Jalan pulang tak begitu melelahkan. Harapan mulai membuat mereka bimbang. Konsekuensi yang mereka ambil mungkin akan membuahkan hasil, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Mereka bahagia, namun kata-kata kelam itu terus terbayang.
"Mas, apa yang dikatakan orang itu benar?"
Pertanyaan tak berbuah jawaban namun berakhir dengan pelukan. Ia mengerti bahwa wanitanya tengah butuh sandaran. Bahtera rumah tangga yang dibina tak jua berujung hadirnya buah hati di antara mereka.
"Semoga selama waktu itu, kita bisa menemukan jalan untuk bisa lepas dari ikatan. Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi kalau kita tak bisa menemukan cara, makan waktu itu bisa saja terbuang sia-sia."
Badrun teringat dengan ucapan orang yang membawanya pada apa yang ia sebut sebagai jalan keluar. Jalan terjal berbalut hasil instan dari sang setan.
Tujuh hari dari sekarang, mereka harus kembali dengan membawa persyaratan yang diminta. Persyaratan pertama cukup mudah dan tak memerlukan sesuatu yang mengerikan. Semua hanya berupa bunga serta asap dupa dan juga beberapa barang yang tak termasuk dalam kategori berharga.
Setelah sampai di rumah, tak ingin membuang waktu, Badrun segera pergi mencari sesuatu untuk mereka bawa nanti. Mulai dari hal yang mampu bertahan dalam waktu tujuh hari atau lebih hingga yang mudah rusak dicari lain kali. Satu-satunya tempat yang ia tuju saat ini adalah pasar. Di sana Badrun berharap bisa menemukan benda yang mungkin jarang sekali untuk ditemui, kecuali di toko yang menjual benda atau barang yang berkaitan dengan kematian.
Tak disangka, Badrun begitu mudah menemukannya. Toko yang ia cari berada di dekat pertigaan jalan pasar. Keadaan tokonya cukup sepi dibandingkan dengan toko-toko di sekitarnya. Mungkin kematian tak setiap hari diharapkan, atau pencari persembahan tak begitu banyak berkeliaran. Badrun merasa, semua usaha yang ia lakukan begitu dipermudah. Ia sempat ingin mengucap syukur pada yang maha kuasa, namun hati kecilnya menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan.
Badrun melangkah ragu. Jarak dari tempat ia berdiri sebelumnya tak begitu jauh. Namun keraguan membuat langkahnya terlalu berat hingga membutuhkan waktu untuk sampai ke tujuan.
Badrun menatap beberapa bunga bertebaran di hadapannya. Wanginya khas tercium sebagai pertanda kesedihan. Tak ia temui penjaga toko di sana, namun ia juga tak berusaha untuk memanggil atau menemukannya.
"Cari apa, mas?"
Badrun terkesiap. Rupanya pemilik toko telah beberapa kali memanggilnya hingga akhirnya ia kembali dari lamunan.
"Maaf, pak, saya mau cari ini."
Badrun tak ingin mengatakannya. Ia lebih memilih untuk menyerahkan secarik kertas bertuliskan beberapa barang yang akan ia beli. Pemilik toko itu sekilas menatap Badrun. Pandangannya mencerminkan rasa heran. Pemilik toko itu hampir jarang sekali menemui pembeli seperti yang ada di hadapannya saat ini. Namun pemilik toko itu tak ingin tahu atau ikut campur dengan urusan pembelinya, karena tujuan ia hanyalah berjualan saja.
"Pak, untuk bunganya, apa saya bisa mengambilnya lain hari? Saya butuh bunga itu untuk tujuh hari yang akan datang, jadi kemungkinan saya akan mengambilnya lima atau enam hari lagi."
"Bisa, nanti kamu tinggal datang ke sini lagi saja."
"Terimakasih, pak."
Badrun berlalu pergi. Tak ada semangat perjuangan yang ingin ia lakukan. Badrun masih setengah hati menjalani niatnya ini.
Tiba di rumah, Badrun disambut istri tercinta. Sari namanya. Wanita yang telah ia nikah beberapa tahun lamanya. Mereka berdua dari kalangan keluarga biasa. Namun apa yang selama ini mereka bina belumlah lengkap tanpa kehadiran buah hati di antara mereka. Sari tetap sabar menerima walau batinnya cukup tersiksa, dan Badrun pun merasakan hal yang sama.
