35. Gerbang Kegelapan.

161 28 9
                                    

Kegelapan menyambut. Jalan terjal menyapa. Melewati jalan perkampungan jauh dari gemerlap metropolitan. Waktu tempuh perjalanan tak sesuai perkiraan. Beberapa kali mereka berhenti, hanya untuk menanyakan lokasi. Bermacam tanggapan mereka dapatkan. Mulai dari jawaban biasa, hingga tatapan sinis menyelidik. Jalan bebatuan, mobil melaju pelan. Semakin jauh, mereka seakan ditelan kegelapan. Penerangan tak mampu menembus kepekatan barisan pepohonan.

Lelah melanda. Mereka berhenti sejenak. Warung di pinggir jalan menawarkan sedikit kenyamanan.

Turun dari kendaraan, mereka langsung mencari posisi nyaman. Makanan sederhana yang dijajakan, bisa menggugah selera mereka yang kelaparan.

"Bu, pesan kopinya, ya. Empat!"

"Iya, Mas."

Perempuan paruh baya segera menyiapkan pesanan. Ia senang, ada pembeli pada jam-jam seperti ini. Tak lama, pesanan datang. Aromanya memberi rasa tenang.

"Kalau boleh tau, mas-masnya ini pada mau kemana, ya? Kok sampai malam begini."

Tak langsung mendapat jawaban, sang pemilik warung pun sungkan.

"Maaf, Mas. Saya lancang."

"Eh, nggak apa-apa, Bu. Ini, Bu. Saya ada perlu ke tempat ini?" Ares menunjukkan alamat yang tertera pada kertas.

Untuk sesaat, senyum sang pemilik warung hilang, namun kembali segera ia suguhkan. Ia tak ingin menjadi tak sopan. Belum mendapat jawaban, sebuah motor menghampiri, kemudian berhenti. Pengendara itu masuk ke dalam warung yang ternyata adalah sang suami.

Ia menyapa. Ares menyambut hangat uluran tangannya.

"Pak, ini, si Mas ini nanyain alamat."

Ucap wanita itu pada sang suami. Ia mengambil kertas itu, lalu membacanya. Ekspresinya tak jauh berbeda dengan sang istri, namun mereka tetap berusaha untuk ramah.

"Maaf sebelumnya, Mas. Masnya mau nanyain alamat kampungnya atau hutannya?"

Ares menatap laki-laki itu. Ia merasa bahwa akan mendapat informasi yang berguna untuk perjalanan mereka.

"Hutannya, Pak. Kami mencari jalan masuk ke hutan itu." Jawab Ares mantap. Ini akan menjadi petunjuk yang bisa langsung membawa mereka ke tempat tujuan.

Informasi dari Ki Saleh tak bisa diandalkan. Suasana daerah yang jauh berubah membuatnya tak mengenali tempat yang sama. Begitu juga dengan Pak Badrun. Bahkan ia tak mengenali jalan yang saat ini mereka lewati. Atau mungkin rute ini berbeda dari yang dulu pernah ia lalui. Semenjak rumah dari sang juru kunci tak di sana lagi, Pak Badrun telah begitu lama tak kembali ke tempat ini. Bahkan ia ingin melupakannya begitu saja.

"Mas, maaf kalau saya lancang. Kalau mas ingin kesana, mungkin lebih baik diurungkan. Tidak baik."

Ares mencoba memahami kalimat itu, dan ia mengerti bahwa mereka peduli.

"Memangnya tempat itu kenapa, Pak?"

Ares mencoba menggali informasi lebih jauh. Ia berharap, cerita yang akan ia dapat bisa berguna.

"Tidak kenapa-kenapa, Mas. Hanya tidak baik saja."

Ares kecewa. Hasil tak seperti harapannya. Mereka tak mau terbuka.

"Saya pergi kesana dengan tujuan baik, ingin menyelesaikan masalah."

Ada keraguan dari wajah pasangan itu, namun mereka tak sanggup untuk mencegah. Arti dari "tujuan baik" dari yang dikatakan Ares, ditafsirkan berbeda. Mereka mengira bahwa rombongan ini datang kesana dengan tujuan duniawi semata.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang