Terik matahari mulai meninggi, sedangkan tetesan keringat justru sebaliknya. Bulir demi bulirnya turun, membasahi setiap kulit yang ia lewati. Ia membantu mendinginkan suhu tubuh sang tuan yang mulai merasa kepanasan. Sejak tadi, matanya tetap fokus menanti sebuah mobil yang ia cari. Dua jam telah berlalu, maksud hati ia ingin berangkat lebih pagi, namun apa daya ia tak tau jadwal keberangkatan mobil yang akan ia naiki, tak beroperasi sesuai dengan keinginannya. Ia mengalah, namun ia tak mau kalah. Ia rela tetap menunggu di sana demi untuk bisa pergi.
"Pak, nunggunya duduk saja, dari sini juga kelihatan, nanti juga kalau lewat, kita cuma cukup sedikit lari saja, biar gak ketinggalan."
Laki-laki berpeci itu mengingatkan. Ia merasa iba melihat keteguhan hati orang tua itu untuk tetap berdiri di sana.
"Gak apa-apa pak ustaz, saya di sini saja, pak ustaz saja yang nunggu di situ, biar gak capek."
Orang tua itu terlalu sungkan menerima pertolongan, seperti kebiasaannya selama ini yang tak mau merepotkan. Ia hanya mau ditolong ketika orang yang berniat menolongnya memaksa. Ia beranggapan bahwa ketika orang yang ingin menolongnya bahkan harus sampai memaksa, maka orang itu menawarkan bantuan bukan hanya sekadar basa basi belaka. Seperti orang yang berada di dekatnya saat ini. Ia memaksa untuk ikut. Pada awalnya ia berniat hanya ingin memberi bantuan berupa biaya saja, namun mendengar cerita dari laki-laki tua itu, hatinya tergerak. Ia tak tega melihat laki-laki itu berjuang sendiri. Perjalanannya untuk menyelamatkan sang putri masih sangat panjang, tak terhitung besarnya jumlah biaya yang telah ia keluarkan hanya untuk sekadar bertanya yang hasilnya selalu mendapat jawaban yang sama.
"Putri bapak dalam bahaya, sesuatu dari masa lalu akan datang dan mengambilnya."
Jawaban mereka yang pak Badrun tanya selalu tak jauh berbeda. Ia teringat sebuah kesalahan yang harus ia tanggung saat ini. Kesalahan itu telah berlalu sangat lama, bahkan ia hampir melupakannya. Sayangnya kejadian mati suri yang Gia alami, memaksanya untuk kembali mengingat dan kembali pada urusannya yang belum selesai. Sejak beberapa waktu lalu, sang ustaz mengingatkan agar pak Badrun bisa segera menyelesaikan urusan itu, namun kabar terakhir yang ia dapatkan justru masalah semakin bertambah rumit. Meninggalnya sang mediator menjadikan kunci dari masalah ini hilang. Pak Badrun harus menemukan kunci baru agar ia bisa memasuki jalan terjal yang pernah ia tempuh, namun kali ini, ia mendaki agar bisa turun kembali dengan selamat.
Bunyi klakson bus yang mereka tunggu mengembalikan pak Badrun ke dunia nyata. Saat itu, pandangannya yang menatap lurus sedang tak berada di tempatnya.
"Pak, mari."
Pak Ustaz langsung mengajak pak Badrun untuk naik. Mereka masuk melalui pintu belakang. Di dalam bus, kursi penumpang hampir terlihat penuh. Hanya menyisakan beberapa kursi yang masih tak berpenumpang, yang kini akan mereka tempati.
Kursi kosong yang masih tersedia berada terpisah. Pak Badrun dan sang Ustaz tak duduk berdekatan. Tempat duduk mereka terhalang beberapa kursi.
Keadaan dalam bus tampak sunyi. Tak banyak yang bicara. Yang bising hanyalah suara dari pengamen-pengamen jalanan yang silih berganti masuk untuk mengais rezeki. Suara sumbang mereka membuat pak Badrun tak leluasa melanjutkan lamunannya. Konsentrasinya terganggu saat mereka mulai berhenti bernyanyi dan berkeliling seraya meminta kantung plastik bekas dari bungkus permen yang mereka sodorkan untuk diisi, seikhlasnya namun dengan tarif minimal lima ratus rupiah. Pak Badrun cukup banyak menyiapkan koin pada salah satu saku celananya. Ia tak ingin hanya karena uang lima ratus rupiah malah justru menjadi masalah yang mengganggu perjalanan panjang yang akan ia tempuh kali ini.
"Terimakasih, pak, semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak."
Pengamen itu berlalu. Pak Badrun tak peduli, walau dalam hati ia sempat mengamini apa yang didoakan oleh pengamen itu. Ia berpikir, mungkin do'a salah satu dari mereka akan terkabul, atau mungkin banyaknya do'a akan membantunya untuk bisa menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Suara pengamen sumbang telah hilang. Beberapa dari mereka telah turun membawa rezeki yang didapatnya hari ini tepat sebelum mobil melaju memasuki pintu tol pertama. Sedang untuk pengamen yang mendapat giliran terakhir, terkadang mereka harus rela menunggu untuk bisa turun dari dalam bus yang terus melaju selama berada di jalan tol. Tempat pemberhentiannya hanya dua. Keluar dari pintu tol, atau ketika mereka memasuki area check point kendaraan.
Pak Badrun menatap lurus jalanan padat dalam tol. Kendaraan roda empat berjalan merayap memanjang hingga beberapa meter ke depan. Setidaknya itulah yang terlihat olehnya. Sementara alasan dari jalan itu padat masih sangat jauh berada di depan. Sementara itu, pak Ustaz lebih memilih duduk tenang dengan sebuah tasbih di tangan. Tasbih itu bergerak perlahan, memindahkan butiran-butiran kayu yang tersusun sebanyak tigapuluh tiga bagian, membentuk seperti sebuah gelang. Tasbih pemberian sang guru semasa ia masih menimba ilmu. Butir demi butir masih terus bergerak seiring lantunan dzikir yang terus terucap. Sang Ustaz merasa hatinya begitu gelisah, padahal perjalannya baru saja dimulai. Ada rasa khawatir tentang perjalanannya kali ini, terlebih tentang keselamatan orang yang ia bantu. Hal itu juga lah yang pada akhirnya membuat ia harus mengambil keputusan untuk ikut. Masalah yang dihadapi pak Badrun tak main-main. Selama yang ia tau bahwa persekutuan dengan bangsa bukan dari manusia akan selalu berakhir tak baik.
Kemacetan terus mengular. Panjangnya lebih dari apa yang mereka lihat. Bahkan jauh lebih buruk dari apa yang bisa mereka bayangkan. Mobil yang sebelumnya masih bisa melaju walau dengan kecepatan jauh dibawah rata-rata, kini harus lebih sering berhenti menunggu mobil yang berada didepannya bergerak.
Cuaca di luar sudah sangat panas. Panas dari matahari serta asap polusi dari kendaraan yang terjebak macet di jalan itu. Beruntung bagi mereka yang kendaraanya telah dilengkapi dengan pendingin udara. Setidaknya mereka tak harus merasakan panasnya suhu dalam kendaraan akibat terjemur sinar matahari dalam waktu cukup lama.
Salah satu orang beruntung itu adalah pak Badrun sendiri. Mobil bus antar provinsi yang ia naiki telah difasilitasi oleh pendingin udara. Namun fasilitas itu memang sebanding dengan besarnya tarif yang harus ia bayar. Namun lagi-lagi keberuntungan berpihak padanya, karena bukan dia yang harus membayar besarnya tarif mobil tersbut. Tak hanya itu, mobil itu pun difasilitasi oleh satu buah televisi berlayar datar yang berada di bagian paling depan agar bisa dilihat semua penumpang. Namun sayangnya pak Badrun tak terlalu menyukai dengan apa yang ditampilkan oleh televisi itu saat ini. Gambarnya tak bergerak, dan hanya menampilkan tulisan berisi daftar lagu yang saat ini ia dengarkan. Pak Badrun tak merasa terhibur, terlebih ia tak begitu menyukai musik-musik pada saat ini yang menurutnya terdengar aneh. Ia lebih menyukai musik-musik dari zaman dulu, terutama dari legenda hidup raja dangdut indonesia. Menurutnya, lagu-lagu yang diciptakan pada zaman dulu sarat akan makna yang bisa dipetik sebagai pelajaran hidup.
Hampir satu jam berlalu. Rasa bosan semakin menggebu. Mereka yang berada di dalam mobil tak bisa membayangkan jika harus tetap seperti ini hingga sampai ke tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HorrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.