Berbekal informasi dari pencarian yang ia lakukan, pada akhirnya Badrun dan Sari sepakat untuk mengambil jalan pintas yang tak seharusnya. Berat, namun mereka telah nekad, walau tak sepenuhnya dengan niat. Rasa kecewa pada kenyataan membawa mereka pada jalan sesat.
Waktu berjalan begitu cepat. Beberapa hari persiapan terasa terlalu singkat. Badrun berdiri, menatap seseorang yang tengah ia beri janji tempo hari bahwa ia akan kembali. Pikiran dan hati kian berkecamuk. Pada akhirnya satu tarikan napas dalam membuatnya yakin bahwa ia akan tetap melakukannya. Badrun mulai melangkah. Degup jantungnya terasa kian kuat seiring jaraknya yang semakin mendekat.
Kini ia tengah berdiri di depan toko yang ia datangi tempo hari. Mulutnya terkunci, ia tak sanggup menyapa sang pemiliknya untuk menagih janji. Sang pemilik toko menoleh. Sama seperti Badrun, ia pun tak memiliki kata-kata untuk diucapkan. Ia lebih memilih pergi untuk membawakan pesanan yang Badrun pesan tempo hari. Tak butuh waktu lama sampai ia kembali, dengan membawa sekantung plastik hitam berisi barang yang Badrun pesan.
"Ini."
Tak berbasa-basi, pemilik toko itu langsung memberikannya pada Badrun. Badrun menerimanya, masih tetap dengan mulut terkunci.
"Terimakasih."
Hanya kata itu yang bisa terucap olehnya. Ia menoleh dan bermaksud untuk segera pergi.
"Kalau memungkinkan, lebih baik tinggalkan niat buruk itu."
Badrun tertegun. Kalimat dari pemilik toko itu menghentikan langkahnya. Badrun kembali menoleh dan tanpa mampu menahan diri.
"Lebih baik urus saja urusan bapak sendiri!"
Terselip kemarahan dalam kalimat yang Badrun katakan tadi. Entah apa yang membuatnya begitu tersinggung dengan nasihat baik dari sang pemilik toko. Ia melangkah dengan mantap untuk pergi dan berniat untuk segera sampai di rumah.
Brug.
Pintu dibanting oleh Badrun. Suaranya mengagetkan Sari yang sedang berada di dalam kamar. Sari yang sedang mempersiapkan keperluan besok terpaksa harus meninggalkan sejenak kegiatannya. Ia penasaran dengan apa yang terjadi.
"Mas, apa-apaan kamu ini? Pulang-pulang langsung banting pintu."
Sari menghampiri Badrun yang tengah berusaha menenangkan diri di kursi tamu. Meski Sari kaget dengan kejadian tadi, ia sama sekali tak merasa kesal apalagi marah pada sang suami. Sifat lembutnya masih kokoh membentengi amarah diri.
Badrun tak menjawab pertanyaan itu. Ia justru merasa bersalah telah mengagetkan sang istri.
"Maaf, tadi aku lelah, jadi tak sengaja membanting pintu."
Badrun berdalih. Bahkan ia berusaha menutupi semuanya dengan senyum di wajahnya. Sari hanya tersenyum menanggapi. Ia tahu bahwa sang suami tengah menutupi apa yang sebenarnya terjadi, namun ia lebih memilih untuk tak ingin memperpanjang masalahnya lagi.
Sari beranjak menuju dapur. Dengan piawai, tangannya membuatkan secangkir kopi panas untuk sang suami. Ia berharap bisa meringankan apa yang mungkin sedang menjadi beban pikiran sang suami.
Dari aroma yang tercium oleh Badrun, ia sudah bisa menebak apa yang sedang dilakukan sang istri. Badrun tersenyum. Hal sederhana seperti inilah yang membuatnya bahagia. Namun ia menyayangkan bahwa kebahagiaan rumah tangganya harus terasa tak sempurna tanpa kehadiran sang buah hati.
Badrun menatap tajam pada arah depan rumahnya sendiri, namun pikirannya sama sekali tak berada di sana. Berbekal sebuah alasan demi membahagiakan sang istri, tekadnya bulat untuk siap menjalani ritual yang telah mereka sepakati.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
УжасыSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.