36. Menghadapi Ketakutan

156 24 0
                                    

"Apa yang harus kita lakukan, Ki?"

Tak ada jawaban. Ki Saleh tak mengerti. Ia tak mengira bahwa Ares bisa lepas dari pengawasannya begitu mudah.

Tubuh tua itu telah menanggung beban begitu berat. Semua masalah menunggu keputusannya. Apa yang akan ia hadapi tak semudah dalam perhitungan.

"Ki..."

Tak mendapat jawaban. Sang ustaz membantu Pak Badrun untuk memastikan bahwa jawaban Ki Saleh akan menentukan langkah mereka selanjutnya.

"Mungkin tidak malam ini!"

Pak Badrun kecewa. Setelah sejauh ini mereka melangkah, mereka justru tak bisa melanjutkannya.

"Tapi, Ki. Bagaimana dengan kondisi anak saya kalau kita tidak memulainya sekarang?"

Pak Badrun mulai tak bisa mengendalikan diri. Tekanan luar biasa tak kuasa ia hadapi. Sang ustaz mencoba menenangkannya. Ia berdiri di dekat Pak Badrun. Khawatir lepas kendali lebih dari ini. Ia lupa, bahwa Ki Saleh tak seharusnya menanggung beban akibat dari kesalahannya. Ki Saleh tak bereaksi. Ia masih tetap tenang. Tak terpengaruh oleh keadaan.

"Kalau kita ingin memulainya sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kita harus pergi kemana?"

Pertanyaan Ki Saleh mampu membuat mereka tak bisa membantah. Tak ada sepatah kata yang mampu menjawabnya.

"Malam ini kita lebih baik istirahat. Banyak bangunan yang bisa kita gunakan untuk tidur. Terserah kalian mau di mana. Kita tak bisa beristirahat dalam mobil. Kuncinya dibawa olehnya."

Ki Saleh memastikan, bahwa keadaan sedang tak menguntungkan. Mereka harus tetap tenang. Satu-satunya cara terbaik untuk saat ini adalah diam.

Ki Saleh beranjak. Ia pergi menuju sebuah bangunan yang terlihat layak. Dari semua bangunan yang mereka lihat, tak ada satu bangunan pun yang berdindingkan tembok. Hampir semua bangunan menggunakan kayu atau anyaman bambu. Entah telah berapa lama perkampungan itu ditinggalkan dan apa sebabnya. Keadaan ini membuatnya bernostalgia, pada kehidupan masa kecil yang ia jalani dengan apa adanya. Ki saleh duduk di depan teras beralaskan tikar bekas. Ia memejamkan mata. Pak Badrun dan sang ustaz menghampirinya. Mereka tak ingin mengalami kejadian yang sama. Kehilangan jejak orang berkata bahwa ia ingin menolongnya.

****

Berjalan dalam kegelapan. Tanpa rasa takut akan kengerian. Tak takut tersesat atau tak bisa menemukan jalan pulang. Matanya fokus menatap ke depan. Tak sekalipun ia memperhatikan jalan. Langkah demi langkah ia ayunkan dengan pasti. Tuntunan membawanya pada apa yang mereka cari. Beberapa jam berjalan tanpa henti. Tanpa lelah melanda. Hingga akhirnya ia tiba.

Tempat itu menyambut. Menelan kegelapan lama yang telah kembali. Masa lalu menjadi kunci. Mengikat perjanjian. Menagih apa yang para pendosa beri.

Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong gelap menuju inti dari tempat itu. Kegelapan semakin pekat, namun tetap tak menghalangi.

****

Seketika membuka mata. Dunia kembali menyambutnya. Rasa lelah telah memaksanya terlelap. Gelap telah sirna. Sang surya telah terlalu tinggi menyapa. Tubuhnya terasa hangat, nyaman, ringan. Namun berat di kepala masih melanda.

Pak Badrun menoleh. Matanya mengamati. Perkampungan mati terlihat jelas saat ini. Kondisinya lebih buruk dari apa yang tertutup oleh malam. Ilalang di sana-sini menutup sebagian bangunan, yang masih bertahan dari kehancuran.

"Ki? Pak Ustaz?"

Tak mendapati mereka di dekatnya. Pak Badrun berusaha tetap tenang. Ia berpikir bahwa, mungkin saja mereka sedang pergi, untuk sesaat.

"Ki, Pak Ustaz?"

Sekali lagi, ia ingin memastikan bahwa mereka masih bersama. Hingga beberapa waktu, ia tak jua mendapati jawabannya.

Pak Badrun Beranjak. Tubuhnya yang masih menikmati kehangatan sang surya, ia paksa untuk berusaha.

"Kemana mereka?"

Rasa khawatir mulai melanda. Ia tak sanggup jika harus berusaha seorang diri saja. Dari yang semula tenang, gerak-geriknya mulai di luar kendali. Ia mencari kesana kemari. Nampak tergesa dan gelisah.

"Apa jangan-jangan mereka telah pergi ke tengah hutan?"

Tanpa pikir panjang, Pak Badrun mulai berlari. Membelah rimbunnya semak hutan. Mulai saat ini, ia hanya percaya pada nalurinya sendiri.

Napas memburu, keringat membanjiri. Rasa lapar tak ia hiraukan lagi. Yang ia khawatirkan saat ini adalah, mati. Ia tak ingin mati tanpa sempat lebih dulu menyelamatkan sang putri. Baginya, mati adalah pilihan, jika itu menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluarganya.

Dalam kegilaan semakin melanda, ia berlari sekuat tenaga, hingga tak sanggup mengontrol lagi apa yang telah dilakukan tubuhnya. Mungkin hutan bermaksud menyadarkannya. Pak Badrun tersungkur, manakala salah satu kakinya tersandung akar pepohonan.

"Aaahhhh."

Ia mendapati tubuhnya kembali ke tempat semula. Di mana ia tak beranjak sama sekali. Napas memburu. Keringat membanjiri. Rasa lelah terasa nyata melanda.

Pak Badrun menoleh. Matanya menangkap sosok yang membuatnya hampir mati. Mereka masih tertidur lelap di sana, dan mungkin sedang asik menikmati mimpinya.

Pak Badrun beranjak. Kali ini ia benar-benar berada di dunia nyata. Satu cubitan di lengan kiri meyakinkannya, bahwa ia telah kembali.

Ia mulai melangkahkan kaki. Mencari tempat tersembunyi, untuk membuang air seni. Ia menahannya sejak semalam. Kegelapan terlalu pekat menahan keberaniannya, namun rasa gengsi membuatnya sungkan untuk minta ditemani.

"Pak..."

Jelas terdengar, suara memanggil namanya.

"Sebentar."

Ia menjawab dengan lantang, agar mereka tak merasa kehilangan. Tak ingin berlama-lama di tempat sepi, ia segera kembali.

Sang ustaz dan Ki Saleh telah bersiap. Tak ada yang bisa mereka bawa. Semua perlengkapan berada di dalam mobil yang terkunci. Hanya pakaian yang mereka kenakan menjadi modal perjalanan kali ini.

"Apa kalian sudah yakin?”

Pak Badrun mengangguk, begitu juga dengan sang ustaz. Walau pada kenyataannya, motivasi dan keyakinan mereka jauh berbeda. Kejadian ini di luar perkiraan dari sang ustaz.

"Baiklah. Mulai dari sini, tak ada jalan untuk kembali. Apapun yang terjadi, kita harus siap menghadapinya.

Ki saleh mulai melangkah. Langkah pertama yang akan menentukan nasib semuanya. Entah arah mana yang akan ia tuju. Semua sisi menunjukan rasa yang sama. Rasa tanpa kepastian. Ki Saleh mengikuti naluri serta nalarnya sendiri. Ia mencari kemungkinan jejak-jejak yang bisa ia ikuti, sebagai petunjuk arah mana yang akan mereka lalui. Langkah perlahan menunjukan banyak keraguan atau kehati-hatian. Sekali mereka tersesat, harapan mereka untuk kembali mungkin hanya sebatas mimpi.

Ki Saleh berjalan paling depan. Pak Badrun mengikuti dari belakang. Sang ustaz berada di posisi akhir dan hampir selalu tertinggal. Beberapa kali ia berhenti, untuk melakukan sesuatu yang tak mereka ketahui. Hanya ia sendiri yang tau pasti. Pak Badrun beberapa kali menoleh. Ia tak ingin kehilangan anggota timnya lagi. Ia tak yakin akan sanggup melakukan perjalanan seorang diri. Terlebih, mimpi tadi memberinya sebuah gambaran. Kegilaan bisa saja menjadi kenyataan jika ia benar-benar menghadapi semunya seorang diri.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang