bahwa mereka akan lebih cepat sampai ke tujuan. Wajah keempat orang memiliki suasana berbeda. Pak Badrun tak memikirkan apa-apa selain Gia. Ki Saleh tetap duduk tenang tak tergoda untuk terbawa suasana. Sang ustaz tetap relijius. Bahkan ia lebih banyak mendekatkan diri pada yang maha kuasa lewat kalimat istighfar yang senantiasa terucap tak henti dalam hati.

Ki Saleh memiliki petunjuk. Tempat yang diceritakan Pak Badrun cukup ia kenal. Dari sang kakak yang telah tiada. Tempat yang jarang terjamah manusia.

Perjalanan memakan waktu cukup panjang. Beristirahat sejenak untuk saat ini menjadi pilihan. Rest area di jalan bebas hambatan adalah pilihan tercepat. Tak hanya makan, beberapa dari mereka butuh mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Ares melamun seraya menikmati secangkir kopi yang ia pesan. Pak Badrun tak berselera menikmati hidangan. Sang ustaz tak terlihat. Ia tengah sibuk dengan rasa pusing dan mual di toilet umum rumah makan. Sementara Ki Saleh sibuk dengan pemikiran tentang apa yang akan ia lakukan. Beberapa kali Ki Saleh menatap Ares tanpa sepengetahuannya. Ia selalu tersenyum setelah melakukan itu.

Cukup dengan hanya waktu setengah jam. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Waktu telah menunjukan angka lebih dari jam satu siang. Cuaca panas membuat pendingin dalam mobil dinyalakan, agar mereka merasa nyaman. Semua menikmatinya, kecuali hanya satu orang. Obat yang dikonsumsi ketika istirahat tadi belum bereaksi. Ia masih merasakan mual luar biasa. Keringat dingin bercucuran. Rasa pusing semakin menjadi. Namun beruntung, sebelumnya ia masih sempat mencari solusi.

Plastik hitam dalam genggaman. Bersiap jika ia tak sanggup lagi menahan diri. Pak Badrun yang duduk di sampingnya terlihat tak peduli. Padahal Pak Badrun tak sempat melakukannya. Dalam hati dan pikirannya hanya memikirkan satu kata, Gia.

Sang ustaz menyerah. Kantung plastik hitam menjadi jalan satu-satunya. Suaranya mampu membuat fokus yang lain mengarah padanya. Ki Saleh menggeleng.

"Kenapa tidak bilang dari tadi?"

Ia mengeluarkan sesuatu dari saku baju yang ia kenakan. Sebuah botol kecil beraroma mint ia berikan. Sang ustaz menerima setelah ia mengeluarkan makanan dalam isi perutnya.

"Terimakasih, Ki."

Hidung, tengkuk, perut serta betis ia olesi semua. Berharap rasa yang menyiksa bisa segera mereda.

Sang ustaz mengembalikan obat itu.

"Simpan saja! Perjalanan masih jauh."

Ki Saleh menolaknya. Perjalanan memang masih panjang. Jika tak ada hambatan, mereka baru akan tiba sekitar enam jam kemudian.

Sang ustaz membaik. Obat dari ki Saleh cukup membantu.

"Maaf, saya sudah merepotkan Pak Ustaz."

Sang ustaz menoleh.

"Tidak, Pak. Saya sendiri yang ingin membantu. Jadi saya merasa tidak direpotkan sama sekali."

Pak Badrun berusaha tersenyum, walau nampak jelas ia tak bisa melakukannya. Sang ustaz mengerti. Atas dasar tujuan itulah ia berada di sini.

Beberapa jam telah berlalu. Selama itu hening mendominasi. Senja dari ufuk barat mulai menyapa. Sore hari, jalanan mulai padat dilalui kendaraan roda empat atau dua. Beberapa dari mereka tampak terburu-buru, berharap untuk melepas lelah yang seharian telah mendera. Kecepatan mulai diturunkan, untuk mengimbangi banyaknya kendaraan memenuhi jalan. Kendaraannya melambat, kemudian berhenti. Berada di barisan kendaraan menunggu aba-aba lampu jalan.

Sajak mulai mengalun. Suara parau menjadi modal mengais sedikit rezeki. Ares menoleh, membuka kaca mobil seraya memberinya kepingan rupiah.

"Terimakasih, Mas." Ucapnya penuh bahagia, mendapat rezeki tak terkira. Ares memberinya dua puluh ribu rupiah. Tak besar baginya, namun berbeda dengan anak kecil itu. Sekilas, ia bisa merasakan penderitaannya. Bagaimana ketika ia kecil harus merasakan hidup susah.

"Tiitt."

Klakson mobil yang berada di belakang memberinya tanda, bahwa ia harus melanjutkan perjalannya.

Mobil kembali melaju. Untuk sesaat, ia merubah tujuannya. Tempat ibadah menjadi prioritas utama. Hanya beberapa menit, ia tiba di sana. Sebuah bangunan megah yang tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun juga sebagai tempat mereka singgah.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang