Di terminal, mata lelahnya masih setia menunggu, menunggu yang ia tuju untuk menuju ke tempat yang menjadi tujuan. Ia telah memikirkan dengan penuh pertimbangan akan apa yang akan ia lakukan. Tekadnya terlalu kuat untuk dipatahkan begitu saja oleh keadaan, bahkan ia rela meninggalkan keluarga demi menyelamatkan keluarga itu. Ucapan dari orang yang akan ia temui selalu teringat dibenaknya. Waktu telah berlalu cukup lama setelah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan orang yang akan ia temui kembali saat ini.
Satu jam telah berlalu begitu saja, bus yang akan ia naiki tak kunjung terlihat. Semua bus yang lewat dihadapannya mempunyai tujuan berbeda dari yang ia tuju. Perjalanan kali ini akan memakan waktu cukup lama. Persiapan bekal juga pakaian telah disiapkan oleh sang istri tercinta, sampai ia melepaskan kepergiannya di halaman rumah, hanya putri tercinta yang tak tau apa yang menjadi tujuannya, bahkan sang putri pun tak mengetahui bahwa ia pergi.
Tooootttt...
Bunyi klakson bus yang berjalan lambat kemudian berhenti tak jauh dari tempatnya duduk, sempat membuatnya terlonjak hingga membawanya kembali ke alam nyata. Matanya mulai memperhatikan tulisan pada kaca depan mobil. Penantian telah berakhir, bus itulah yang selama lebih dari satu jam ini ia tunggu. Ia beranjak, tak lupa menggendong tas punggung disampingnya, yang sebelumnya ia gunakan sebagai sandaran.
Pria itu mulai berjalan, tak ingin tertinggal bahkan hingga sampai tak kebagian tempat, karena jika sampai itu terjadi, perjalanan panjang kali ini akan semakin berat. Beberapa orang yang sebelumnya duduk-duduk di sekitar tempatnya duduk, terlihat juga mulai berjalan menuju ke arah bus yang sama. Ia menginjakkan kaki pada pintu bus lalu naik dan sesaat kemudian berhenti untuk sekilas memilih tempat duduk yang masih tersedia. Tak ingin menunggu lama dan membuat orang dibelakangnya menunggu, ia segera memilih tempat duduk yang sama sekali belum diisi penumpang. Setelah duduk, ia memposisikan duduknya dengan senyaman mungkin, ia telah belajar dari pengalaman pertama melakukan perjalanan jauh waktu itu, tas punggung yang ia bawa, sengaja ia taruh tepat di pangkuannya, walau membuat sesak, namun hanya dengan cara itu ia merasa aman dengan barang-barang yang dibawanya.
Setelah penumpang penuh, bus itu segera melaju. Pria itu duduk berdampingan dengan seorang pria yang usianya lebih tua. Pandangan pria itu tertuju ke luar jendela, namun pemandangan di luar tak ia perhatikan dengan seksama, pikirannya justru tengah jauh berkelanan, menuju sebuah rumah yang saat ini hanya diisi oleh dua orang wanita.
Hanya tinggal sekitar satu jam lagi menuju ke tempat tujuan, namun itu bukanlah tempat yang menjadi tujuan akhir, dari terminal ia harus menaiki kendaraan lagi dengan waktu tempuh sekitar satu jam, baru setelah itu rasa lelahnya akan terbayar.
Tiba di terminal tujuan, ia langsung turun, kemudian bergegas mencari angkot dengan jurusan yang ia tuju. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan angkot tersebut. Pagi hari memang waktu terbaik untuk para supir angkot dalam mengais rezeki.
Tiba pada persimpangan jalan kecil, ia harus kembali melanjutkan perjalanan. Perut lapar tak menjadi hambatan, untuk saat ini ia sanggup menunda semua beban untuk dirinya sendiri demi masa depan keluarganya. Setelah beberapa menit berjalan, kakinya mulai menapaki jalan tanpa aspal, yang berarti bahwa hanya tinggal beberapa menit lagi untuk sampai ke tujuan. Namun sebelum sampai di sana, kerumunan warga menghadang dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa ini?" Ucapnya dalam hati. Ia heran kenapa begitu banyak warga berkumpul di rumah yang akan ia tuju.
"Pak, mohon maaf, ini ada apa, ya?"
Pria itu memberanikan diri untuk bertanya pada salah seorang dari mereka yang tengah berkerumun. Laki-laki itu menoleh.
"Saya kurang tau, pak, tapi salah satu warga ada yang nemuin mayat dalam rumah itu," jelasnya seraya jari telunjuknya mengarah ke rumah yang ia maksud.
"Kalau boleh tau, bapak siapa, ya? Sepertinya bapak bukan orang dari daerah ini?"
Pria itu balik bertanya, wajahnya menyelidik orang asing yang baru kali ini ia lihat.
"Tadinya saya mau bertamu, pak, sama pemilik rumah itu, tapi itu yang meninggalnya siapa, pak?"
Pria itu tak langsung menjawab, ia masih menyelidik tujuan orang dihadapannya, namun ia menebak, jika ada seseorang datang untuk menemui orang itu, bisa dipastikan masalahnya berhubungan dengan hal ghaib.
"Ki Sarwan."
Seketika pandangannya gelap, cahaya mulai meredup, menjauh dari harapan yang selama ini ia harapkan.
*******
"Bu, bapak kemana, ya? kok jam segini belum pulang?"
Setelah pulang dari sekolah hingga malam hari tiba, Gia tak mendapati ayahnya berada di rumah. Pak badrun sengaja segera pergi sebelum Gia pulang, dan rela menunggu lama di terminal demi merahasiakan tujuan keberangkatannya pada Gia.
"Itu, bapak lagi ada perlu. Sudah, sekarang kita makan dulu."
Di atas meja makan sederhana telah tersedia menu masakan-masakan sederhana namun tetap menggugah selera. Gia tak pernah mengeluh dengan kondisi perekonomian keluarga yang sederhana, baginya, semua telah lebih dari cukup dan ia bersyukur, karena di luar sana masih banyak anak kurang beruntung yang bhakan tak cukup makan atau kelaparan.
Selesai makan, Gia tak segera kembali ke kamarnya, ia lebih memilih untuk mengikuti sang ibu ke kamarnya.
"Loh, kamu mau ngapain?"
Gia tersenyum ketika sang ibu tau anaknya mengikuti.
"Kan bapak lagi gak ada, jadi aku boleh ya tidurnya sama ibu."
Gia memeluk ibunya dengan manja, berharap ia diizinkan untuk tidur bersama sang ibu.
"Kamu ini, sudah besar masih saja manja."
Dengan gemas, bu Sari mencubit pipi putri semata wayangnya itu. Sebelum masuk kamar, mereka memastikan semua pintu dan jendela rumah sudah terkunci, walau rumah sederhana, mereka tak ingin ada orang asing yang masuk dengan tujuan yang tidak-tidak.
Waktu masih belum terlalu malam untuk mereka beristirahat. Mereka menikmati malam kebersamaan dengan bercerita tentang masa lalu dari sang ibu, bagaimana cerita bertemu dengan pak Badrun sampai ke cerita cobaan rumah tangga menimpa.
"Ibu sama bapak, pengin punya kamu itu dulu susah banget, sampai harus nunggu lebih dari sepuluh tahun."
Gia mendengarkan cerita dengan seksama, ia tau bahwa sang ibu senang ketika menceritakan pengalaman mereka, walau pengalaman itu tak semuanya berwarna. Menyandarkan kepala pada pangkuan sang ibu, telah menjadi kebiasaan favoritnya sejak kecil, meski begitu, bu Sari tak mengeluh atau risih dengan kebiasaan itu.
"Oh, ya, gimana sekolah kamu?"
"Gak gimana-gimana, bu, sebentar lagi ujian, jadi kalau pulang sekolah aku langsung les dulu."
"Oh, kirain ibu, kamu gak tiap hari lesnya."
"Karena waktu ujiannya tinggal sebentar lagi, jadi lesnya lebih sering lagi, bu."
"Oh, iya, pacar kamu gimana?"
Gia menoleh, tak biasanya bu Sari menanyakan tentang hal-hal seperti itu.
"Pacar? Aku belum punya pacar, bu."
"Belum punya pacar? Terus yang beberapa hari yang lalu nganterin kamu pulang itu siapa? Yang pakai motor gede itu loh."
"Ih, ibu, itu cuma temen."
Gia tersipu, bagaimana pun ia tak bisa menyembunyikan perasaannya pada Ares.
Mereka menutup malam dengan mulai memejamkan mata, mencoba untuk menggapai sebuah mimpi indah yang berbeda namun dengan tujuan yang sama, walau pada akhirnya kejadian buruk telah ditakdirkan menimpa mereka. Gia tak menyadari bahwa ia dalam bahaya, bahkan mungkin harus mempertaruhkan nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
TerrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.