43. Terpisah.

159 22 0
                                    

Brugh.

Bunyi sesuatu yang jatuh tepat di belakang patung mengalihkan perhatian mereka. Pertarungan terhenti. Setidaknya untuk sesaat.

"Aduh."

Suara merintih terdengar dari sana. Hening tercipta. Menunggu sesuatu muncul dari balik sosok patung besar itu.

Ki Saleh tetap waspada. Ia tak ingin ia diserang ketika lengah. Sosok itu pun melakukan hal yang sama. Bahkan ia seperti tak peduli dengan apa yang terjadi di balik sosok patung pemujaan miliknya.

Wajah itu menampakkan diri. Dalam remang cahaya, mereka mengenalinya.

Sang pria meringis. Tubuhnya tertindih wanita yang ia tarik. Sang wanita sadar. Ia segera beranjak dari atas tubuh itu. Ia menoleh. Sadar bahwa ia berada di tempat yang begitu asing, ia merasa was-was. Pengalaman memberi mimpi buruk tentang tempat baru yang ia datangi. Namun seseorang yang tak asing membuatnya merasa lega.

"Bapak!"

Gia mengenali laki-laki yang sejak tadi berdiri di tepi. Melindungi diri dari pertarungan untuk menyelamatkan sang putri.

Gia beranjak. Rasa rindu dan takut membuatnya tak fokus. Namun, sebuah lengan mencegahnya. Gia menoleh. Ingin meluapkan rasa tak suka pada perbuatan Ares tadi. Keinginan Gia sirna. Ares menunjukkan apa yang akan ia lewati tadi jika ia memaksa pergi.

Gia terhenyak. Sepasang mata merah menatapnya. Terasa tak suka dan marah. Gia mundur, hingga kembali berada di balik tubuh Ares yang tampak berusaha tenang. Di Seberang sosok itu, Ares melihat Ki Saleh. Ia lega, namun ia sadar bahwa saat ini belum waktunya. Ares melihat Ki Saleh. Kondisinya tak baik-baik saja.

Ares mundur. Matanya tetap mengarah pada sosok bermata merah. Waspada. Berjalan di tepian goa, menuju tempat Pak Badrun berada. Pak Badrun melakukan hal yang sama hingga mereka bertemu tepat di belakang Ki Saleh yang juga tetap waspada.

Haru. Untuk sekilas, hal itu terasa di antara pertemuan mereka berdua. Pak Badrun lega, putrinya baik-baik saja. Ares berdiri di samping Ki Saleh. Ia memang tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan makhluk tak kasat mata, namun bukan berarti ia takkan melakukan apa-apa untuk mengusahakan kebebasan diri sendiri dan juga mereka. Sang ustaz melakukan hal yang sama. Bedanya, Ares melakukannya dengan tekad, sedang sang ustaz hanya nekad. Ia mencoba meneguhkan hati dan berharap penuh pada sang maha kuasa.

"Hahahahahaha. Bagus! Dengan begini, aku bisa membunuh kalian semua, dan membawa mereka kembali."

Ancaman sedikit membuat mereka merasa takut. Terlebih Gia. Beruntung kini ia berada dalam dekapan orang tua.

"Coba saja kalau kau memang bisa!"

Tantangan bersambut.

Dalam sekejap mata. Sosok itu kini berada di depan Ki Saleh dan Ares. Tekanan dirasakan oleh mereka berdua. Ki Saleh bertahan dengan tameng, sementara ares terpental ke belakang.

Sosok itu kembali menghilang. Memberi waktu untuk mereka kembali bersiap menghadapi serangan.

Brugh.

Tanpa wujud. Suara itu tertahan oleh tameng yang dikenakan Ki Saleh. Beruntung Ki Saleh tetap waspada. Ares bangkit, menahan rasa sakit. Tak hanya dari serangan kali ini. Dari kejadian sebelumnya, rasa sakit itu masih ia rasa.

Sang ustaz membantunya berdiri. Tak berlama-lama, Ares kembali maju. Sang ustaz menjauh seraya tetap menggenggam sebuah tasbih. Tasbih itu berputar tak tentu. Kecepatannya bergantung oleh rasa takut sang ustaz melihat pertarungan tepat dihadapannya.

Mata merah kembali muncul. Perlahan namun pasti. Wujud yang sebelumnya samar kini mulai terlihat nyata.

"Kau memang hebat. Kuakui itu." Pujinya pada Ki Saleh. "Kau, menyingkirlah! Atau kau akan mati!" Ucapnya seraya menatap Ares.

Ki Saleh membisikan sesuatu pada Ares. Kemudian Ares langsung mundur. Ia mendekati Pak Badrun, dan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Ki Saleh.

Pak Badrun mengangguk. Tanpa pikir panjang mereka segera pergi dari sana. Menyisakan pertarungan yang hanya akan dilakukan oleh Ki Saleh dengan sosok itu.

Sosok itu tak bereaksi. Ia membiarkan mereka pergi.

"Rencana kematian yang bagus. Kau tau bahwa kau akan mati, jadi kau menyuruh mereka pergi."

"Jangan salah sangka. Aku menyuruh mereka pergi karena aku pasti bisa mengalahkanmu."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan pertarungan ini. Berilah aku hiburan yang lebih menarik. Aku sudah tak sabar ingin membunuhmu."

Tanpa memberi peringatan, Ki Saleh bergerak maju. Gerakannya terlihat gesit untuk tubuh tuanya. Tubuh sosok itu membentuk jasad layaknya manusia, sehingga memberi Ki Saleh kesempatan untuk menyerangnya.

Gerakan Ki Saleh cepat dan hampir bisa mengenainya. Sosok itu mampu menghindari tendangan Ki Saleh dengan mundur ke belakang. Ki Saleh tersenyum.

Bugh.

Satu pukulan tepat mengenai perut. Senjata yang biasa digunakan untuk bertahan, kini ia gunakan untuk menyerang. Sosok itu mundur. Menahan rasa nyeri di perut. Serangan kedua Ki Saleh tak ia kira. Sosok itu melihat perutnya. Ia merasakan panas di sana. Panas dari bekas pukulan yang Ki Saleh beri.

"Alasan aku menyuruh mereka pergi, agar aku bisa bertarung tanpa harus melindungi. Tapi apa yang kau ucapkan pun benar. Aku harus bertarung sampai mati, atau setidaknya kita berdua sama-sama mati!"

"Hahahahaha. Serangan seperti tadi takan memberi luka berarti. Mungkin kau harus lebih berusaha lagi."

Luka dari pukulan Ki Saleh perlahan menghilang, hingga tak meninggalkan bekas. Untuk sesaat, Ki Saleh terpana.

****

Remang cahaya obor pada dinding goa, memudahkan mereka untuk melangkah menuju jalan keluar.

"Apa tidak salah Ki Saleh menyuruh kita untuk pergi lebih dulu?"

"Saya nggak tau, Pak. Tapi kita nggak punya jalan lain. Mungkin ini yang terba..."

Brugh.

Ares roboh. Ia terjerembab ke lantai goa. Pak Badrun dan Gia yang berjalan di depan, sontak berhenti, kemudian menghampiri. Sang ustaz yang berjalan di sampingnya langsung mengecek keadaan Ares.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Ares tak menjawab. Ia meringis menahan nyeri. Tangannya menunjuk ke arah kaki. Mereka melihat kode yang ditunjukan Ares. Luka dikakinya mengeluarkan darah.

"Akhirnya, aku bisa melakukan sesuatu," ucapnya dalam hati. Tanpa pikir panjang, sang ustaz langsung menggendong Ares.

"Cepat, kita harus pergi!"

Sang ustaz mulai berlari, dengan Ares berada dipunggungnya. Gia dan Pak Badrun mengikuti. Semangat sang ustaz tengah memuncak, sejak ia mengerti saat yang tepat untuk menjadi pahlawan.

Lorong goa seakan tak berujung. Berbeda seperti ketika mereka menjelajahinya dengan tenang. Rasa panik benar-benar membawa mereka dalam bahaya.

"Itu dia. Aku harus cepat!"

Cahaya yang sang ustaz lihat, membuat ia semakin bersemangat. Bahkan ia lupa bahwa Pak Badrun dan Gia tertinggal di belakang. Pak Badrun harus mengimbangi langkah Gia yang tak sanggup berjalan cepat. Pak Badrun ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh sang ustaz, namun ia sadar bahwa ia tak memiliki kekuatan seperti itu.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang