12. Tempat Asal

494 54 5
                                    

Cerita ini masih sepi, ada yang nungguin gak, ya?

Mobil telah terparkir rapi. Jumlahnya cukup banyak, karena akan membawa sekitar tujuh ratus orang siswa beserta staf dan para guru yang akan mengawasi mereka selama dalam menjalani kegiatan jalan-jalan yang lebih lumrah disebut dengan study tour. Acara yang rutin diadakan oleh sekolah Gia dan beberapa sekolah lainnya menjelang akhir semester dua. Gia telah lebih dulu duduk di dalam mobil. Pandangannya mengarah ke jendela. Ia memperhatikan teman-temannya yang masih sibuk berbahagia di luar sebelum terpaksa menikmati perjalanan panjang yang membosankan. Gia tak ingin larut bersama mereka. Sejujurnya, ia tak nyaman berada di sana saat ini, terlebih ia memikirkan sesuatu yang lainnya, yang menurutnya sedikit aneh.

Sehari sebelum berangkat, setelah ia pulang dari tempat pusat perbelanjaan mengantar Laras berbelanja, pikirannya tak tenang. Selain karena ia melihat Ares bersama dengan wanita lain, ia juga memikirkan ayahnya sendiri. Gia tak mendapati ayahnya di rumah ketika ia pulang sore itu. Ibunya berkata bahwa ayahnya telah pergi setelah Gia berangkat ke sekolahnya. Ketika ditanya pergi ke mana oleh Gia, ibunya memberi alasan tak masuk akal. Gia tau bahwa ibunya berbohong, tapi ia tak tau dengan alasannya, namun ia tak ingin memaksa ibunya bercerita. Ia berpikir bahwa itu adalah urusan orang dewasa yang tak perlu ia tau.

"Gi."

Laras duduk di sebelah Gia. Wajahnya ceria seperti biasa namun menyiratkan kecewa. Gia menoleh, lalu tersenyum menyambutnya.

"Aku cariin kemana-mana taunya kamu udah di dalem, Gi? Kamu gak baca pesan dari aku, ya?"

Gia langsung diberondong dengan banyak pertanyaan. Gia merasa seperti sedang diinterogasi oleh sahabatnya.

"Maaf, Ras, ku gak lihat."

Gia tersenyum, kali ini senyumnya sebagai permohonan maaf atas kesalahannya yang telah meninggalkan Laras untuk lebih dulu duduk menunggu di dalam mobil.

"Iya," balas Laras, cemberut, walau ia sebenarnya tak marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Gia.

Waktu pemberangkatan akan segera tiba. Para staf sekolah dan guru yang bertugas mengawasi jalannya kegiatan langsung mengarahkan para siswanya untuk masuk ke dalam bus masing-masing. Di dalam bus, mereka lebih dulu diabsen. Mereka harus duduk sesuai dengan nomor tempat duduk yang mereka dapatkan. Selesai dengan semua persiapan, bus berangkat beriringan.

****

Perjalanan panjang telah terlewati begitu saja. Berbagai rintangan berhasil dilalui. Pak Badrun merasa bahwa perjalanannya kali ini cukup berat bila dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya, walau sebenarnya perjalanan berat itu dimulai ketika ia gagal menemui orang yang bisa membantunya seperti dulu.

Pak Badrun mulai mencari informasi. Dari terminal yang menjadi tempat pemberhentian terakhir bus. Ia tau bahwa alamat yang akan ia tuju masih cukup jauh dari tempat ia saat ini berada. Perkembangan jaman tak terlalu akrab dengan kehidupannya, sehingga ia tak mengerti bahwa semua alamat yang ia cari bisa begitu mudah untuk ditemukan. Beruntung baginya, sang ustaz ternyata tak hanya berperan menjadi pemberi petunjuk bagi pak Badrun untuk mengenal lebih dekat sang penciptanya. Ustaz itu juga menjadi petunjuk jalannya hari ini. Dengan menggunakan gawai dalam genggaman, ustaz itu mampu menemukan alamat yang dicari pak Badrun dengan cepat. Mereka hanya perlu bertanya pada orang di sekitar, bagaimana caranya agar bisa ke sana.

Sang ustaz membawa pak Badrun ke sebuah warung makan di sekitar terminal bus. Mencari tempat makan di tempat cukup ramai seperti itu bukanlah hal sulit. Sejauh mata memandang, tanpa perlu mencari petunjuk, papan iklan besar yang terpampang di depan masing-masing tempat makan jelas memberi tanda bahwa mereka menjual jasa, jasa mengisi perut yang lapar. Pak Badrun sempat merasa enggan, namun ia sungkan untuk menolak. Perutnya tak bisa berbohong, walau ia tak sabar untuk secepatnya melakukan pencarian.

"Selamat pagi, bu."

Melihat pelanggan datang, pemilik warung langsung menyambutnya dengan ceria. Di matanya, pembeli harus dilayani dengan ramah, agar menghasilkan rezeki yang berkah.

"Ya, silahkan, pak, mas."

Pak Badrun dan sang Ustaz langsung duduk seraya memilih beragam makanan yang berada di balik etalase kaca.

"Pak, makan dulu, biar ada tenaga buat nyari alamatnya."

Pak Badrun menurut. Rasa sungkannya hilang manakala ia tergoda oleh harumnya masakan yang tengah dihidangakan oleh wanita pemilik warung. Tanpa ragu, ia mengikuti gerakan ustaz di sampingnya. Tangannya dengan penuh semangat, meraih sesuap demi sesuap nasi yang berada di atas piring.

"Pelan-pelan, pak, kita di sini tidak cuma makan."

Gerakan pak Badrun terhenti sejenak. Ia tak mengerti apa yang ustaz itu katakan. Padahal, nasi di atas sendok hanya tinggal beberapa senti lagi saja menuju mulutnya yang terbuka. Pak Badrun lebih memilih membatalkan niatnya.

"Maksud pak ustaz?"

Namun ia tak mendapat penjelasan. Ia tak melanjutkan rasa penasarannya dan lebih memilih menyimpannya untuk menjadi pengingat untuk apa mereka berada di sana.

Ustaz itu telah lebih dulu menyelesaikan makanannya. Namun ia tak beranjak dan memilih untuk bersantai sejenak.

"Bu, pesen teh manisnya dua, ya!"

Pak Badrun sedikit heran dengan apa yang dilakukan oleh ustaz di sampingnya. Ia merasa bahwa mereka terlalu santai melakukan pemcarian. Pak Badrun lebih memilih bungkam dan tetap memperhatikan.

Ustaz itu mulai berbasa-basi dengan wanita pemilik warung. Obrolan tanpa tujuan menjadi pembuka yang terlalu panjang. Hingga akhirnya, sebuah kalimat pertanyaan membuatnya mengerti bahwa mereka tak sia-sia berada di sana.

"Bu, tau alamat ini?"

Ustaz itu menunjukkan sebuah alamat yang tertera dalam layar pada gawainya. Wanita itu membaca dengan seksama. Pada awalnya, raut wajahnya berubah menjadi heran setelah membaca tulisan itu. Ia menatap ustaz dan pak Badrun bergantian, namun kemudian, wajahnya kembali seperti biasa.

"Oh, ini, gak jauh dari sini, cuma sekitar satu jam perjalanan, tapi..."

Penjelasan dari wanita itu cukup jelas, hanya kalimat yang terpotongnya saja yang membuat Ustaz dan pak Badrun sejenak menahan napas.

"Tidak ada mobil yang bisa ke sana."

****

Bus masih melaju beriringan, dengan kecepatan konstan dan tak terlalu cepat. Sesuai dengan permintaan dari pihak panitia agar mereka berjalan tak saling mendahului, walau lambatnya waktu menjadi konsekwensi, keselamatan para siswa harus tetap menjadi prioritas selama perjalan hingga mereka kembali. Di luar, langit tengah terlihat gelap. Sesekali cahaya kuning merambat cepat pada gumpalan awan pekat, hingga cahaya itu hilang berganti suara gemuruh menggelegar. Berlibur pada musim penghujan yang belum usai bukanlah ide bagus, tapi mereka memang tak sedang berlibur, melainkan study tour.

Gia menatap langit itu, wajahnya murung. Ia masih memikirkan keberadaan sang ayah. Kedua telinganya tertutup oleh headset, memutar alunan musik merdu penghantar tidur. Gia tak bisa terlelap. Ketika yang lain telah lelah dengan cerianya pada awal pemberangkatan, hingga kini suasana berganti sunyi yang mendominasi. Gia tak menikmati. Ia pun ragu bahwa ketika tiba nanti, ia akan bisa melalui liburannya dengan gembira.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang